DAPATKAN BUKU "MENYIAPKAN KESUKSESAN ANAK ANDA" DI GRAMEDIA BOOKSTORE DI SELURUH INDONESIA

Senin, 29 Desember 2014

Seberkas Cahaya dibalik Fajar Subuh


Cerpen : Supandi

“Cintaku bisu, bagai batu besar di dasar sungai nan dangkal. Kau begitu dingin. Kau biarkan rasa ini merana, menusuk relung hati yang paling dalam. Kau biarkan aku tenggelam dalam impian yang semakin tiada bertepi. Kamu asyik dengan dirimu sendiri. Tak sekalipun tatapan mataku kau balas dengan harapan. Mengapa jeritan cintaku tumbuh kembali disaat usiaku yang sudah tidak muda lagi?

“Dorrr....” Rasmi mengagetiku dari belakang. Aku menahan diri. Sebagai orang yang sudah berumur, aku mencoba untuk bersikap biasa. Aku khawatir lamunanku akan terbaca oleh Rasmi. “Aneh...baru saja mudik ketemu suami kok melamun? Kenti...Kenti. habis berantem ya?” Ledek Rasmi.
“Ngga kok, Cuma masalah kecil” sepertinya aku berkesempatan untuk mengalihkan perhatian Rasmi agar tidak menjurus ke hal yang sedang aku rasakan.
“Masalah kecil kok dibawa-bawa kesini? Emang siapa yang sudah bikin masalah sama kamu, Ken? Suami?” Rasmi terus mendikte aku.
“Engga....eh, bukan”
“Halah... kaya bicara sama anak kecil aja kamu. Anak kecil yang lugu.”
“Sudah...sudah...ngga usah dibahas!”
“Tapi kalau melihat gelagatmu, sepertinya bukan masalah keluarga dech. Lagian, kurang apa coba suamimu? Uang....? servis...? semua sudah kamu cukupi.” Kali ini Rasmi lagaknya seperti intel. Intel yang sudah banyak makan asam garam, yang pandai menangkap gelagat orang. Aku seperti tersangka dibuatnya.
Dan memang benar. Aku tidak mungkin berkilah tentang suami. Karena suamiku nyaris tidak pernah bikin masalah. Apapun yang aku lakukan. Apapun yang aku katakan, dia selalu nurut. Aku bahkan merasa kehilangan kendali. Barangkali itu semua karena aku selalu pulang ke suami secara rutin sebulan sekali dengan membawa bukti. Aku selalu mengutamakan pelayanan biologis. Demikian pula, aku selalu pulang dengan membawa sejumlah uang. Tetanggaku bilang, suamiku itu orang yang ketrima. Tidak perlu bekerja tapi segalanya sudah terpenuhi. Istri, rumah, sandang, dan pangan, semua datang sendiri. Apapun yang dikatakan oleh orang, aku anggap angin lalu saja. Aku harus legawa, karena hal ini mungkin sudah suratan, aku yang harus di depan, mencari nafkah buat keluarga.
Lagipula, aku menyadari bidang pekerjaan sebagai penjual jamu gendongan lebih pantas jika dijalani oleh orang perempuan. Walau tidak dipungkiri sebenarnya masih banyak jalan rejeki yang bisa dicari oleh manusia. Termasuk oleh suamiku. Tapi jika suamiku punya pemikiran sendiri, berdiam diri di rumah, mengandalkan penghasilan dari aku, bagiku tidak perlu dipermasalahkan. Toh, ini semua demi keluarga.
Perjalanan yang cukup panjang dari kampung halaman menuju tanah rantau di Ujung Kulon Pulau Jawa kali ini cukup melelahkan. Tidak seperti biasanya. Kali ini ada sedikit rasa enggan. Namun aku harus menyingkirkan perasaan enggan karena aku tidak mau mengecewakan pelanggan.
Kemunculan Gofar telah membuatku enggan. Mengapa aku tiba-tiba bertemu dengannya? Entahlah. Aku sendiri bingung dengan diri sendiri. “Siapakah aku?” Jawabannya cukup sulit aku temukan. Namun dibalik itu semua, setidaknya aku bisa menemukan makna dari cinta. Tidak bisa dipungkiri, aku cinta Gofar. Tapi... kok lucu ya? Aku mencintai seseorang dalam kondisi yang tidak tepat. Mungkin lebih tepatnya, aku dulu pernah mencintai Gofar. Itu sudah lama sekali. Sekarang, seharusnya rasa itu sudah tidak ada lagi. Aneh dan tidak pantas. Lagipula, aku juga sudah milik Misman, suamiku.
Gofar sekarang sudah menjadi seorang piyayi. Dan, aku hanya bisa nyawang. Rasa cinta yang tumbuh sejak SMP benar-benar hanya sebatas fatamorgana. Impianku untuk menjadi istri piyayi pupuslah sudah. Aku rupanya harus ikhlas menjalani hidup sebagai pedagang jamu gendongan. Aku harus senang dengan kebahagiaan Gofar. Barangkali inilah yang sering dikatakan oleh orang. Cinta tidak harus memiliki. Walau aku setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa cinta itu harus memiliki. Toh, itu bisa terwujud jika ada nilai perjuangan. Pendapat yang pertama-lah yang klop dengan diriku, sebab aku tidak berjuang untuk cinta.
Pulang dari berdagang aku merasakan seluruh persendian tulang-tulangku linu. Heran. Tiba-tiba saja jalan yang biasa aku lewati menjadi asing. Tanah tempatku berpijak seluruhnya berlumpur. Aku berjalan terseok-seok menyusuri jalan setapak dan sangat licin. Pinggangku pegal. Botol-botol kosong yang aku gendong saling berbenturan satu dengan yang lain. Aneh. Bunyinya memekakkan telinga, seakan mereka minta turun dari gendonganku.
Ya Tuhan. Aku takut. Mengapa Gung liwang-liwung?. Aku tak melihat ada seorang manusia di tempat ini. Aku berjalan seorang diri di tengah hutan belantara. Di sebelah kananku hutan belantara, sementara di sebelah kiriku jurang yang menganga. Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba saja aku tersasar ke tempat yang sama sekali asing bagiku? “Rasmi, tolonglah aku! Tolonglah aku, Rasmi! Tolong...”
Ya Tuhan. Aku lelah sekali. Sungguh malang nasibku. Perjuanganku menghidupi suami dan tiga orang anak sungguh sangat berat. Sampai kapan aku harus berjalan hingga sampai di perkampungan penduduk? Pinggangku pegal. Beban yang aku gendong semakin berat. Sangat berat. Haruskah aku turunkan botol-botol ini?
Di depan kulihat hamparan sawah. Setitik harapan mampir di pikiranku. Setidaknya sudah terasa ada tanda-tanda kehidupan. Aku menemukan bekas jejak kaki manusia di jalan bercabang. Dua orang lelaki berjalan naik ke gunung. Aku coba untuk memanggilnya. Mereka menoleh, tapi mereka tidak menghiraukan aku.
Satu lagi seorang lelaki bercaping naik ke pematang. Rupanya dia hendak pulang setelah mengerjakan sawahnya. Lelaki itu menoleh ketika aku panggil. Dan, astaga! “Mas Misman...” Iya, jelas sekali, dia mas Misman. “Mas Misman...! ini aku, Kenti, mas...! tolong mas, aku ngga kuat lagi, mas....aku ngga kuat lagi.” Mas Misman menoleh kearahku. Aku lega. Tapi seketika aku sangat kecewa. Mas Misman tidak menghampiriku. Sebaliknya, Mas Misman justru pergi meninggalkanku. “Mas Misman jahat...mas Misman jahat....”
“Astaga..!” Tubuhku terhentak dari tempat tidur. Kedua mataku terjaga. Bulat. Keringat keluar dari pori-pori tubuhku. Lagi-lagi aku bermimpi buruk. Aku gelisah. Aku tidak nyaman dibuatnya.
“Rasmi...kamu kok belum tidur?” aku mendapati Rasmi masih sibuk meracik kunir dan asem di depan tv.
“Belum tidur bagaimana? Tuh lihat jam dinding!”
“Ya ampun, sudah jam empat to?”
“Ada apa, kok kelihatan panik mukamu? Mimpi buruk ya?”
“Kok tau?”
“Halah...kok tau, kok tau...apalagi kalo bukan mimpi buruk? Wajahmu ketakutan gitu.”
“Iya, Ras, aku baru bermimpi. Seram sekali.”
“Makanya, kalau mau tidur gosok gigi dulu!”
“Apa? Gosok gigi? Apa hubungannya?”
Rasmi tertawa kecil. Sementara itu aura pagi mulai terasa. Alunan qiroatil Quran dari speaker masjid bergema lembut, menembus dinding alam. Menjemput subuh. Dulu saat aku remaja, terutama ketika aku dililit kesengsaraan, hatiku bergetar ketika mendengar bacaan Al-quran. Sekarang, hatiku bagai batu. Bergemingpun tidak. Jiwaku telah mengembara jauh sekali. Kegelisahan selalu mewarnai setiap langkah hidupku. Aku kecewa dengan kisah cintaku bersama Gofar, hingga aku khilaf. Aku terlalu memaksakan diri untuk memamerkan keperkasaanku dalam hal materi kepada keluarga.
“Rasmi, menurutmu mimpiku semalam itu pertanda apa ya?”
“Wah, kalau sesuai dengan yang kamu ceritakan, mimpimu itu pertanda bahwa mungkin kamu harus melakukan sesuatu dech.
“Aku harus melakukan sesuatu?”
“Iya.”
To the point aja ya. Emang aku harus nglakuin apa?”
“Nah, itu yang tahu orang pintar. Aku kan belum minum bodrek, jadi aku bukan orang pintar.”
“Sialan kamu, Ras. Didengerin benar-benar...huf.”
“Emang, menurut kamu, mimpimu itu ada maknanya ngga?”
“Ngga tahu juga ya...”
“Barangkali, mimpimu itu membuatmu ngga enak, atau apalah namanya?”
“Iya juga sich. Terus terang saja, aku memang selalu gelisah di sepanjang hidupku, Ras.”
“Nah, itu berarti sudah ketemu jawabnya, Ken.”
“Maksud kamu?”
“Maksudku, kamu pasti tahu apa yang bikin kamu gelisah.”
Benar juga apa yang dikatakan oleh Rasmi. Aku kadang iri dengan Rasmi. Rasmi begitu tentram. Wajahnya yang hitam tapi nampak cerah. Rasmi akrab sekali dengan kesederhanaan. Rasmi tidak menghiraukan gemerlapnya dunia. Aku tahu benar karena setiap hari aku tinggal satu kontrakan dengannya.
Jika aku bandingkan gaya hidup aku dengan Rasmi seperti langit dan bumi. Aku lebih mementingkan ‘wah’. Sedangkan Rasmi? Dia natural. Aku sering meneteskan air mata jika ingat caraku mendapatkan uang. Aku gila uang. Dan, jujur saja aku sudah mendapatkannya. Namun caraku sangat bertentangan dengan koridor yang ada. Kesedihanku persis sama dengan mimpi-mimpi buruk yang seringkali menimpaku. Aku sangat tersiksa oleh caraku sendiri. Aku terlempar ke suatu tempat yang gung liwang liwung. Tidak ada yang menolong. Bahkan suamiku sendiri. Dia begitu angkuh. Membiarkanku tergelincir dalam kehancuran moralitas.
“Lho...Kenti sahabatku, kamu kok tiba-tiba menangis? Weleh-wekeh... maaf ya, kata-kataku tadi menusuk hatimu ya? Maaf...maaf...banget!” dengan polos Rasmi memohon kepadaku. Kupandangi wajah Rasmi semakin dalam namun air mataku semakin deras. Isak tangisku tumpah ruah. Kupeluk Rasmi erat-erat untuk menahan hentakan dadaku. “Kenapa? Ada apa?”
“Aku sendiri tidak tahu, Ras.”
“Hemm...kok bisa ya, menangis tanpa sebab?”
“Sebab si ada, Ras. Tapi aku sulit mengatakannya.”
“Oh, begicu...” bibir Rasmi yang manyun sedikit menghiburku.
Jujur aku dibuat bingung dengan tingkahku sendiri. Andai saja aku bekerja apa adanya seperti Rasmi, aku yakin kejadiannya tidak seperti ini. Walau hidup dalam kekurangan tapi Rasmi merasa nyaman. Aku salut dengan Rasmi. Dia khusu’ dalam beribadah. Itu yang membuat aku iri kepadanya.
Aku harus mengambil sikap. Aku harus pulang ke desa. Kembali ke suami atau jika suami tidak mau menerimaku, mungkin aku akan kembali ke orang tuaku. Intinya, aku harus kembali ke diriku sendiri. Semoga Tuhan berkenan menerima taubatku.
“Niatmu sangat mulia, Kenti. Tapi mengapa kamu harus pulang ke desa? Untuk kembali kepada Tuhan, dimana tempat kan jadi?” Rasmi menasehatiku.
“Aku harus terbebas dari mereka, Ras. Aku tidak mau lagi kontak dengan para lelaki hidung belang itu. Dengan pulang kampung aku berharap bisa lebih konsentrasi beribadah. Aku ingin bersimpuh di hadapan Tuhan. Aku ingin ngaji ke kiai. Aku ingin shalat malam seperti kamu. Aku ingin baca Quran. Aku ingin mati secara khusnul khatimah.”

Mendung bergelayut diatas bumi Pasundan. Matahari tampak malu menyibak pagi. Kutatap wajah Rasmi dengan dalam. Rasmi tersenyum kecut. Kedua matanya merah. Jelas sekali Rasmi mencoba membendung butiran air mata yang hendak meleleh. Rasmi berdiri mematung ketika aku melambaikan tanganku dari atas Koprades. Puluhan tahun kami bersama dalam satu rumah kontrakan, harus berakhir dengan rasa pilu yang begitu mendalam. Aku bahkan seperti meninggalkan tanah tumpah darahku sendiri, karena aku sudah sangat menyatu dengan kampung di bumi Pasundan itu. Aku bersyukur karena suamiku tidak mempermasalahkan kepulanganku ke tanah kelahiranku.

Jumat, 26 Desember 2014

Rasionalisasi Pencegahan Korupsi

Oleh : Supandi, S.Pd.,MM.

Apa yang ada di benak seseorang ketika dihadapkan pada sebuah peluang yang terbuka lebar untuk mendapatkan sejumlah uang dalam jumlah yang fantastik? Dengan uang tersebut ia akan bisa memiliki segalanya tanpa harus bekerja keras; rumah bagus, mobil mewah dan bentuk-bentuk kesenangan duniawi lainnya. Kemanakah kita akan berkiblat ketika benteng keimanan yang ada di dalam diri kita tidak cukup kuat untuk dijadikan guidance atau directing force?
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk Tuhan lainnya, di dalam dirinya terdapat tiga aspek yang merupakan satu kesatuan. Ketiga aspek tersebut adalah aspek jasmaniah, nafsiah dan ruhaniah. Aspek jasmaniah bersifat kebendaan (raga). Sedangkan dua aspek yang lain tersembunyi dalam diri kita, tidak bisa dilihat secara kasat mata.
Kaitannya dengan aspek nafsiah, praktis bahwa di dalam diri setiap orang terdapat potensi diri yang menjurus pada kecenderungan yang relatif sama, yakni tergoda untuk melakukan tindak kejahatan korupsi. Dorongan nafsu yang ada di dalam diri seseorang bagaikan bom waktu. Ketika peluang terbuka, maka sangat mungkin bagi diri setiap orang untuk memilih praktik tindak kejahatan korupsi.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama, sudah selayaknya jika paradigma keimanannya mampu membentengi diri dari tindak kejahatan korupsi. Namun ironis, kenyataan membuktikan bahwa ternyata penyakit korupsi justru banyak menjangkiti kaum yang beragama. Konsep keimanan yang mereka miliki nampaknya masih rapuh. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa tindak pidana korupsi di negeri ini sudah menjurus kearah extra ordinary crime, tidak hanya menjangkiti kaum elit, tetapi sudah menjalar ke dalam tiga level. Ketiga level tersebut adalah kaum elit, endemik, dan level sistemik. Pada level elit, korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas di kalangan para elit atau pejabat negara. Pada level endemik, korupsi dilakukan oleh masyarakat luas. Lalu pada level sistemik, korupsi dilakukan oleh sistem secara kolaboratif oleh beberapa oknum.
Ada sebuah konsep brilliant, ketika aspek spiritual tidak mampu membentengi diri dari pencegahan terhadap kecenderungan untuk melakukan tindakan korupsi. Marilah kita sejenak bercermin kepada sepuluh negara paling bersih dari korupsi di dunia. Kesepuluh negara tersebut adalah :
1.      Denmark
2.      Selandia Baru
3.      Finlandia
4.      Swedia
5.      Norway
6.      Switzerland
7.      Singapore
8.      Netherlands
9.      Luxembourg
10.  Canada
Dengan pertimbangan hukum-hukum yang terkait dengan tindak kejahatan korupsi, ternyata mereka lebih mengedepankan aspek rasionalitas daripada aspek spiritual. Mereka berkeyakinan bahwa resiko dari melakukan kejahatan korupsi itu sangat berat; seperti masuk bui, terkena penyakit yang mengerikan, anak-anak gagal, dan lain-lain. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita dan untuk Indonesia.

Senin, 22 Desember 2014

Berpikir Melingkar

Oleh : Supandi, S.Pd.,MM.

Di depan sebuah toko kelontong, ada seorang pelanggan yang baru saja membeli sebungkus rokok. Di saat bungkus rokok akan dibuka, dia berpapasan dengan salah seorang rekannya. Sambil berseloroh rekannya menunjukkan gambar peringatan tentang bahaya merokok. Apa reaksi yang diberikan oleh si pembeli rokok tadi? Dengan enteng dia menanggapi “Alaah...merokok atau tidak kita juga akan mati. Banyak tuh, orang yang tidak merokok tapi batuk, bahkan ada yang stroke.”
Tegur sapa diantara merekapun berakhir tanpa makna. Fenomena diatas menunjukkan bahwa ketika pikiran seseorang sudah diselimuti oleh pembenaran pribadi, maka akan sulit baginya untuk merubah jalan pikirannya. Dalam hal bahaya merokok, kesehatan menjadi resiko yang mudah untuk diabaikan.
Dalam dinamika kehidupan nyata sering muncul beberapa kejadian yang merangsang manusia untuk mengambil sikap. Di sisi lain kejadian-kejadian yang muncul itu mengandung beragam resiko; dari resiko yang ringan hingga yang paling berat.
Khusus yang terkait dengan peristiwa besar dengan resiko besar, hendaknya kita berpikir melingkar. Untuk lebih fokus, kita lihat sabda Rasulullah yang berbunyi ; “Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak lagi peduli apa yang ia kumpulkan; apakah dari yang halal atau dari yang haram?” (HR. al-Bukhari). Dengan atau tanpa kita sadari, ternyata kebenaran dari isyarat beliau sudah tiba di jaman sekarang. Banyak orang yang mengejar harta demi untuk kepentingan pribadi. Parktek-praktek korupsi dan budaya suap sudah menjamur dimana-mana. Mereka bilang bahwa hal tersebut memang “sudah jamannya”. Mereka menyebutnya jaman edan. Benar, bahwa jaman edan memang sudah datang, karena memang sudah disabdakan oleh kanjeng Nabi.
Untuk menghadapi fase jaman edan kita harus mampu mengoptimalkan suara hati nurani yang sudah kita miliki secara kodrati, yakni suara hati yang menyuarakan kebenaran. Sedangkan untuk memenuhi panggilan hati nurani kita hendaknya menggunakan cara berpikir melingkar. Artinya, cara berpikir yang dilandasi oleh beberapa pertimbangan yang berwawasan jauh ke depan. Pertimbangan matang yang didasari oleh kesadaran akan adanya hubungan sebab akibat. Kalau saya mengambil sikap begini, maka akibatnya akan begini. Dengan cara berpikir melingkar, maka kita akan terhindar dari dalih pembenaran pribadi.
Banyak orang pintar tapi tidak cerdas. Ketika mereka memiliki kesempatan untuk mengambil keuntungan pribadi, mereka mengambil keputusan yang tidak proporsional. Tidak berpikir melingkar. Mereka hanya mempertimbangkan kebahagiaan dan kepuasan semu. Kecerdasan mereka kalah oleh pertimbangan jangka pendek.
Yang terpenting bagi anda dan saya adalah bagaimana kita mampu menjaga konsistensi cara berpikir dua arah, yakni pintar dan cerdas. Pintar, ketika kita mengetahui ilmunya. Cerdas, ketika kita mampu berpikir melingkar. Orang yang cerdas adalah orang yang mampu berpikir melingkar. Mereka tahu dan mampu menggunakan akal sehatnya secara tepat.

Sabtu, 29 November 2014

Kecerdasan Multi Dimensi


Oleh : Supandi, S.Pd.,MM.

Success and happiness is not accident (sukses dan kebahagiaan tidak terjadi secara tiba-tiba).  Jika dicermati ungkapan tesebut sangat logis.  Seseorang tidak mungkin bisa meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidup hanya dengan berpangku tangan. Untuk mencapai success and happiness seseorang harus melakukan action yang nyata.
Sukses dan bahagia mempunyai korelasi yang sangat erat. Pada prinsipnya,  kesuksesan seseorang selalu diikuti oleh kebahagiaan. Kesuksesan yang tidak diikuti oleh kebahagiaan adalah kesuksesan yang sifatnya semu. Kesuksesan semacam ini memiliki jangkauan jangka pendek dan biasanya hanya untuk kepentingan materi keduniaan, tanpa memiliki pertimbangan ukhrowi.
Sukses berarti tercapai apa yang menjadi impiannya. Sedangkan bahagia adalah suatu kondisi kejiawaan seseorang dalam tingkatan tertentu hingga mencapai titik stabil. Bahagia ditandai dengan keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, atau kegembiraan. Dengan demikian, antara sukses dan bahagia terjalin sebuah hubungan yang sinergis.
Untuk menjaga hubungan yang sinergis antara kesuksesan dan kebahagiaan, terlebih dahulu kita harus mengetahui ilmunya. Sebagaimana hadis nabi mengatakan bahwa “untuk mencapai kebahagiaan dunia, seseorang harus mengetahui ilmunya. Untuk mencapai kebahagiaan akherat seseorang harus mengetahui ilmunya. Untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat seseorang harus mengetahui ilmunya.
Banyak orang yang sukses secara materi tetapi berakhir dengan unhappy ending. Materi yang mereka miliki diperoleh dengan cara-cara yang didasarkan pada matematis logis dan nafsu serakah serta menyimpang dari nurani kebenaran. Mereka berhasil memeroleh materi yang banyak tapi jauh dari keberkahan. Oleh  karena tidak berkah, maka tidak bisa membuatnya bahagia. Sebaliknya, mereka justru akan membawa seseorang pada kehancuran.
Ada tiga kecerdasan yang bisa kita sinergiskan untuk mencapai kestabilan kondisi antara sukses dan bahagia. Jika ketiga kecerdasan bisa kita aplikasikan secara terintegrasi dalam diri kita, maka sangat mungkin kita bisa meraih success and happiness dalam satu paket. Ketiga kecerdasan itu adalah kecerdasan angka, kecerdasan ruang, dan kecerdasan waktu.
Kecerdasan angka bersifat relatif; yakni ketika seseorang bisa mendapatkan sejumlah harta untuk memenuhi kebutuhannya. Kecerdasan ruang dan waktu adalah ketika materi yang ia peroleh bisa membawa keberkahan hidup jangka panjang. Keberkahan materi erat hubungannya dengan kebahagiaan. Sedangkan banyaknya materi tidak selalu berimbas pada kebahagiaan. Seorang koruptor dan orang-orang yang melakukan praktek-praktek menghalalkan segala cara bisa jadi cerdas secara angka, tetapi mereka tidak cerdas secara ruang dan waktu. Bila merujuk pada HKE (Hukum Kekealan Energi) dalam kehidupan, seseorang yang melakukan kejahatan korupsi dan melakukan praktek-praktek menghalalkan segala cara, pada suatu saat ia akan berhadapan dengan resiko atas apa yang sudah diakukannya. Mereka akan berhadapan dengan “tagihan energi negatif” berupa azab yang sangat mengerikan.
Saya tidak akan membahas bentuk-bentuk tagihan energi negatif yang ditimpakan kepada para koruptor dan orang-orang yang telah melakukan praktek-praktek jalan pintas dengan menghalalkan segala cara. Saya yakin anda bisa menemukan dan membuktikannya sendiri. Anda bisa menyaksikan sendiri di lingkungan anda, di surat kabar, atau melalui berita-berita di televisi, bagaimana mereka menjalani azab dari Tuhan.
Satu hal yang penting anda catat adalah bahwa azab yang saya maksud akan mereka hadapi kontan, saat mereka masih hidup di dunia dan berlajut hingga ke kehidupan abadi. Dengan bahasa yang lugas saya katakan, mereka akan dan sedang menjalani sisa umur mereka dengan catatan sejarah yang unhappy ending.
Kemampuan untuk menggabungkan ketiga kecerdasan tentu bukan hal yang mudah. Bahkan mungkin ada diantara mereka yang masih mempertahankan pembenaran pribadi ketika disadarkan dengan penjelasan ini. Untuk menyikapi kebenaran ilmiah perlu dihadirkan campur tangan hati nurani yang didukung oleh suara Tuhan. Hati nurani yang didukung oleh suara Tuhan selalu berpihak kepada kebenaran hakiki. Kondisi ini akan menghadirkan sebuah pikiran yang open minded. Kondisi pikiran yang open minded sangat memungkinkan untuk bisa menyerap argumentasi yang bersifat menguntungkan.
             Kontribusi hati nurani dan suara Tuhan sangat berperan dalam menciptakan prinsip hidup yang kuat. Semoga Tuhan berkenan memberi hidayah kepada kita berupa kecerdasan yang mampu menciptakan keberuntungan yang benar menurutNya, yakni kecerdasan multi dimensi yang merupakan akumulasi dan kombinasi antara kecerdasan angka, kecerdasan runag dan kecerdasan waktu. Semakin banyak diantara kita yang terinspirasi dengan tulisan ini maka saya yakin semakin terbuka peluang bagi kita untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara yang bersih, berwibawa, kaya, dan makmur. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, tur raharjo. Aamiin. 

Jumat, 21 November 2014

Menembus Batas

Cerpen Supandi

Secercah harapan bergelayut di kepalaku saat bulan Januari tiba. Asa menari di singgasana kerajaan masa depan yang belum tersingkap. Beberapa bulan lagi aku akan menyelesaikan studiku di bangku SMA. Aku rela jika aku harus bergelut dengan berbagai aktifitas menjelang detik-detik Ujian Nasional. Harapan terbesar yang aku impikan adalah bisa lulus dengan nilai yang istimewa. Dengan begitu, cita-citaku kuliah di perguruan tinggi unggulan tentu akan bisa aku wujudkan.
Pagi itu, tidak seperti biasanya matahari bersinar cerah. Belakangan, sudah beberapa hari desa kami selalu bermandikan hujan, sehingga aku harus melepas sepatu saat pergi ke sekolah. Tapi kali ini aku berjalan melenggang ke sekolah tanpa harus menenteng sepatuku. Sinar matahari turut menghangatkan tubuhku saat aku menyusuri lorong-lorong nan teduh. Aku harus berjalan kaki sejauh dua kilometer karena Ramlan tidak menghampiriku. Pagi itu aku dapati Ramlan sudah terlebih dulu berboncengan dengan Enggar.
“Kamu berangkat sama siapa, Han?” Ramlan sudah berdiri di balik pintu kelas ketika aku sampai di sekolah. Kusapu keringatku dengan kedua lenganku.
Alone.” Jawabku sambil berlalu.
“Apa?…apa?”
Alone. Sendiri, tau?”
Kutaruh tasku di dalam laci meja, sementara Ramlan mengikutiku dari belakang.
“Nanti ulangan Fisika ya, Han? Duh, bagaimana ya, aku semalam ngga belajar je.”
“Ngga belajar?”
“Ngga.”
“Kebetulan dong.”
“Kebetulan bagaimana?”
“Ngurangin saingan.” Ramlan menngamit pipiku. Aku menghindar.
Hari-hari di SMA adalah hari-hari yang menyenangkan. Hari-hari yang penuh dengan canda dan tawa senantiasa mewarnai kebersamaan kami. Aku selalu larut dalam kenangan  yang terukir dalam cerita masa SMA. Senyum para guru juga turut menyejukkan jiwaku. Semua yang kulihat dan aku alami menorehkan kesan yang terukir dalam buku harian kehidupanku.
Selesai ulangan harian, tiba giliran kami untuk mengikuti pelajaran olah raga. Jam ketiga. Matahari bertengger lebih tinggi. Sinar hangatnya berbaur dengan panas. Aku sedikit cemas ketika pak guru olah ragaku meniup peluitnya. “Ya Allah, beri aku kekuatan” doaku di dalam hati. Kucoba membuang kecemasanku. Aku pasrah, dan berusaha enjoy dengan gerakan-gerakan fisik yang menyedot banyak energi. “La Hawla Wala Quwwata Illa Billah, tiada daya dan kekuatan, kecuali dariMu ya Rabb”. Aku selalu membaca kalimat Hauqolah itu berulang kali selama pelajaran olah raga berlangsung. Aku selalu menjadi bahan tertawaan teman-teman ketika kedua kakiku selalu menabrak tiang dalam lompat tinggi. Mereka tertawa riuh ketika aku tertinggal dalam lari sprint seratus meter, bahkan gelak tawa mereka cair ketika kepalaku terkena bola smash dalam train permainan bola voli.
“Eh…Handoko, sini!” pak guru olah raga memanggilku. Aku berlari kecil memenuhi panggilannya.
“Besok kamu cari belut di sawah ya! Kamu ini kurang gizi, jadi gerakanmu ngga gesit.” Kata-kata pak guru olah ragaku cukup menusuk. Aku sedih dibuatnya. Tapi aku sadar. Dan, benar apa yang beliau katakan. Aku tidak boleh sakit hati. Berkat nasehat beliau aku jadi sadar diri. Aku menyadari akan apa yang terjadi pada diriku.
Ketika tidak ada kegiatan sore di sekolah, aku benar-benar menuruti nasehat guru yang menyakitkan itu. Aku telusuri pematang sawah di belakang rumahku. Aku berjalan menunduk, menyibak daun-daun padi yang hijau. Dan ketika petang menjemput aku undur diri. Aku sering pulang dengan beberapa ekor belut. Yang membuat aku senang adalah ternyata mamakku juga menyukai makan sama belut. Aku lahap jika mamak membakar belut-belut itu, lalu diuleg bersama dengan sambal terasi.
Namun sayang, hal itu tidak setiap hari bisa aku lakukan. Senin sampai Kamis aku harus mengikuti kegiatan less sore hari di sekolah. Kegiatan penambahan jam pelajaran untuk menghadapi Ujian Nasional.
“Makan sama apa, Han?” Asih mendekatiku, lalu mengambil tempat duduk di depanku sehingga posisi kami saling berhadapan. Aku tutupi tlekem di hadapanku dengan kelima jariku. Namun Asih memaksaku membuka tlekem itu. Aku jadi malu. Tlekem itu hanya berisi nasi dan beberapa iris tempe goreng.
“Kamu kok pake bawa bekal segala, Asih? Kenapa ngga ke kantin aja?” tanyaku untuk mengalihkan perhatian.
“Emang kenapa kalau aku bawa bekal?”
“Ngga apa-apa. Biasanya kan kamu ke kantin?”
“Emang aneh ya, aku bawa bekal?”
“Ngga juga. Kan lebih enak kalau beli di kantin?”
“Eh…ngece kamu ya! Jangan dikira masakan ibuku ngga enak ya! Masakan ibuku lebih mantap, tau?” Asih melempar dua iris daging sapi ke tlekemku. Aku cuwek aja. Kumakan daging itu. “Lumayan…” pikirku.
Aku berjalan menjemput sinar matahari sore. Kali ini langkahku kaku. Aku merasakan tulang-tulang kakiku kelu. Dan…ya, Tuhan! Mengapa aku sempoyongan? Beri aku kekuatan, ya Tuhanku!. Kuhentikan sejenak langkahku agar bisa mengusir kunang-kunang di kepalaku. “Astaghfirullah, ya Allah, mengapa gelap?. Kunang-kunang itu bertambah banyak. Aku lemas. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhku. Ya, Allah. Gelap…gelap…gelap sekali. Dan…”
Aku tidak tahu apa yang terjadi sore itu pada diriku. Aku tersadar ketika tubuhku sudah terbaring di Puskesmas kecamatan. Berkali-kali aku mengedipkan mataku. Semua yang aku lihat tampak putih. Dan aku yakin bahwa aku benar-benar di puskesmas. Kulihat mamakku sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang di pintu.
“Kamu sudah sadar, Han? Syukurlah.” kata mamakku ketika beliau memalingkan wajahnya kearahku. Aku tersenyum. Mamak tidak membalasku dengan senyuman.
“Mengapa aku ada disini, mak?” tanyaku. “Mamak segera mengurus admnistrasinya ya! Kita pulang saja, mak! Aku ngga apa-apa kok.” kata-kataku mengalir.
“Kamu perlu menjalani perawatan beberapa hari disini, Han.”
“Mamak percaya saja sama aku, mak! Aku sehat kok.” Aku bangunkan tubuhku. Tapi....astaghfirullah, keyakinanku ternyata belum mampu mengangkat tubuhku. Ya, Allah, ada apa dengan tubuhku? Mengapa aku begitu lemas?
Kumanjakan kembali tubuhku diatas pembaringan. Kupandangi wajah mamakku. Beliau menatapku datar. Kupandangi langit-langit, ada dua ekor cecak berkejaran. Salah satu dari cecak itu putus ekornya, dan jatuh. Ekor itu menggeliat di lantai. Kupandangi korden jendela, tapi pandanganku kosong. Aku lebih konsen untuk menahan rasa sakit di perutku. Rasa sakit dan mual terus menyentak perutku. La Hawla Wala Quwwata Illa Billah. Kalimat itu yang bisa aku ucapkan untuk melawan rasa sakit di perutku.
“Mak, kapan kita pulang?” tanyaku ketika rasa sakit itu reda.
“Sekarang.”
“Benarkah, mak?”
“Iya.” Hatiku berbunga-bunga mendengar jawaban dari mamakku. Dan, benar. Santo, adikku turun dari mobil pamanku untuk menjemputku. Kubangunkan tubuhku, tapi…ya ampun, aku tak kuasa. Paman Darso yang kekar itu dengan sigap mengangkat tubuhku. Santo dan mamak mengiringiku dari belakang.
Aku mencoba untuk memasukkan makanan ke dalam mulutku. Walau pahit tapi kupaksakan agar tubuhku mendapat asupan energi. Dan, aku bersyukur karena lambat laun aku merasa ada energi yang masuk ke dalam tubuhku. Setidaknya aku sudah bisa duduk. Aku juga bisa menyiram mukaku dengan air wudlu. Aku kangen dengan air wudlu. Selama satu minggu aku tidak bisa mengambil sendiri air wudlu. Aku ingin menggunakan air itu sebagai wasilah untuk memperoleh kekuatan yang lebih banyak lagi. Dengan air wudlu aku bisa mensucikan diri menghadap Illahi. Dialah tempatku menggantungkan segala harapan.
Setelah menyantap beberapa sendok nasi bubur ayam, aku rebahkan kembali tubuhku diatas pembaringan. Hari-hari kulewati dengan kegelisahan. Entah sudah berapa jauh aku tertinggal pelajaran di sekolah. Mampukah aku mengejar ketertinggalanku? Aku luruh dalam ketidakberdayaan. Aku lemas. Sekujur tubuhku lunglai tak berdaya. Gelap. Sangat gelap. Si hitam kelam itu kembali menggerayangi pandanganku. Kamarku berputar, meluluhlantakkan ingatanku. Aku hanyut dalam alam yang gung liwang Liwung. Aku terjerembab dalam sebuah situasi dimana tidak ada lagi kehidupan.
Setelah beberapa lama aku tenggelam dalam kegelapan, kini bias-bias cahaya putih sedikit demi sedikit membimbing pikiranku. Cahaya putih itu berbaur dengan warna merah kehitam-hitaman. Aku tersadar. Kuraba dadaku. Kupastikan bahwa ternyata aku masih hidup. Syukurlah. Untuk lebih memastikan bahwa aku masih hidup, kucoba untuk menyatukan kedua tanganku. Tapi kali ini gerakanku tertahan. Aku merasakan ada tangan halus yang menahan tanganku. Entahlah. Aku seperti mendapat aliran energi melalui kehangatan tangan itu. Energi itu mampu memberiku kekuatan untuk membuka mataku. Aku siuman. Aku tersadar. Tuhan masih memberiku kehidupan.
Beberapa kali aku mengedipkan mataku untuk meyakinkan kesadaranku. Pandangan pertama yang bisa aku kenali adalah wajah seorang gadis bermata sendu.
“Asih?” tanyaku lirih.
“Iya, ini aku. Asih.” Jawab gadis itu. “Syukurlah kamu sudah sadar, Han.”
“Sama siapa kamu kesini?”
“Tuh…! Ada Ramlan, Heru, Enggar, dan Wisnu.”
“Syukurlah.” Kataku lirih.
“Di luar juga ada Siti, Reni, terus…Titi. Mereka lagi ngobrol sama mamakmu.”
Tangan Asih masih memegangi tanganku. Jujur aku merasakan hadirnya kekuatan dalam jiwaku. Tapi tidak dengan ragaku. Ingin rasanya aku berkata-kata, tapi suaraku tertahan di tenggorokan.
“Han…” suara halus itu memanggilku. Aku hanya bisa menyahut panggilan itu denga ekspresi wajahku. Lidahku kelu. Suaraku tidak mampu kukeluarkan. Tapi aku yakin Asih tahu bahwa sebenarnya aku telah menjawab panggilannya. Menyadari panggilannya tidak terjawab, Asih sepertinya tidak mau menyapaku dengan kata-kata. Asih mengimbangi diriku. Kali ini Asih berbicara lewat tatapan matanya. Kubalas tatapannya. Butiran air mata membasahi kedua kelopak matanya.
“Asih…” aku berhasil mengeluarkan suaraku yang terganjal di kerongkongan. “Ka…mu, ka…mu jangan me…na…ngis! Kalau…aku…sudah, su dah sembuh…kita…ma…kan bareng lagi…di…kelas, ya!” Asih mengangguk. Aku senang Asih menyanggupi permintaanku untuk makan berdua lagi denganku di kelas sebelum les dimulai. “Tapi…kapan…ka pan…ya, aku bisa ngasih kamu lauk da…ging sapi?” Asih menggelengkan kepala. Air matanya deras mengalir, membasahi kedua pipinya. Asih melepas tanganku. Jari-jarinya digunakan untuk menyapu air matanya yang meleleh deras.
Mengapa semua temanku juga menangis? Apa gerangan yang telah terjadi pada diriku? Apakah aku sudah terserang penyakit yang ganas? Tidak. Aku tidak boleh berpikiran negatif. Tapi…kalau tidak ganas, mengapa mamak membawaku pulang dalam keadaan aku masih sakit? Bukankah itu berarti sebenarnya aku belum boleh pulang oleh dokter? Tapi mamak tidak sanggup membiayai biaya perawatanku? Tidak. Aku harus sembuh walau tanpa perawatan dokter. Aku tidak ingin kepulanganku hanya karena menunggu waktu hingga maut menjemputku. Tidak. Aku tidak boleh mati di usia muda. Aku punya cita-cita. Aku yakin, Tuhan pasti sayang sama aku. Aku yakin itu. Tuhan adalah segalanya bagiku. Aku akan terus memohon kepada Tuhan. Dan, aku yakin Tuhan pasti akan menjawab doa-doaku.
“Asih!” kali ini suaraku benar-benar normal. Aku sangat bersyukur. Semua ini bisa dipastikan karena support dari teman-teman melalui segenggam ketulusan yang telah mereka hadirkan ke hadapanku. Air mata itu telah menyuburkan kembali kelayuan yang ada pada diriku.
“Iya, Han. Ada apa?” Asih kembali meraih tanganku. Kini, tangan kananku tegak bersama dengan kedua tangan Asih.
“Asih!...maukah kamu membantuku?”
“Insya Allah, Han, aku pasti akan membantumu. Kamu ingin apa?”
“Kalau kamu pas bangun malam, kamu mau ngga, ikut ndoain aku, memohon kepada Tuhan agar aku bisa sehat kembali? Aku ingin hidup. Aku ingin membahagiakan Mamak.
“Iya, Han. Iya, aku siap. Aku akan melakukannya demi kesembuhanmu.”
“Terima kasih, sahabatku.” Asih terdiam. “Terima kasih, sahabatku.” Kuulangi ucapan terima kasihku, tapi Asih tidak meresponnya. “Ya sudah, kalau kamu keberatan, kamu ngga usah bangun malam juga ngga apa-apa! Berdoanya siang saja habis shalat!”
“Eh, engga, engga, aku ngga keberatan kok?”
“Tapi mengapa kamu diam, Asih?”
“Ngga,…ngga apa-apa,” aku menemukan ada gurat-gurat kekecewaan di wajahnya. Entahlah, aku tidak tahu.
“Selain berdoa, aku juga akan memaksakan diri untuk makan walaupun pahit di lidah.”
“Betul, Han, kamu harus makan dan minum yang cukup!”
“Jika aku sudah sehat, aku akan mewujudkan impianku.”
“Kalau boleh tau, apa impian kamu, Han?”
“Aku akan kuliah walau entah darimana biayanya. Aku akan membahagiakan mamakku dan adiku. Aku juga akan membahagiakan orang-orang yang sayang sama aku. Dengan ilmu yang cukup aku yakin ilmu itu bisa aku jadikan pondasi untuk meraih kehidupan yang baik. Dengan kehidupan yang baik aku akan memiliki kekuatan untuk membahagiakan mamak dan adiku.”
“Sungguh mulia cita-citamu, Han.”
“Aku tidak rela mamakku diterlantarkan seperti sekarang ini.”
“Maksud kamu?”
“Bapakku telah menelantarkan mamakku. Laki-laki itu pergi mencari kesenangannya sendiri. Mamakku diterlantarkan begitu saja. Aku ngga rela. Oleh karena itu, aku harus hidup, Asih. Aku harus hidup. Aku ngga mau terus menerus tergeletak tanpa daya.” Kali ini aku tidak mampu menahan air mataku.
Kunjungan teman-teman ke rumahku telah memberi arti yang sangat besar. Aku seperti mendapat energi baru. Energi baru yang terhimpun bersama keajaiban dari Tuhan telah mengubah duniaku yang penuh dengan keterbatasan menjadi dunia yang penuh harapan. Aku mempunyai harapan-harapan baru yang terlukis dalam ruang dan waktu.
Aku berhasil melewati tantangan. Aku berhasil mengejar ketertinggalanku. Hampir semua angka di ijasahku diatas delapan. Paman Darso adalah orang pertama yang mendukungku secara materi.
“Yang penting kamu bayar dulu uang masuknya, Han. Kebetulan paman ada rejeki buat membayar biayamu masuk kuliah.” Paman Darso telah menyingkap tabir kebingunganku. “Untuk biaya selanjutnya kita pikir belakangan.” Kata paman Darso.***

Senin, 17 November 2014

Lembaran-lembaran Cinta

Cerpen Supandi

Bagai mimpi di siang bolong. Itu yang tergambar dari raut wajah Maharani. Duduk bersanding dengan pria pujaan hati ternyata bukan lagi sekedar mimpi bagi Maharani. Setelah lima bulan menjalani masa berpacaran, akhirnya Maharani memutuskan untuk menikah dengan seorang pria rupawan. Suherlan. Lengkapnya Suherlan, SE sebagaimana yang tersebut dalam surat nikah telah menjadi pilihannya. Senyum kedua mempelai itu cair. Menghipnotis para hadir yang turut menyaksikan pernikahan mereka.
Kebahagiaan Maharani lengkaplah sudah. Hari-hari setelah pernikahan mereka jalani dengan suka ria. Sepasang suami istri itu sudah tidak ada lagi kecanggungan dalam memadu cinta. Sudah tidak ada lagi kegelisahan manakala mereka hendak mengisap madu cinta.
Setengah tahun berlalu, cinta Maharani semakin kuat. Bagi Maharani, Suherlan adalah sosok pria yang paling tampan dan paling perkasa. Pembawaannya kalem tapi mengalirkan kehangatan. Suherlan mampu membawa dirinya mengarungi samudra asmara hingga jauh, sejauh-jauhnya. Dunia serasa hanya milik mereka berdua. Bercanda. Mengadu kasih dalam balutan asmara.
Suherlan mampu memberi kasih sayang yang nyaris sempurna. Namun seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang diberikan oleh Suherlan lambat laun tampak semakin hambar. Percik-percik problematika hidup  berumah tangga seringkali berubah menjadi prahara. Kricik-kricik menjadi grujugan. Hidup termanjakan oleh materi yang selama ini dilakoninya tidak lagi bisa dinikmati oleh Maharani.
Kebutuhan hidup dalam berumah tangga semakin menuntut perhatian yang serius. Menginjak tahun ke enam perkawinannya, mereka harus memeras otak lebih keras seiring dengan hadirnya anak yang ke tiga. Kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara penghasilan Suherlan yang berstatus sebagai tenaga honorer sangat minim. Besar pasak daripada tiang. Kebutuhan hidup lebih besar daripada penghasilan yang didapat oleh Suherlan yang kesehariannya bekerja sebagai tenaga tidak tetap di sebuah SMA swasta. Anak-anak membutuhkan sandang, makanan bergizi dan susu.
Maharani tidak bisa berbuat sesuatu untuk membantu penghasilan suaminya. Ijasah sarjana yang telah diperolehnya hanya bisa dijadikan barang mati diantara tumpukan kertas. Tidak ayal lagi jika percik-percik dalam rumah tangga kerap muncul. Debat mulut seringkali mewarnai suasana di rumah kontrakan yang dihuninya. Maharani hanyut dalam kerasnya kehidupan. Keperkasaan Suherlan yang selama ini menjadi kebanggan Maharani kini surut. Di mata Maharani, Suherlan hanyalah sosok laki-laki yang mati ide. Miskin kreatifitas.
Imbas dari miskinnya kreatifitas yang ditunjukkan oleh Suherlan sering membuat Maharani gregetan. Entahlah. Angannya melayang ke masa kuliah yang serba tercukupi. Tidak hanya itu, Maharani bahkan sering hanyut dalam kenangan-kenangan indah di bangku kuliah yang terukir bak diorama. Hatinya menjerit ketika teringat hubungan cintanya dengan Hendro, anak seorang pengusaha batik yang kaya raya itu. Tapi sayang, saat itu ibunya tidak menyetujui hubungannya dengan Hendro. Hendro tersinggung dengan sikap beliau. Cinta yang sudah terjalin bersama Maharani harus berakhir.
Demikian pula ketika Fredy berhasil menggantikan posisi Hendro, ibu juga tidak merestuinya. “Kamu kan masih kuliah, Rani. Cita-citamu masih jauh. Kamu boleh berpacaran jika sudah menemukan pria yang sudah jelas masa depannya.” Kurang lebihnya itulah pesan ibunya. Hubungan mereka pun putus.
Beberapa minggu Maharani hanyut dalam kesedihan setelah berpisah dengan Fredy. Maharani tidak bisa melupakan bagaimana Fredy membawanya melayang. Fredy sangat romantis. Fredy mampu membawa Maharani dalam mimpi indah dan nyata. Kenangan bersama Fredy bisa jadi yang paling sulit untuk dilupakan. Namun desakan dari kedua orang tuanya ternyata lebih kuat, sehingga Maharani harus melepas Fredy tanpa ada perjanjian hitam diatas putih. Fredy melenggang dengan meninggalkan bekas yang akan terukir sepanjang jaman.
Harmoni cinta Fredy berbanding terbalik dengan cinta Bintoro. Bagi Maharani, Bintoro adalah kenangan kelam. Saat itu Maharani masih duduk di bangku kelas dua SMA. Dengan rayuan mautnya, Bintoro mampu menyibak kelambu putih yang menutup ranjangnya di kamar kost-nya. Tanpa memperhitungkan resiko, Maharani jatuh dalam pelukan Bintoro yang saat itu berstatus sebagai preman berwajah tampan. Saat itu Maharani lebur dalam situasi yang gelap.
Secercah harapan muncul ketika Hendro maupun Fredy hadir dalam kegelapannya. Kala itu Maharani seperti hidup kembali, tetapi kasih sayang mereka pupus di tengah jalan. Sering terlintas dalam pikiran Maharani sebuah masa depan yang gemilang jika hubungan dengan salah satu diantara mereka berlanjut hingga ke jenjang pernikahan. Nasi sudah menjadi bubur. Angan-angan itu hanyalah andai-andai. Nasib telah berkata lain. Suherlan telah melibatkan dirinya dalam suatu keadaan yang sulit. Maharani tak berdaya lari dari kondisi yang mencekik leher. Suherlan tidak menunjukkan sinyal akan munculnya sebuah harapan yang mencerahkan buat masa depan keluarga.
“Mas, ada uang dua ratus ribu apa ngga?” Tanya Maharani sore itu.
“Banyak amat? Emang mau buat apa?” Herlan balik bertanya.
“Itu lho mas…tadi pagi Bu Edy datang kemari, minta uang cicilan.”
“Cicilan?”
“Iya mas.”
“Cicilan apa?”
“Baju gamis, mas.”
“Kamu ambil baju lagi? Bukankah kamu masih mempunyai beberapa baju yang masih bagus-bagus? Kenapa ambil lagi?”
“Sayang kalau ngga diambil mas. Kebetulan ada gamis yang pas sekali coraknya. Manis sekali kalau aku pakai. Kamu pasti suka melihatnya!”
“Tapi kan kamu harus melihat keadaan, Rani!”
“Sudahlah mas, jangan banyak ucap! Ujung-ujungnya paling-paling kita berantem. Kamu harus sadar, aku ini istrimu. Jadi wajar kalau aku minta sama suami. Lagian, aku juga ngga sering minta kok. Baju yang kemarin dan yang kemarinnya lagi itu siapa yang membelikan? Ayo, siapa?” Suherlan terdiam. Hujan kata-kata itu seakan memukul telak. “Ayo, siapa, mas? Bapak mertuamu kan?...begitu juga dengan gelang-gelang yang ada di tanganku dan kalung yang aku pakai, semua ini pemberian bapak, mas.” Gurat-gurat kesedihan tergambar di wajah Suherlan. Sesaat matanya memandang Maharani. “Kewes. Istriku memang kewes” Suherlan berkata dalam hati. Namun lagi-lagi Suherlan harus memijit-mijit jidatnya. Mencari solusi. “Besok sore bu Edy akan menagih uang itu, apakah kamu bisa mengusahakan?”
“Baiklah. Besok aku mau menutup koperasi.” Janji Suherlan. Maharani bernapas lega. Janji Suherlan mengalirkan semangat. Setidaknya Maharani bisa menunjukkan ke-pede-annya di hadapan orang dengan gamis barunya. Kebanggaan atas kemolekan diri sepertinya menjadi hiburan bagi dirinya. Decak kagum dari orang lain adalah harapan utamanya saat mereka melihat penampilannya.
Maharani berdiri di depan cermin. Baju gamis itu sangat serasi dengan kulit tubuhnya. Hijau kebiru-biruan. Warna itu menambah kecerahan wajahnya. Maharani memutar tubuhnya ke samping kiri, kanan dan belakang. Sepertinya semuanya sempurna. Siap narsis di acara arisan ibu-ibu RT. Di ruang depan, Suherlan berdiri sambil menimang-nimang si kecil. Maharani melangkahkan kakinya keluar, tapi langkahnya terhenti. Handphone-nya berdering. Sebuah berita buruk membuyarkan pikirannya. Maharani mengurungkan niatnya menghadiri acara arisan ibu-ibu RT. Sebaliknya, Maharani dan Suherlan serta anak-anaknya meluncur dengan sepeda motor Honda Kharisma menuju ke rumah orang tuanya di desa sebelah.
Beberapa orang berkerumun di depan rumah pak Sakiran ketika Maharani, Suherlan dan ketiga anaknya tiba. Dengan menggendong si kecil, Maharani berjalan tergopoh-gopoh menuju ke rumah orang tuanya. Setelah dicari dari kamar ke kamar, dan dari sudut ke sudut, Maharani tidak menemukan sosok bapaknya. Maharani mematung setelah mendengar penjelasan bahwa bapaknya, yakni pak Sakiran baru saja dibawa oleh orang-orang berseragam KPK. Diperoleh keterangan bahwa pak Sakiran terlibat dalam kasus manipulasi data dan penggelembungan anggaran proyek pembangunan beberapa perpustakaan sekolah se Jawa Tengah yang bernilai ratusan juta rupiah.
Peristiwa itu sangat memukul muka Maharani. Suatu goncangan yang sangat keras dirasakan oleh Maharani. Semua harta orang tuanya disita oleh KPK. Tiada lagi yang bisa diharapkan oleh Maharani. Gelap. Maharani memandang kosong. Semua yang ia lihat tidak mengisyaratkan adanya harapan. Begitupun ketika Suherlan mencoba menghiburnya, sama sekali tidak berarti di mata Maharani. Maharani tetap kalut.
Hidup termanjakan sebagai anak semata wayang kini kering. Beruntung, Maharani masih memiliki seorang paman. Setidaknya ada tempat bernaung dan mengadu. Tempat untuk menaruh harapan. Ibu untuk sementara bisa nunut ngiyup di rumah paman, yang juga adik kandung beliau.
“Paman, aku sepertinya ngga kuat lagi hidup begini. Menurut paman bagaimana jika aku pergi merantau?” Maharani mencoba curhat dengan pamannya.
“Sebaiknya kamu ngga usah kemana-mana, Rani. Akan lebih baik jika kamu istiqomah mengurus anak dan suami di rumah. Itu adalah pekerjaan yang paling mulia bagi seorang istri.” Nasehat paman.
“Tapi paman…”
“Yang namanya hidup berumah tangga itu harus mau dan mampu menghadapi permasalahan hidup. Kalian adalah pasangan yang masih muda. Apa yang sedang kamu alami harus disikapi dengan sabar. Itu semua adalah cobaan dari Gusti Allah. Siapa yang sabar akan disayang oleh Gusti Allah.” Maharani dengan seksama mendengarkan nasehat pamannya. “Hidup itu sak dermo nglakoni. Ada aksi ada reaksi. Ada siang ada malam. Ada gembira ada sedih. Sedangkan kehidupan yang benar itu adalah kehidupan yang muaranya pada satu tujuan, yaitu beribadah kepada Gusti Allah.” Kali ini Maharani manggut-manggut. “Tidak usah neko-neko, pergi jauh, hanya karena soal yang tidak terlalu prinsip. Jika kepergianmu berakibat tidak baik bagi perkembangan jiwa anak-anakmu, kamu lebih baik berkorban untuk mereka. Suatu saat Suherlan pasti akan bangkit, asalkan kamu terus memberinya semangat. Kamu tahu kan, bahwa dibalik kesuksesan suami, atau dibalik kegagalan suami, itu karena ada istri di belakangnya.” Nasehat paman cukup mengenai sasaran. Maharani sepertinya menemukan pencerahan. “Mendekatlah diri kepada Allah. Dialah Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bersihkan dirimu dari hal-hal yang akan menghalangi kasih sayangNya. Tuhan juga Maha Pengampun. Dia akan mengampuni dosa-dosa kita, dosa-dosa hambaNya yang mempunyai i’tikad baik untuk beraubat.”
Untuk beberapa saat Maharani merenungkan nasehat pamannya. Pamannya seakan bisa membaca alam pikiran Maharani. Namun bagaimanapun juga Maharani mencoba bersikap wajar. Demikian pula ketika berhadapan dengan Suherlan. Maharani sepertinya lebih fokus pada masa kini, dan mengubur ingatan masa lalu.
Ketika cobaan menimpa diri dan keluarganya, tidak bisa dipungkiri jika ada penyesalan di dalam hati sanubarinya. Walau bagaimanapun, Maharani sebenarnya tidak bisa menutup mata bagaimana bapaknya waktu itu berupaya untuk selalu memanjakan dirinya secara materi. Demikian pula, bagaimana sulitnya  menutup rapat segala khilaf yang tergores dalam dirinya kala itu. Semua itu kini muncul dalam bentuk kegelisahan. Hingga suatu hari munculah ide untuk menghapus kegelisahan itu :
“Mas, anak-anak kita sekarang sudah cukup besar. Bagaimana jika aku pergi mencari pekerjaan buat membesarkan anak-anak?” usul Maharani kepada suaminya.
“Kamu mau pergi kemana?” suara Suherlan datar.
“Ke Jakarta. Kebetulan teman kuliahku sekarang ada yang jadi direktur di perusahaan supplier.”
“Selama kamu masih jadi istriku, kamu ngga boleh pergi jauh-jauh!”
“Aku ngga kuat kalau hidup selalu kekurangan begini, mas.”
“Sabar kenapa?”
“Sudah beberapa tahun aku sabar, tapi tidak ada tada-tanda untuk hidup tercukupi. Sampai kapan aku harus bersabar?”
“Syukuri apa yang ada!”
“Emang ada apa mas? Apa-apa ngga ada kok disyukuri? Untuk makan besok juga ngga ada kok disyukuri? Syukur dari Hongkong?”
“Jaga mulutmu!”
“Lho…memang nyatanya begitu?”
“Kurang ajar kamu!” tangan Suherlan mengepal, lalu jatuh diatas meja hingga terdengar suara keras. Braaak. Ketiga anaknya lari, dan menyatu di depan TV.
“Pokoknya aku lusa akan pergi ke Jakarta.”
“Silahkan! Tapi tidak usah kembali lagi!”
“Oh…jadi begitu ya maumu?”
“Iya. Lagian aku juga kecewa dengan malam pertama kita. Kamu tidak orisinil lagi.”
“Apa? Kamu bilang kecewa? Itu sama saja dengan membuka aibmu sendiri, mas!”
“Aib apa?”
“Apa dikira aku tidak tahu kartumu? Apa perlu aku sebutkan satu demi satu, cewek-cewek yang pernah kamu ambil madunya, lalu kamu campakkan?” Suherlan buntu. Suaranya terhenti. Begitupun dengan Maharani. Ia sepertinya tahu, jika tudingan itu dilanjutkan bisa membuatnya tidak aman juga. Suasana hening. Persis seperti posisi skak ster. Suherlan bangkit. Maharani belum puas dengan debat kusir tadi, terlebih Maharani tidak membaca adanya penyesalan ataupun perbaikan di wajah suaminya. Selanjutnya Maharani berantem dengan diri sendiri. Di satu pihak ia merasa tercekik dengan kemiskinan. Di lain pihak Maharani harus mengurus anak-anak yang masih kecil. Tidak tega jika meninggalkan mereka. Perdebatan batin juga terjadi antara kondisi yang sedang dialami saat ini dengan perjuangannya di bangku kuliah. Maharani tidak menemukan adanya balasan yang setimpal atas perjuangannya selama lima tahun di Jogya.
Orang yang selama ini menjadi tumpuhan gaya hidupnya kini meringkuk di jeruji besi. Kondisi demikian semakin menambah suramnya harapan. Bagaikan makan buah simalakama. Merantau ke kota kasihan anak-anak, tidak merantau hidupnya sengsara. Demikian pula jika niatnya untuk pergi merantau, apakah rumah tangganya akan lebih baik? Sebab setidaknya Maharani bakalan dekat lagi dengan Fredy yang sekarang sudah menjadi direktur di Jakarta. Maharani kalut. Kacau.
“Sudahlah, Rani. Kamu ngga usah bingung!. Kamu tidak bakalan mati hanya karena kekurangan materi. Kan ada suamimu? Dia pasti akan bertanggung jawab terhadap kehidupan rumah tanggamu.” Nasehat paman ketika Maharani curhat dengannya.
“Iya, paman. Terima kasih atas nasehat paman.”
“Allah itu Maha Kaya. Dia pasti akan selalu memberi kepada sepasang hambanya yang menikah atau berumah tangga, dari arah yang tidak disangka-sangka.”
“Iya, paman. Tapi…untuk saat ini kami benar-benar bingung.”
“Memangnya apa yang dibingungkan?”
“Kontrakan kami habis. Kemarin pak Harun meminta uang kontrakan, sementara  mas Herlan membisu tidak berdaya.”
“Berapa uang kontrakannya?”
“Dua juta lima ratus ribu, paman.”
“Sudah, jangan bingung-bingung.” Paman mengeluarkan dompet dari sakunya. “Nih, buat bayar kontrakanmu.”
“Tapi, paman…”
“Sudahlah, kamu ngga usah memikirkan bagaimana mengembalikan uang itu.”
“Terima kasih banyak, paman…terima kasih.” Wajah Maharani cair. Maharani mencium tangan pamannya, lalu pamitan. Secercah cahaya terang menerangi hati Maharani. Hatinya berbunga-bunga. Gerakannya gesit. Semilir angin menyapu rambutnya ketika dia men-starter Honda Kharismanya.
Sementara itu di sebuah rumah sederhana, Suherlan tampak sedang mengisi kegiatan akhir pekan dengan merapikan barang-barang di dalam rumah kontrakannya. Kedua anaknya bermain di halaman, sedangkan si kecil tertidur pulas di kamarnya.
Matahari condong ke barat. Sinarnya tidak lagi terik. Kedua anaknya berlarian menyambut kedatangan Maharani. Mereka membantu menurunkan barang-barang bawaan Maharani yang tampak berat. Dua buah tas plastik mereka turunkan dari motor Kharisma.
“Mama habis beli makanan ya?” Tanya Egi sambil menenteng tas plastik itu.
“Iya, tapi nanti membukanya di dalam saja ya!.”
Kedua anaknya riang. Mereka berjalan beriringan menuju ke dalam rumah. Sementara itu Suherlan menyambut keceriaan anak-anaknya tanpa ekspresi. Bunyi kresek beberapa kali terdengar diselingi senyum ceria dari kedua anaknya ketika mereka membuka kedua tas plastik itu.
“Banyak amat belanjaannya, mah? Ada roti, ada susu, ada baju anak-anak, dan apalagi nih? Tas, t-shirt, daster, wow…banyak sekali? Emang kamu dapet duit darimana?” Suherlan penasaran.
“Ngga penting darimananya, mas. Yang penting anak-anak senang.” Jawab Maharani sambil mengipas-ngipas tubuhnya.
“Kok gitu? Aku berhak tahu dong. Aku kan suamimu? Dan, apalagi nih? Ada parfum, bedak, lipstick, terus…ada sandal juga, pasti menghabiskan banyak duit nih… ayo, katakan! Kamu dapat duit darimana?” Herlan terus mendesak istrinya.
“Yang jelas bukan dari mencuri, mas, juga bukan dari menjual diri.”
“Aku tahu, tapi… sama suamimu sendiri kamu kok sikapnya begitu?”
Debat mulut itu bisa saja semakin santer jika keduanya saling mempertahankan egonya. Debat mulut itu terhenti setelah terdengar nada isyarat pesan di handphone Maharani. Maharani membuka sms. Tertulis di monitor “paman Yanto”. Mata Maharani melebar ketika membaca isi pesan itu : “Rani, bpkmu d RSU, r flambyn 2, km sgr ksna”.
Maharani galau. Hentakan di jiwa hadir kembali. Air matanya tidak dapat dibendung ketika mendapati bapaknya tak berdaya. Kali ini Maharani benar-benar menangis ketika melihat muka bapaknya babak belur. Muka bapaknya hampir sulit dikenali karena kedua pipinya tembem. “Biadab!” umpat Maharani. Para napi di rumah tahanan itu begitu ganas menghajar napi pendatang baru dengan pukulan yang membabi buta, tanpa perhitungan. Semua gigi depan pak Sakiran tanggal.
“Dokter, bagaimana kondisi bapak saya? Apakah bapak saya bisa sembuh seperti sedia kala?” Maharani mengadukan kesedihannya kepada dokter yang menangani bapaknya.
“Nyonya jangan khawatir!. Bapak tidak begitu fatal. Beliau hanya shock dan mengalami sedikit pendarahan di bagian wajahnya. Insya Allah beliau bisa segera sembuh walaupun harus kehilangan beberapa giginya, terutama gigi bagian depan.” Penjelasan dokter cukup meyakinkan. Maharani menghapus air matanya. Namun kesedihan itu tidak bisa disembunyikan.
Musibah dan penderitaan yang terus menerus dialaminya membuat Maharani murung. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ada sesuatu yang ia lupakan selama ini. Ketika ego dan kesenangan pribadi berbicara, Maharani seperti menari di alam bebas. Tidak ada yang menghentikan tariannya. Tidak ada yang mengontrol lenggak lenggoknya. Satu-satunya yang bisa memberi siraman rohaninya hanyalah nasehat pamannya. Namun ketika berhadapan dengan suaminya, nasehat itupun terkesan mental. Antara Maharani dan Suherlan masih saja mengedepankan egonya masing-masing. Entahlah. Mungkin karena tidak adanya landasan berpijak bagi keduanya. Siraman rohani yang didapat dari paman, tidak didapatkannya dari suaminya. Antara Maharani dan Suherlan sama-sama kosong, sama-sama kering. Entah sampai kapan mereka menjalani kehidupan rumah tangganya tanpa kiblat? Wallahua’lam.


***


 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons