Cerpen
Supandi
“Roti roti, roti tawar roti manis, Amelia
doti roti. Roti roti Roti roti, roti tawar roti manis, Amelia doti roti”.
Ratusan kali suara itu melengking, ikut mewarnai kesibukan warga di perumahan
Puri Indah. Turut menghangatkan suasana pagi. Suara dari speaker kecil itu tidak
disertai ekualiser. Tanpa trebel. Tanpa bas. Bisa dimaklumi, karena bukan disettinguntuk hiburan, tapi setidaknya
sangat mewakili Zaenudin dalam menjajakan dagangannya.Roti roti, roti tawar roti manis, Amelia doti roti.Beberapa anak
kecil bahkan sudah hafal dengan urutan kata dan nada suara itu.
Kala
matahari mulai menapaki kisi-kisi langit di ufuk timur,Zaenudinberkeliling
kampung sebagai sebuah rutinitas dan rasa tanggung jawabnya untuk keluarga. Dua
kali dalam sehari, Zaenudin menjajakan rotinya ke pelosok kampung dan
perumahan. Pagi dan sore. Seperti sudah menemukan rute, Zaenudin selalu
mengakhiri perjalanannya di masjid Baitut Taqwa di sudut kampung yang cukup
padat penduduk. Disamping masjid gemercik air sungai kecil cukup meneduhkan
suasana hati. Masjid itu dikelilingi oleh rerimbunan pohon ketapang dan
beberapa pohon pinicium. Zaenudin biasa merebahkan diri sejenak di teras masjid
sesaat setelah melaksanakan shalat dhuha.
Kebiasaan yang sudah menyatu.
Angannya
melayang lalu hinggap di sebuah rumah setengah jadi yang letaknya tidak jauh
dari Masjid Baitut Taqwa. Tergambar di imajinasinya, seorang perempuan berkulit
putih menanti kehadiran Zaenudin di rumahnya di Karangrau. Parsiyem. Awalnya,
Parsiyemadalah sosok wanita desa yang lugu. Namun semenjak kepulangannya dari
negeri orang, sepertinya dia sedikit terkontaminasi dengan kebudayaan luar. Bau
parfum dan dandanan ala ABG seperti sudah menjadi warna dalam hidupnya. Para
tetangga bilang, Parsiyem itu seperti orang kota. Sebagian laki-laki tidak
bosan untuk memandang lekuk tubuhnya yang bersih.
“Ini
rejeki dari Allah, Mi. Hasil jualan roti hari ini.”Zaenudin menyeka keringatnya
yang belum kering.
“Taruh
saja diatas bifet, Bi.” Kata Parsiyem dingin. Parsiyem nampak asyik ngobrol dengan
tetangga sebelah. Di balai rumahnya yang setengah jadi, Zaenudin meluruskan
kakinya dari atas kursi yang terbuat dari anyaman ban mobil. Senja mulai
menapaki balik rerimbunan pohon desa. Terdengar desing air yang mendidih dari
arah dapur. Zaenudin bangkit untuk menuangkan air panas ke dalam gelas berisi
gula teh. Dua buah roti coklat manis masih tergeletak diatas tatakan.
Kumandang
adzan magrib bersahutan, membahana menerjang kisi-kisi ruang hampa.Zaenudin
menyeruput teh yang masih mengepul. Terkesan sangat segar. Beberapa teguk teh
hangat cukup untuk membatalkan puasa sunahnya.
“Abi
berangkat ke surau ya, Mi.”
“Iya,
Bi.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’ailkum
salam.”
Matahari
di ufuk barat sudah melewati batas antara siang dan malam. Beberapa kelelawar
bersliweran di awang-awang dan menghilang dibalik pepohonan. Udara lembab
terasa menyentuh pori-pori. Dua ekor katak melompat beriringan, dan bersembunyi
dibalik semak-semak. Zaenudin tidak sempat shalat sunat dua raka’at, mungkin karena
tersita sedikit waktunyauntuk berbuka puasa. Pak Jamhuri menyambutnya dengan
Iqamah ketika Zaenudin tiba di surau.
Sayup-sayup
terdengar gemrengseng suara tadarus alquran dari arah pondok pesantren. Rumah
Zaenudin berjarak sekitar dua ratus meter ke ponpes. Lingkungan ponpes
menghidupkan suasana malam. Zaenudin mulai merasakan lemas. Dua buah roti masih
tergeletak diatas tatakan. Rupanya mata Zaenudin tidak tertuju ke roti.
“Makan
sama apa, Mi?” Zaenudin membuka tudung saji yang terbuat dari bambu. Hanya ada
bakul berisi nasi.
“Njenengan
ingin makan sama apa, Bi. Aku belum masak. Bingung mau masak apa, jadinya ngga
masak.”
“Oh,
ya sudah, abi mau menggoreng telur saja. Umi sendiri bagaimana? Apa sekalian
abi gorengkan?”
“Ngga
usah, Bi, tadi aku sudah makan soto, dikasih sama Siti. Masih kenyang.”
Malam
itu begitu sepi seperti malam-malam biasanya. Hanya suara nyam-nyam yang menemani Zaenudin makan. Begitu pun dengan suara TV.
Parsiyem lebih menyukai berteman dengan Android barunya daripada menonton
televisi. Sesekali senyumnya tersimpul. Entah karena apa. Sepertinya ada
sesuatu yang lucu dari layar Androidnya. Sesekali Zaenudin melirik tubuh
Parsiyem yang berbeda dari tiga tahun sebelumnya. “Cantik dan bersih” pikirnya
dalam hati.
Kekhawatiran
muncul dari benak Zaenudin ketika Parsiyem semakin asyik dengan dunianya
sendiri. Semacam ada sekat diantara mereka. Beberapa kali Zaenudin menepis
pikiran yang aneh-aneh untuk kembali berpikir jernih. Kembali ke Yang Maha
Menjalankan Hidup. Satu hal yang menggelisahkan Zaenudin adalah kerinduannya
kepada kedua anaknya.
“Abi
kok kangen sama Uswah dan Azwar, Mi. Lagi apa mereka sekarang? Apakah mereka
baik-baik saja?” Zaenudin nguda rasa
kepada istrinya. Unek-unek Zaenudin tidak serta merta ditanggapi oleh Parsiyem.
Bahkan sepertinya ia tidak begitu jelas mendengar kata-kata suaminya.
“Umii...”
“Eh,
iya bi, ada apa?”
“Abi
kangen sama Uswah dan Azhar, Mi.”
“Ooh...
kalau kangen, obatnya tuh ketemu, Bi.”
“Apakah
mereka baik-baik saja ya, Mi?”
“Abi
jangan berpikir yang macam-macam ya. Uswah dan Azhar pasti baik-baik saja.
Mereka berdua pasti lebih nyaman tinggal bersama kakek dan neneknya. Emang abi
meragukan kasih sayang bapak dan ibuku? Iya?”
“Bukan,
Mi. Bukan itu maksud abi. Maksudku....”
“Halaaah......sudahlah.
abi jangan galau gitu. Anak-anak kita itu lebih enak hidup disana, Bi, daripada
hidup bersama kita. Sandangnya? Makannya? Keperluan sekolahnya? Disana itu
terjamin, Bi. Umi tidak bisa membayangkan kalau mereka disini, mengandalkan
abinya yang penghasilannya hanya beberapa rupiah saja.” Kata-kata Parsiyem
mengalir deras. Zaenudin hanya menelan ludah. Zaenudin seperti pemain catur
yang terjebak skak ster.
Zaenudin
bangkit dari kursi meubel. Dibiarkannya Parsiyem memijit-mijit barang
kesayangannya. Andoid. Kedua kakinya terjulur di meubel panjang. Ada keindahan
ketika Zaenudin memandangnya sekilas. Kakinya yang putih tidak tertutup kain.
Pemandangan itu disuguhkan khusus buat Zaenudin, namun Zaenudin geleng kepala.
Zaenudin lebih memilih merpati itu hinggap. Bayang-bayang tramumatis masih menghantui
hatinya. Semenjak kepulangannya dari Taiwan, Parsiyem seperti barang mahal.
Zaenudin tidak mau gegabah. Bisa saja dia kena damprat untuk yang kesekian
kalinya jika merpati putih itu belum lapar. Zaenudin terus mencoba
mengendalikan hasrat kelelakiannya jika tidak ingin kena semprot.
Sebuah
sajadah panjang terbentang di sebuah ruangan belakang bifet. Tempat itu adalah
tempat yang paling nyaman bagi Zaenudin. Semangatnya bangkit ketika kedua
matanya usai menelusuri mushaf-mushaf kalam Ilahi. Terlebih jika dahinya ditempelkan
dengan ketat di atas sajadah. Darah mengalir ke kepala, disitulah rasa nyaman
terbangun. Zaenudin sangat menyukai kebiasaan itu. Bersujud kepada Tuhan.
Sebuah
bayangan berkelebat dari arah belakang tubuh Zaenudin. Bayangan itu tertangkap
ketika Zaenudin sedang sujud. Bayangan itu berlalu ketika Zaenudin menoleh ke
belakang. Dua kali Parsiyem mondar mandir, seperti akan mengutarakan hasrat.
Sunyinya malam sangat memungkinkan sesuatu yang bergerak mudah terdengar.
Demikian pula bunyi langkah Parsiyem pun terdengar oleh Zaenudin.
“Lho...abi
mau kemana?” Parsiyem mengerutkan dahi ketika yang ditunggu malah menuju ke
belakang.
“Mau
nggoreng ubi, Mi.”
“Ini
orang si bagaimana.... ditunggu-tunggu malah kabur.” Parsiyem seperti ndoro putri yang kemauannya tidak boleh
ditawar. “Abiii....”
Zaenudin
belum jadi menyalakan kompor. Dia lebih menuruti rasa penasarannya. Menghampiri
merpati putih yang sudah menunggunya di balai tengah. Daster warna merah
semakin bersinar karena kontras sekali dengan kulit putih yang dimiliki oleh
merpati itu. Zaenudin menelan ludah. Jari-jari tangan kanannya meremas
kuat-kuat lengan kanannya. Dengan begitu dia bisa mengendalikan degup
jantungnya yang timbul tenggelam.
“Umi
heran sama abi dech.” Parsiyem mengawali pembicaraan itu dengan jurus mautnya.
Zaenudin mengalihkan pandangannya ke dinding. Tangan Parsiyem melambai.
Bangkit. Dan lambaiannya hanya beberapa senti ke muka Zaenudin. “Yang memgajak
bicara itu umi, Bi...bukan tembok.” Lanjut Parsiyem.
“Itu
ada cecak lagi berkejaran, Mi.”
“Halaah...alasan.
emangnya cecak itu lebih menarik daripada umi ya?”
“Ngga
menarik si...tapi kalau melihat yang lain justru abi bisa tertarik.”
“Aneh.
Tertarik bagaimana maksudmu?”
“Tertarik
sama merpati putih.”
“Hahaha...ada-ada
saja kamu ini, Bi.”
“Abi
mau nggoreng ubi dulu ya...”
“Eh
eh...stop stop... abi jangan begitu. Sini, duduk disamping umi!!!.” Lagi-lagi
Zaenudin sendiko dhawuh apa kata ndoro putri. Getaran-getaran nurani
manusiawinya semakin kencang. Parsiyem yang sekarang tampak berbeda dengan ketika
masih menjadi wong ndeso. Aneh. Itu
yang dirasakan oleh Zaenudin. Daya tarik sebagai kaum hawa lebih menantang dari
sebelumnya.
Zaenudin
menyandarkan tubuhnya kuat-kuat ke sandaran meubel. Kekontrasan antara warna
merah daster dengan kulit tubuh Parsiyem mengalirkan energi yang sulit
dikendalikan. Malam semakin surut. Sunyi bergelayut dalam dinginnya malam.
Parsiyem mengutarakan isi hatinya. Zaenudin menanggapinya dingin. Surutnya
malam tidak seiring dengan gejolak kelelakiannya. Zaenudin surut. Sebuah
permintaan yang sama sekali bertentangan dengan hati nurani Zaenudin. Apa yang
dibayangkannya selama kurang lebih tiga bulan, kini benar-benar nyata. Istri
kebanggaannya ingin terbang jauh. Parsiyem kembali akan merantau ke negeri orang.
Taiwan.
“Abi
tidak mengijinkan umi pergi.” Kali ini nada bicara Zaenudin tidak seperti
biasanya. Ada semacam dorongan untuk bersikap tegas. Namun lagi-lagi ketegasan
Zaenudin tidak berarti bagi istrinya. Sikap ndoro
putri-nya masih sangat kental. Perdebatan kecil terjadi. Harapan yang
saling berlawanan arah sama-sama kuat beradu. Bayang-bayang kelabu kembali
menghantui jiwa Zaenudin. Keinginannya untuk berlama-lama hidup dalam
keharmonisan rumah tangga kabur. Suram. Dengan berat hati Zaenudin
menandatangani Surat Ijin Suami. Sementara dari wajah Parsiyem terpancar aura
kuat. Aura ketetapan hati.
Satu
minggu lagi. Jangka waktu yang sangat singkat bagi Zaenudin. Hari-hari ke depan
adalah kosong. Zaenudin lebih banyak menundukkan pandangan. Enggan memandang
dunia. Zaenudin lebih memilih mendekatkan diri pada keajaiban alam. Sesuatu
yang tersembunyi dibalik teka-teki kehidupan yang mampu berpihak kepadanya.
Secara
jiwa dan raga, Zaenudin terbilang sebagai sosok yang kuat. Namun nampaknya
kekuatan manusia sungguh terbatas. Zaenudin merasakan tidak enak badan. Mungkin
karena hujan yang mengguyur Perumnas Puri Indah tadi pagi. Zaenudin menyelimuti
tubuhnya dengan selimut made in
Taiwan. Aura hangat mengalir ke seluruh tubuhnya.
“Umi...tolong
ambilkan air putih. Mudah-mudahan dengan obat warung ini abi bisa cepat sehat
kembali.”
“Abi...jadi
orang itu jangan cengeng. Biasakan apa-apa sendiri, biar nantinya tidak
merepotkan orang lain. Ambil sendiri aja, sekalian biar gerak tubuhmu.”
Terdengar
nada dering Soldier of Fortune dari
hp Parsiyem. Nampak di screen
Android-nyatertulis nama “Siti”. Obrolan hangat terjadi antara Parsiyem dan
Siti. Sesekali terselip tawa lepas diantara keduanya. Kali ini Parsiyem
mengenakan celana pendek jeans warna
biru. Kedua kakinya dilipat. Parsiyem menaruh hp-nya di samping map berwarna kuning yang berisi berkas-berkas
persyaratan ke luar negeri.
Parsiyem
sudah selesai mengurus berkas-berkas yang diperlukan. Semuanya sudah siap.
Sudah tersusun rapi dalam map. Dalam hitungan menit setelah minum obat warung, Zaenudin
terlelap. Parsiyem penasaran. Didekatinya suami yang pendiam itu. Telapak
tangannya ditempelkan ke dahi Zaenudin. “Astaghfirullah,
ya Allah, panas sekali...”. Parsiyem mencoba menurunkan panas dengan mengompres
suaminya. Dengan lembut ia menempelkan kain wol ke dahi suami. Zaenudin
terbangun. Namun rupanya dia menikmati aliran sejuk air kompres di dahinya.
Zaenudin
membuka matanya agak lebar. Heran. Ada pandangan aneh tersimpul dari wajah
Parsiyem. “Kamu kenapa, umi? Ada apa kok kamu memandangiku begitu tajam?”
Zaenudin bertanya dengan nada polos. Parsiyem diam. Zaenudin semakin penasaran.
Dia mencoba mengulangi pertanyaan tadi. Tapi istrinya belum juga menjawab. Kali
ini wajah Parsiyem begitu dekat dengan wajah Zaenudin. “Umi...kamu itu kenapa?
Kamu sehat kan? Jangan ikut sakit ya... kalau kamu sakit nanti bagaimana?
Sebentar lagi kamu kan mau terbang?”.
“Umi
ngga jadi terbang, Bi.”
“Astaghfirullah...asta...subhanallah...”
“Halaah...ngga
segitunya kalee... aja gumunan, aja
kagetan.”
“Ummi...kamu
jangan ngledhek. Abi ini benar-benar heran, kamunya malah begitu?”
“Ngledhek
bagaimana? Ummi seiruskok.”
“Serius.”
“Se
i rus.”
“Bukan
se i rus, Mi. Yang betul serius.”
“Iya
iya, ser ser...serius us us...” Parsiyem menyolek hidung Zaenudin.
Parsiyem
merapikan kembali selimut yang tersingkap. Kebahagiaan Zaenudin kali ini terasa
lebih besar dari kenikmatan-kenikmatan yang dianugerahkan oleh Tuhan Sang
Penyayang.
Keputusan
Parsiyem yang sangat berani itu tentu tidak berjalan mulus. Berbagai cemoohan.
Umpatan. Secara bertubi tubi tertuju kepadanya. Hampir semua orang-orang
dekatnya merasa dikecewakan. “Kamu ini bagaimana, Par? Rencana bagus masa
dibatalkan? Apakah kamu tidak berpikir ke depan? Perginya kamu merantau kan
bukan untuk bersenang-senang tapi untuk mencari uang? Perginya kamu ke luar
negeri kan untuk kepentingan keluarga? Kepentingan anak-anak? Untuk biaya
sekolah anak-anak?”
Parsiyem
benar-benar tersudut. Parsiyem harus menghadapi kelima temannya yang semula
akan terbang bersama. Tidak hanya itu. Cemoohan yang berbau kecewa juga datang
dari adiknya; “Tolong dipikirkan lagi dengan akal sehat, Yu. Dipertimbangkan
lagi. Aku sangat berharap, yayu tidak membatalkan keberangkatan yayu ke Taiwan.
Keberangkatan yayu yang pertama itu belum apa-apa. Baru untuk bikin rumah
setengah jadi kan? Masa depan anak tolong dipikirkan lagi. Aku tahu, pekerjaan
sebagai ibu rumah tangga itu adalah semulia-mulianya pekerjaan. Tapi kalau
memang yayu ingin menjadi ibu rumah tangga, kenapa memilih kang Zaenudin
sebagai suamimu? Kenapa tidak memilih menjadi istrinya pak Kades saja? Bukankah
pak Kades dulu juga suka sama yayu? Aku tidak rela kalau yayu sengsara karena
mengandalkan penghasilan kang Zaenudin si penjual roti itu.”
Parsiyem
mematung. Zaenudin bisa mendengar dan memaklumi nasehat adik iparnya. Tidak ada
alasan untuk tersinggung. Zaenudin nampak ikhlas. Pasrah. Tegar. Demikian pula
dengan Parsiyem. Dia ikhlas dan mendengarkan nasehat adiknya dengan penuh
perhatian. Tak ada sepatah katapun yang bisa dijadikan alasan. Dari awal sampai
akhir hampir semua yang dikatakan oleh adiknya masuk akal.
“Bagaimana
Yu? Jadi berangkat kan? Lihatlah kedua anakmu!. Lihatlah grobogan roti itu!.
Lihatlah kang Zaenudin si penjual roti itu!. Lihat jauh ke depan!. Masa depan
anak-anakmu!.
Parsiyem
benar-benar tersudutkan. Butir-butir air mata perlahan membasahi kedua kelopak
matanya.
“Yayu
menangis? Waduh, maaf maaf, Yu. Aku mohon, maafkan atas kelancanganku, Yu! Aku
tidak bermaksud jelek. Aku sayang yayu. Bahkan nyawapun akan aku relakan asal
yayuku yang cantik ini hidup bahagia.” Parsiyem semakin mengguguk. Air matanya
semakin deras mengalir.
“Tidak,
de. Kamu tidak seratus persen salah. Yayu tidak marah sama kamu. Yayu menyesal.
Sangaaat menyesal.”
“Lho...menyesal
kenapa, Yu?”
“Selama
ini yayu meremehkan orang yang sangat mulia dimata Allah. Yayu telah
menyia-nyiakan orang yang rajin beribadah. Yayu jarang sekali menyiapkan
makanan buat orang yang selalu membangunkanku shalat malam. Ya Allah, ampunilah
hambamu yang hina ini!. Abi, maafkan istrimu!. Hukumlah istrimu ini
seberat-beratnya karena telah meremehkanmu!. Abi, maafkan aku!. Ya Allah,
ampuni aku! Ampuni hamba yang tidak pernah menyiapkan makanan buat sahur dan
buka puasa Senin-Kamis suamiku.”
“Insya
Allah, Allah mengampuni dosa-dosamu, Yu. Dan, Allah juga pasti tahu niatmu
berangkat ke Taiwan adalah untuk membantu suami, kan?”
“Tidak, de. Yayu tetap tidak akan berangkat.
Hidup yang hanya sebentar ini akan yayu manfaatkan untuk mendapatkan
ridlo suami. Yayu yakin, suatu saat nanti Allah akan meluaskan rejeki untuk
keluarga kami. Hidup matiku akan aku persembahkan buat suami dan anak-anak.