Cerpen : Supandi
“Cintaku
bisu, bagai batu besar di dasar sungai nan dangkal.
Kau begitu dingin. Kau biarkan rasa ini merana,
menusuk relung hati yang paling
dalam. Kau biarkan aku
tenggelam dalam impian yang semakin tiada bertepi.
Kamu asyik dengan dirimu sendiri. Tak sekalipun tatapan
mataku kau balas dengan harapan. Mengapa jeritan cintaku tumbuh kembali disaat usiaku yang sudah tidak muda
lagi?
“Dorrr....” Rasmi mengagetiku dari
belakang. Aku menahan diri. Sebagai orang yang sudah berumur, aku mencoba untuk
bersikap biasa. Aku khawatir lamunanku akan terbaca oleh Rasmi. “Aneh...baru
saja mudik ketemu suami kok melamun? Kenti...Kenti. habis berantem ya?” Ledek
Rasmi.
“Ngga kok, Cuma masalah kecil”
sepertinya aku berkesempatan untuk mengalihkan perhatian Rasmi agar tidak
menjurus ke hal yang sedang aku rasakan.
“Masalah kecil kok dibawa-bawa kesini?
Emang siapa yang sudah bikin masalah sama kamu, Ken? Suami?” Rasmi terus
mendikte aku.
“Engga....eh, bukan”
“Halah... kaya bicara sama anak kecil
aja kamu. Anak kecil yang lugu.”
“Sudah...sudah...ngga usah dibahas!”
“Tapi kalau melihat gelagatmu,
sepertinya bukan masalah keluarga dech. Lagian, kurang apa coba suamimu?
Uang....? servis...? semua sudah kamu cukupi.” Kali ini Rasmi lagaknya seperti
intel. Intel yang sudah banyak makan asam garam, yang pandai menangkap gelagat
orang. Aku seperti tersangka dibuatnya.
Dan memang benar. Aku tidak mungkin
berkilah tentang suami. Karena suamiku nyaris tidak pernah bikin masalah.
Apapun yang aku lakukan. Apapun yang aku katakan, dia selalu nurut. Aku bahkan
merasa kehilangan kendali. Barangkali itu semua karena aku selalu pulang ke
suami secara rutin sebulan sekali dengan membawa bukti. Aku selalu mengutamakan
pelayanan biologis. Demikian pula, aku selalu pulang dengan membawa sejumlah
uang. Tetanggaku bilang, suamiku itu orang yang ketrima. Tidak perlu bekerja tapi segalanya sudah terpenuhi. Istri,
rumah, sandang, dan pangan, semua datang sendiri. Apapun yang dikatakan oleh
orang, aku anggap angin lalu saja. Aku harus legawa, karena hal ini mungkin sudah suratan, aku yang harus di
depan, mencari nafkah buat keluarga.
Lagipula, aku menyadari bidang
pekerjaan sebagai penjual jamu gendongan lebih pantas jika dijalani oleh orang
perempuan. Walau tidak dipungkiri sebenarnya masih banyak jalan rejeki yang
bisa dicari oleh manusia. Termasuk oleh suamiku. Tapi jika suamiku punya
pemikiran sendiri, berdiam diri di rumah, mengandalkan penghasilan dari aku,
bagiku tidak perlu dipermasalahkan. Toh, ini semua demi keluarga.
Perjalanan yang cukup panjang dari
kampung halaman menuju tanah rantau di Ujung Kulon Pulau Jawa kali ini cukup
melelahkan. Tidak seperti biasanya. Kali ini ada sedikit rasa enggan. Namun aku
harus menyingkirkan perasaan enggan karena aku tidak mau mengecewakan
pelanggan.
Kemunculan Gofar telah membuatku
enggan. Mengapa aku tiba-tiba bertemu dengannya? Entahlah. Aku sendiri bingung
dengan diri sendiri. “Siapakah aku?” Jawabannya cukup sulit aku temukan. Namun
dibalik itu semua, setidaknya aku bisa menemukan makna dari cinta. Tidak bisa
dipungkiri, aku cinta Gofar. Tapi... kok lucu ya? Aku mencintai seseorang dalam
kondisi yang tidak tepat. Mungkin lebih tepatnya, aku dulu pernah mencintai Gofar.
Itu sudah lama sekali. Sekarang, seharusnya rasa itu sudah tidak ada lagi. Aneh
dan tidak pantas. Lagipula, aku juga sudah milik Misman, suamiku.
Gofar sekarang sudah menjadi seorang
piyayi. Dan, aku hanya bisa nyawang. Rasa cinta yang tumbuh sejak SMP
benar-benar hanya sebatas fatamorgana. Impianku untuk menjadi istri piyayi
pupuslah sudah. Aku rupanya harus ikhlas menjalani hidup sebagai pedagang jamu
gendongan. Aku harus senang dengan kebahagiaan Gofar. Barangkali inilah yang
sering dikatakan oleh orang. Cinta tidak harus memiliki. Walau aku setuju
dengan pendapat yang mengatakan bahwa cinta itu harus memiliki. Toh, itu bisa
terwujud jika ada nilai perjuangan. Pendapat yang pertama-lah yang klop dengan
diriku, sebab aku tidak berjuang untuk cinta.
Pulang dari berdagang aku merasakan
seluruh persendian tulang-tulangku linu. Heran. Tiba-tiba saja jalan yang biasa
aku lewati menjadi asing. Tanah tempatku berpijak seluruhnya berlumpur. Aku
berjalan terseok-seok menyusuri jalan setapak dan sangat licin. Pinggangku
pegal. Botol-botol kosong yang aku gendong saling berbenturan satu dengan yang
lain. Aneh. Bunyinya memekakkan telinga, seakan mereka minta turun dari
gendonganku.
Ya Tuhan. Aku takut. Mengapa Gung liwang-liwung?. Aku tak melihat ada
seorang manusia di tempat ini. Aku berjalan seorang diri di tengah hutan
belantara. Di sebelah kananku hutan belantara, sementara di sebelah kiriku
jurang yang menganga. Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba saja aku tersasar ke tempat
yang sama sekali asing bagiku? “Rasmi, tolonglah aku! Tolonglah aku, Rasmi!
Tolong...”
Ya Tuhan. Aku lelah sekali. Sungguh
malang nasibku. Perjuanganku menghidupi suami dan tiga orang anak sungguh
sangat berat. Sampai kapan aku harus berjalan hingga sampai di perkampungan
penduduk? Pinggangku pegal. Beban yang aku gendong semakin berat. Sangat berat.
Haruskah aku turunkan botol-botol ini?
Di depan kulihat hamparan sawah.
Setitik harapan mampir di pikiranku. Setidaknya sudah terasa ada tanda-tanda
kehidupan. Aku menemukan bekas jejak kaki manusia di jalan bercabang. Dua orang
lelaki berjalan naik ke gunung. Aku coba untuk memanggilnya. Mereka menoleh,
tapi mereka tidak menghiraukan aku.
Satu lagi seorang lelaki bercaping
naik ke pematang. Rupanya dia hendak pulang setelah mengerjakan sawahnya.
Lelaki itu menoleh ketika aku panggil. Dan, astaga! “Mas Misman...” Iya, jelas
sekali, dia mas Misman. “Mas Misman...! ini aku, Kenti, mas...! tolong mas, aku
ngga kuat lagi, mas....aku ngga kuat lagi.” Mas Misman menoleh kearahku. Aku
lega. Tapi seketika aku sangat kecewa. Mas Misman tidak menghampiriku.
Sebaliknya, Mas Misman justru pergi meninggalkanku. “Mas Misman jahat...mas Misman
jahat....”
“Astaga..!” Tubuhku terhentak dari
tempat tidur. Kedua mataku terjaga. Bulat. Keringat keluar dari pori-pori
tubuhku. Lagi-lagi aku bermimpi buruk. Aku gelisah. Aku tidak nyaman dibuatnya.
“Rasmi...kamu kok belum tidur?” aku
mendapati Rasmi masih sibuk meracik kunir dan asem di depan tv.
“Belum tidur bagaimana? Tuh lihat jam
dinding!”
“Ya ampun, sudah jam empat to?”
“Ada apa, kok kelihatan panik mukamu?
Mimpi buruk ya?”
“Kok tau?”
“Halah...kok tau, kok tau...apalagi
kalo bukan mimpi buruk? Wajahmu ketakutan gitu.”
“Iya, Ras, aku baru bermimpi. Seram
sekali.”
“Makanya, kalau mau tidur gosok gigi
dulu!”
“Apa? Gosok gigi? Apa hubungannya?”
Rasmi tertawa kecil. Sementara itu
aura pagi mulai terasa. Alunan qiroatil Quran dari speaker masjid bergema lembut, menembus dinding alam. Menjemput
subuh. Dulu saat aku remaja, terutama ketika aku dililit kesengsaraan, hatiku
bergetar ketika mendengar bacaan Al-quran. Sekarang, hatiku bagai batu.
Bergemingpun tidak. Jiwaku telah mengembara jauh sekali. Kegelisahan selalu
mewarnai setiap langkah hidupku. Aku kecewa dengan kisah cintaku bersama Gofar,
hingga aku khilaf. Aku terlalu memaksakan diri untuk memamerkan keperkasaanku
dalam hal materi kepada keluarga.
“Rasmi, menurutmu mimpiku semalam itu
pertanda apa ya?”
“Wah, kalau sesuai dengan yang kamu
ceritakan, mimpimu itu pertanda bahwa mungkin kamu harus melakukan sesuatu
dech.
“Aku harus melakukan sesuatu?”
“Iya.”
“To
the point aja ya. Emang aku harus nglakuin apa?”
“Nah, itu yang tahu orang pintar. Aku
kan belum minum bodrek, jadi aku bukan orang pintar.”
“Sialan kamu, Ras. Didengerin
benar-benar...huf.”
“Emang, menurut kamu, mimpimu itu ada
maknanya ngga?”
“Ngga tahu juga ya...”
“Barangkali, mimpimu itu membuatmu
ngga enak, atau apalah namanya?”
“Iya juga sich. Terus terang saja, aku
memang selalu gelisah di sepanjang hidupku, Ras.”
“Nah, itu berarti sudah ketemu
jawabnya, Ken.”
“Maksud kamu?”
“Maksudku, kamu pasti tahu apa yang
bikin kamu gelisah.”
Benar juga apa yang dikatakan oleh
Rasmi. Aku kadang iri dengan Rasmi. Rasmi begitu tentram. Wajahnya yang hitam
tapi nampak cerah. Rasmi akrab sekali dengan kesederhanaan. Rasmi tidak
menghiraukan gemerlapnya dunia. Aku tahu benar karena setiap hari aku tinggal
satu kontrakan dengannya.
Jika aku bandingkan gaya hidup aku
dengan Rasmi seperti langit dan bumi. Aku lebih mementingkan ‘wah’. Sedangkan
Rasmi? Dia natural. Aku sering meneteskan air mata jika ingat caraku
mendapatkan uang. Aku gila uang. Dan, jujur saja aku sudah mendapatkannya.
Namun caraku sangat bertentangan dengan koridor yang ada. Kesedihanku persis
sama dengan mimpi-mimpi buruk yang seringkali menimpaku. Aku sangat tersiksa
oleh caraku sendiri. Aku terlempar ke suatu tempat yang gung liwang liwung. Tidak ada yang menolong. Bahkan suamiku
sendiri. Dia begitu angkuh. Membiarkanku tergelincir dalam kehancuran moralitas.
“Lho...Kenti sahabatku, kamu kok
tiba-tiba menangis? Weleh-wekeh... maaf ya, kata-kataku tadi menusuk hatimu ya?
Maaf...maaf...banget!” dengan polos Rasmi memohon kepadaku. Kupandangi wajah
Rasmi semakin dalam namun air mataku semakin deras. Isak tangisku tumpah ruah.
Kupeluk Rasmi erat-erat untuk menahan hentakan dadaku. “Kenapa? Ada apa?”
“Aku sendiri tidak tahu, Ras.”
“Hemm...kok bisa ya, menangis tanpa
sebab?”
“Sebab si ada, Ras. Tapi aku sulit
mengatakannya.”
“Oh, begicu...” bibir Rasmi yang
manyun sedikit menghiburku.
Jujur aku dibuat bingung dengan
tingkahku sendiri. Andai saja aku bekerja apa adanya seperti Rasmi, aku yakin
kejadiannya tidak seperti ini. Walau hidup dalam kekurangan tapi Rasmi merasa
nyaman. Aku salut dengan Rasmi. Dia khusu’ dalam beribadah. Itu yang membuat
aku iri kepadanya.
Aku harus mengambil sikap. Aku harus
pulang ke desa. Kembali ke suami atau jika suami tidak mau menerimaku, mungkin
aku akan kembali ke orang tuaku. Intinya, aku harus kembali ke diriku sendiri.
Semoga Tuhan berkenan menerima taubatku.
“Niatmu sangat mulia, Kenti. Tapi
mengapa kamu harus pulang ke desa? Untuk kembali kepada Tuhan, dimana tempat
kan jadi?” Rasmi menasehatiku.
“Aku harus terbebas dari mereka, Ras.
Aku tidak mau lagi kontak dengan para lelaki hidung belang itu. Dengan pulang
kampung aku berharap bisa lebih konsentrasi beribadah. Aku ingin bersimpuh di
hadapan Tuhan. Aku ingin ngaji ke
kiai. Aku ingin shalat malam seperti kamu. Aku ingin baca Quran. Aku ingin mati
secara khusnul khatimah.”
Mendung bergelayut diatas bumi
Pasundan. Matahari tampak malu menyibak pagi. Kutatap wajah Rasmi dengan dalam.
Rasmi tersenyum kecut. Kedua matanya merah. Jelas sekali Rasmi mencoba
membendung butiran air mata yang hendak meleleh. Rasmi berdiri mematung ketika
aku melambaikan tanganku dari atas Koprades. Puluhan tahun kami bersama dalam
satu rumah kontrakan, harus berakhir dengan rasa pilu yang begitu mendalam. Aku
bahkan seperti meninggalkan tanah tumpah darahku sendiri, karena aku sudah
sangat menyatu dengan kampung di bumi Pasundan itu. Aku bersyukur karena
suamiku tidak mempermasalahkan kepulanganku ke tanah kelahiranku.