Cerpen Supandi
Secercah
harapan bergelayut di kepalaku saat bulan Januari tiba. Asa menari
di singgasana kerajaan masa depan yang belum tersingkap. Beberapa
bulan lagi aku akan menyelesaikan studiku di bangku SMA. Aku rela jika aku
harus bergelut dengan berbagai aktifitas
menjelang detik-detik Ujian Nasional. Harapan terbesar yang aku impikan adalah bisa
lulus dengan nilai yang istimewa.
Dengan begitu, cita-citaku kuliah di
perguruan tinggi unggulan tentu akan
bisa aku wujudkan.
Pagi itu, tidak
seperti biasanya matahari bersinar cerah. Belakangan, sudah beberapa hari desa
kami selalu bermandikan hujan, sehingga aku harus melepas sepatu saat pergi ke
sekolah. Tapi kali ini aku berjalan
melenggang ke sekolah tanpa harus menenteng sepatuku.
Sinar matahari turut menghangatkan tubuhku saat
aku menyusuri lorong-lorong nan teduh. Aku
harus berjalan kaki sejauh dua kilometer karena Ramlan tidak menghampiriku. Pagi itu aku dapati Ramlan
sudah terlebih dulu berboncengan dengan Enggar.
“Kamu berangkat
sama siapa, Han?” Ramlan sudah berdiri di balik pintu kelas ketika aku sampai
di sekolah. Kusapu keringatku dengan kedua lenganku.
“Alone.” Jawabku sambil berlalu.
“Apa?…apa?”
“Alone. Sendiri, tau?”
Kutaruh tasku di
dalam laci meja, sementara Ramlan mengikutiku dari belakang.
“Nanti ulangan
Fisika ya, Han? Duh, bagaimana ya, aku semalam ngga belajar je.”
“Ngga belajar?”
“Ngga.”
“Kebetulan
dong.”
“Kebetulan
bagaimana?”
“Ngurangin
saingan.” Ramlan menngamit pipiku. Aku menghindar.
Hari-hari di SMA
adalah hari-hari yang menyenangkan. Hari-hari yang penuh dengan canda dan tawa
senantiasa mewarnai kebersamaan kami. Aku selalu larut dalam kenangan yang terukir dalam cerita masa SMA. Senyum
para guru juga turut menyejukkan jiwaku. Semua yang kulihat dan aku alami menorehkan
kesan yang terukir dalam buku harian kehidupanku.
Selesai ulangan
harian, tiba giliran kami untuk mengikuti pelajaran olah raga. Jam ketiga.
Matahari bertengger lebih tinggi. Sinar hangatnya berbaur dengan panas. Aku
sedikit cemas ketika pak guru olah ragaku meniup peluitnya. “Ya Allah, beri aku
kekuatan” doaku di dalam hati. Kucoba membuang kecemasanku. Aku pasrah, dan
berusaha enjoy dengan gerakan-gerakan
fisik yang menyedot banyak energi. “La
Hawla Wala Quwwata Illa Billah,
tiada daya dan kekuatan, kecuali dariMu
ya
Rabb”. Aku selalu membaca
kalimat Hauqolah itu berulang kali selama
pelajaran olah raga berlangsung. Aku selalu menjadi bahan tertawaan teman-teman
ketika kedua kakiku selalu menabrak tiang dalam lompat tinggi. Mereka tertawa
riuh ketika aku tertinggal dalam lari sprint
seratus meter, bahkan gelak tawa mereka cair ketika kepalaku terkena bola smash dalam train permainan bola voli.
“Eh…Handoko,
sini!” pak guru olah raga memanggilku. Aku berlari kecil memenuhi panggilannya.
“Besok kamu cari
belut di sawah ya! Kamu ini kurang gizi, jadi gerakanmu ngga gesit.” Kata-kata pak
guru olah ragaku cukup menusuk. Aku sedih dibuatnya. Tapi aku sadar. Dan, benar
apa yang beliau katakan. Aku tidak boleh sakit hati. Berkat nasehat beliau aku
jadi sadar diri. Aku menyadari akan apa yang terjadi pada diriku.
Ketika tidak ada
kegiatan sore di sekolah, aku benar-benar menuruti nasehat guru yang
menyakitkan itu. Aku telusuri pematang sawah di belakang rumahku. Aku berjalan
menunduk, menyibak daun-daun padi yang hijau. Dan ketika petang menjemput aku
undur diri. Aku sering pulang dengan beberapa ekor belut. Yang membuat aku
senang adalah ternyata mamakku juga menyukai makan sama belut. Aku lahap jika mamak
membakar belut-belut itu, lalu diuleg bersama dengan sambal terasi.
Namun sayang,
hal itu tidak setiap hari bisa aku lakukan. Senin sampai Kamis aku harus
mengikuti kegiatan less sore hari di sekolah. Kegiatan
penambahan jam pelajaran untuk menghadapi Ujian Nasional.
“Makan sama apa,
Han?” Asih mendekatiku, lalu mengambil tempat duduk di depanku sehingga posisi
kami saling berhadapan. Aku tutupi tlekem
di hadapanku dengan kelima jariku. Namun Asih memaksaku membuka tlekem itu. Aku jadi malu. Tlekem itu hanya berisi nasi dan
beberapa iris tempe goreng.
“Kamu kok pake bawa bekal segala, Asih? Kenapa ngga
ke kantin aja?”
tanyaku untuk mengalihkan perhatian.
“Emang kenapa
kalau aku bawa bekal?”
“Ngga apa-apa.
Biasanya kan kamu ke kantin?”
“Emang aneh ya,
aku bawa bekal?”
“Ngga juga. Kan
lebih enak kalau beli di kantin?”
“Eh…ngece kamu ya! Jangan dikira masakan
ibuku ngga enak ya! Masakan ibuku lebih mantap, tau?” Asih melempar dua iris daging
sapi ke tlekemku. Aku cuwek aja.
Kumakan daging itu. “Lumayan…” pikirku.
Aku berjalan
menjemput sinar matahari sore. Kali ini langkahku kaku. Aku merasakan
tulang-tulang kakiku kelu. Dan…ya, Tuhan! Mengapa aku sempoyongan? Beri aku
kekuatan, ya Tuhanku!. Kuhentikan sejenak langkahku agar bisa mengusir
kunang-kunang di kepalaku. “Astaghfirullah,
ya Allah, mengapa gelap?. Kunang-kunang itu bertambah banyak. Aku lemas.
Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhku. Ya, Allah. Gelap…gelap…gelap
sekali. Dan…”
Aku tidak tahu
apa yang terjadi sore itu pada diriku. Aku tersadar ketika tubuhku sudah
terbaring di Puskesmas kecamatan. Berkali-kali aku mengedipkan mataku. Semua
yang aku lihat tampak putih. Dan aku yakin bahwa aku benar-benar di puskesmas.
Kulihat mamakku sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang di pintu.
“Kamu sudah
sadar, Han? Syukurlah.” kata mamakku ketika beliau memalingkan wajahnya
kearahku. Aku tersenyum. Mamak tidak membalasku dengan senyuman.
“Mengapa aku ada
disini, mak?” tanyaku. “Mamak segera mengurus admnistrasinya ya! Kita pulang
saja, mak! Aku ngga apa-apa kok.” kata-kataku mengalir.
“Kamu perlu
menjalani perawatan beberapa hari disini, Han.”
“Mamak percaya
saja sama aku, mak! Aku sehat kok.” Aku bangunkan tubuhku. Tapi....astaghfirullah,
keyakinanku ternyata belum mampu mengangkat tubuhku. Ya, Allah, ada apa dengan tubuhku?
Mengapa aku begitu lemas?
Kumanjakan
kembali tubuhku diatas pembaringan. Kupandangi wajah mamakku. Beliau menatapku
datar. Kupandangi langit-langit, ada dua ekor cecak berkejaran. Salah satu dari
cecak itu putus ekornya, dan jatuh. Ekor itu menggeliat di lantai. Kupandangi
korden jendela, tapi pandanganku kosong. Aku lebih konsen untuk menahan rasa
sakit di perutku. Rasa sakit dan mual terus menyentak perutku. La Hawla Wala Quwwata Illa Billah. Kalimat
itu yang bisa aku ucapkan untuk melawan rasa sakit di perutku.
“Mak, kapan kita
pulang?” tanyaku ketika rasa sakit itu reda.
“Sekarang.”
“Benarkah, mak?”
“Iya.” Hatiku
berbunga-bunga mendengar jawaban dari mamakku. Dan, benar. Santo, adikku turun
dari mobil pamanku untuk menjemputku. Kubangunkan tubuhku, tapi…ya ampun, aku
tak kuasa. Paman Darso yang kekar itu dengan sigap mengangkat tubuhku. Santo
dan mamak mengiringiku dari belakang.
Aku mencoba
untuk memasukkan makanan ke dalam mulutku. Walau pahit tapi kupaksakan agar
tubuhku mendapat asupan energi. Dan, aku bersyukur karena lambat laun aku
merasa ada energi yang masuk ke dalam tubuhku. Setidaknya aku sudah bisa duduk.
Aku juga bisa menyiram mukaku dengan air wudlu. Aku kangen dengan air wudlu.
Selama satu minggu aku tidak bisa mengambil sendiri air wudlu. Aku ingin
menggunakan air itu sebagai wasilah
untuk memperoleh kekuatan yang lebih banyak lagi. Dengan air wudlu aku bisa
mensucikan diri menghadap Illahi. Dialah tempatku menggantungkan segala harapan.
Setelah
menyantap beberapa sendok nasi bubur ayam, aku rebahkan kembali tubuhku diatas
pembaringan. Hari-hari kulewati dengan kegelisahan. Entah sudah berapa jauh aku
tertinggal pelajaran di sekolah. Mampukah aku mengejar ketertinggalanku? Aku
luruh dalam ketidakberdayaan. Aku lemas. Sekujur tubuhku lunglai tak berdaya.
Gelap. Sangat gelap. Si hitam kelam itu kembali menggerayangi pandanganku.
Kamarku berputar, meluluhlantakkan ingatanku. Aku hanyut dalam alam yang gung liwang Liwung. Aku terjerembab
dalam sebuah situasi dimana tidak ada lagi kehidupan.
Setelah beberapa
lama aku tenggelam dalam kegelapan, kini bias-bias cahaya putih sedikit demi
sedikit membimbing pikiranku. Cahaya putih itu berbaur dengan warna merah
kehitam-hitaman. Aku tersadar. Kuraba dadaku. Kupastikan bahwa ternyata aku
masih hidup. Syukurlah. Untuk lebih memastikan bahwa aku masih hidup, kucoba
untuk menyatukan kedua tanganku. Tapi kali ini gerakanku tertahan. Aku
merasakan ada tangan halus
yang menahan tanganku. Entahlah. Aku seperti mendapat aliran energi melalui
kehangatan tangan itu. Energi itu mampu memberiku kekuatan untuk membuka
mataku. Aku siuman. Aku tersadar. Tuhan masih memberiku kehidupan.
Beberapa kali
aku mengedipkan mataku untuk meyakinkan kesadaranku. Pandangan pertama yang
bisa aku kenali adalah wajah seorang gadis bermata sendu.
“Asih?” tanyaku
lirih.
“Iya, ini aku.
Asih.” Jawab gadis itu. “Syukurlah kamu sudah sadar, Han.”
“Sama siapa kamu
kesini?”
“Tuh…! Ada
Ramlan, Heru, Enggar, dan Wisnu.”
“Syukurlah.”
Kataku lirih.
“Di luar juga
ada Siti, Reni, terus…Titi. Mereka lagi ngobrol sama mamakmu.”
Tangan Asih
masih memegangi tanganku. Jujur aku merasakan hadirnya kekuatan dalam jiwaku.
Tapi tidak dengan ragaku. Ingin rasanya aku berkata-kata, tapi suaraku tertahan
di tenggorokan.
“Han…” suara
halus itu memanggilku. Aku hanya bisa menyahut panggilan itu denga ekspresi
wajahku. Lidahku kelu. Suaraku tidak mampu kukeluarkan. Tapi aku yakin Asih
tahu bahwa sebenarnya aku telah menjawab panggilannya. Menyadari panggilannya
tidak terjawab, Asih sepertinya tidak mau menyapaku dengan kata-kata. Asih
mengimbangi diriku. Kali ini Asih berbicara lewat tatapan matanya. Kubalas
tatapannya. Butiran air mata membasahi kedua kelopak matanya.
“Asih…” aku
berhasil mengeluarkan suaraku yang terganjal di kerongkongan. “Ka…mu, ka…mu
jangan me…na…ngis! Kalau…aku…sudah, su dah sembuh…kita…ma…kan bareng
lagi…di…kelas, ya!” Asih mengangguk. Aku senang Asih menyanggupi permintaanku
untuk makan berdua lagi denganku di kelas sebelum les dimulai. “Tapi…kapan…ka
pan…ya, aku bisa ngasih kamu lauk da…ging sapi?” Asih menggelengkan kepala. Air
matanya deras mengalir, membasahi kedua pipinya. Asih melepas tanganku.
Jari-jarinya digunakan untuk menyapu air matanya yang meleleh deras.
Mengapa semua
temanku juga menangis? Apa gerangan yang telah terjadi pada diriku? Apakah aku
sudah terserang penyakit yang ganas? Tidak. Aku tidak boleh berpikiran negatif.
Tapi…kalau tidak ganas, mengapa mamak membawaku pulang dalam keadaan aku masih
sakit? Bukankah itu berarti sebenarnya aku belum boleh pulang oleh dokter? Tapi mamak tidak
sanggup membiayai biaya perawatanku? Tidak. Aku harus sembuh walau tanpa
perawatan dokter. Aku tidak ingin kepulanganku hanya karena menunggu waktu
hingga maut menjemputku. Tidak. Aku tidak boleh mati di usia muda. Aku punya
cita-cita. Aku yakin, Tuhan pasti sayang sama aku. Aku yakin itu. Tuhan adalah
segalanya bagiku. Aku akan terus memohon kepada Tuhan. Dan, aku yakin Tuhan
pasti akan menjawab doa-doaku.
“Asih!” kali ini
suaraku benar-benar normal. Aku sangat bersyukur. Semua ini bisa dipastikan
karena support dari teman-teman
melalui segenggam ketulusan yang telah mereka hadirkan ke hadapanku. Air mata
itu telah menyuburkan kembali kelayuan yang ada pada diriku.
“Iya, Han. Ada
apa?” Asih kembali meraih tanganku. Kini, tangan kananku tegak bersama dengan
kedua tangan Asih.
“Asih!...maukah
kamu membantuku?”
“Insya Allah,
Han, aku pasti akan membantumu. Kamu ingin apa?”
“Kalau kamu pas
bangun malam, kamu mau ngga, ikut ndoain aku, memohon kepada Tuhan agar aku
bisa sehat kembali? Aku ingin hidup.
Aku ingin membahagiakan Mamak.”
“Iya, Han. Iya,
aku siap. Aku akan melakukannya demi kesembuhanmu.”
“Terima kasih,
sahabatku.” Asih terdiam. “Terima kasih, sahabatku.” Kuulangi ucapan terima
kasihku, tapi Asih tidak meresponnya. “Ya sudah, kalau kamu keberatan, kamu
ngga usah bangun malam juga ngga apa-apa! Berdoanya siang saja habis shalat!”
“Eh, engga,
engga, aku ngga keberatan kok?”
“Tapi mengapa
kamu diam, Asih?”
“Ngga,…ngga
apa-apa,” aku menemukan ada gurat-gurat kekecewaan di wajahnya. Entahlah, aku tidak tahu.
“Selain berdoa,
aku juga akan memaksakan diri untuk makan walaupun pahit di lidah.”
“Betul, Han,
kamu harus makan dan minum yang cukup!”
“Jika aku sudah
sehat, aku akan mewujudkan impianku.”
“Kalau boleh
tau, apa impian kamu, Han?”
“Aku akan kuliah
walau entah darimana biayanya. Aku akan membahagiakan mamakku dan adiku. Aku juga akan membahagiakan
orang-orang yang sayang sama aku. Dengan ilmu yang cukup aku yakin ilmu itu
bisa aku jadikan pondasi untuk meraih kehidupan yang baik. Dengan kehidupan
yang baik aku akan memiliki kekuatan untuk membahagiakan mamak dan adiku.”
“Sungguh mulia
cita-citamu, Han.”
“Aku tidak rela
mamakku diterlantarkan seperti sekarang ini.”
“Maksud kamu?”
“Bapakku telah
menelantarkan mamakku. Laki-laki itu pergi mencari kesenangannya sendiri. Mamakku
diterlantarkan begitu saja. Aku ngga rela. Oleh karena itu, aku harus hidup,
Asih. Aku harus hidup. Aku ngga mau terus menerus tergeletak tanpa daya.” Kali
ini aku tidak mampu menahan air mataku.
Kunjungan
teman-teman ke rumahku telah memberi arti yang sangat besar. Aku seperti
mendapat energi baru. Energi baru yang terhimpun bersama keajaiban dari Tuhan
telah mengubah duniaku yang penuh dengan keterbatasan menjadi dunia yang penuh
harapan. Aku mempunyai harapan-harapan baru yang terlukis dalam ruang dan waktu.
Aku berhasil
melewati tantangan. Aku berhasil mengejar ketertinggalanku. Hampir semua angka
di ijasahku diatas delapan. Paman Darso adalah orang pertama yang mendukungku
secara materi.
“Yang penting kamu bayar dulu uang masuknya,
Han. Kebetulan paman ada rejeki buat membayar biayamu masuk kuliah.” Paman
Darso telah menyingkap tabir kebingunganku. “Untuk biaya selanjutnya kita pikir
belakangan.” Kata paman Darso.***
0 komentar:
Posting Komentar