Di
suatu Sekolah Dasar, ada seorang guru yang selalu tulus mengajar dan selalu
berusaha dengan sungguh-sungguh membuat suasana kelas yang baik untuk
murid-muridnya.
Ketika
guru itu menjadi wali kelas 5, ada seorang murid yang selalu berpakaian kotor
dan acak-acakan. Anak ini malas, selalu terlambat, dan selalu mengantuk di
kelas. Ketika murid yang lain mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan
atau mengeluarkan pendapat, anak ini tak pernah sekali pun mengacungkan
tangannya.
Guru
itu berusaha untuk bisa menyukai anak ini, tapi ternyata tak bisa. Dan entah
sejak kapan, guru itu pun menjadi benci dan antipati terhadap anak ini. Di
rapor tengah semester, guru itu pun menulis apa adanya mengenai keburukan anak
ini.
Suatu
hari, tanpa sengaja, sang guru melihat catatan rapor anak ini saat kelas 1. Di sana
tertulis, “Ceria, menyukai teman-temannya, ramah, bisa mengikuti pelajaran
dengan baik, masa depannya penuh harapan.
Membaca
catatan itu sang guru membatin, “Ini pasti salah, ini pasti catatan rapor anak
lain”, sambil melanjutkan melihat catatan berikutnya rapor anak ini.
Di
catatan rapor kelas 2 tertulis, “Kadang-kadang terlambat karena harus merawat
ibunya yang sakit-sakitan.”
Di
kelas 3 semester awal, “Sakit ibunya tampaknya semakin parah, mungkin terlalu
letih merawat, jadi sering mengantuk di kelas.” Di kelas 3 semester akhir,
“Ibunya meninggal, anak ini sangat sedih, terpukul, dan kehilangan harapan.”
Di
catatan rapor kelas 4 tertulis, “Ayahnya seperti kehilangan semangat hidup,
kadang-kadang melakukan tindakan kekerasan kepada anak ini.”
Terhentak
guru itu oleh rasa pilu yang tiba-tiba menyesakkan dada. Dan tanpa disadari dia
pun meneteskan air mata. Dia merasa bersalah karena telah mengecap dan memberi
label anak ini sebagai pemalas, padahal si anak tengah berjuang bertahan dari
nestapa yang begitu dalam.
Terbukalah
mata dan hati sang guru. Selesai jam sekolah, guru itu menyapa si anak, “Bu
guru sampai sore di sekolah, bagaimana kalau kamu belajar mengejar ketertinggalan?
Kalau ada yang tidak kamu mengerti, nanti ibu ajari.”
Mendengar
suara lembut guru wali kelasnya, murid ini tersenyum, wajahnya sumringah, ada
rasa bahagia terpancar di wajahnya. Sejak itu, si anak belajar dengan
sungguh-sungguh di sekolah.
Beberapa
hari kemudian, sang guru merasakan kebahagiaan yang tak terkira ketika si anak
untuk pertama kalinya mengacungkan tangannya di kelas. Kepercayaan diri si anak
kini mulai tumbuh lagi.
Di
kelas 6, guru itu tidak lagi menjadi wali kelas si anak. Ketika kelulusan tiba,
guru itu mendapat selembar kartu dari si anak. Di kartu itu tertulis, “Bu guru
baik sekali seperti bundaku. Bu guru adalah guru terbaik yang pernah aku
temui.”
Enam
tahun kemudian, kembali guru itu mendapat sebuah kartu pos dari si anak. Di
sana tertulis, “Besok hari kelulusan SMA. Saya sangat bahagia mendapat wali
kelas seperti Bu Guru waktu kelas 5 SD. Karena Bu Guru-lah, saya mendapat
beasiswa untuk melanjutkan kuliah di kedokteran.”
Sepuluh
tahun berlalu, kembali guru itu mendapatkan sebuah kartu. Da sana tertulis,
“Saya menjadi dokter yang mengerti rasa syukur dan mengerti rasa sakit. Saya
mengerti rasa syukur karena bertemu dengan Ibu Guru dan saya mengerti rasa
sakit karena saya pernah dipukul ayah saya.
Kartu
pos itu diakhiri dengan kalimat, “Saya selalu ingat Ibu Guru saya waktu kelas
5. Bu Guru seperti dikirim Tuhan untuk menyelamatkan saya ketika saya sedang
jatuh waktu itu. Saya sekarang sudah dewasa dan bersyukur bisa sampai menjadi
seorang dokter. Tetapi guru terbaik saya adalah guru wali kelas ketika saya
kelas 5 SD.”
Setahun
kemudian, kartu pos yang datang adalah surat undangan pernikahan. Di sana
tertulis satu baris, “Mohon Ibu berkenan duduk di kursi Bunda di acara
pernikahan saya.” Guru pun tak kuasa menahan tangis haru dan bahagia.
(Dicuplik dari buku “A Tribute” karya Jamil
Azzaini halaman 149-152)