DAPATKAN BUKU "MENYIAPKAN KESUKSESAN ANAK ANDA" DI GRAMEDIA BOOKSTORE DI SELURUH INDONESIA

Senin, 17 November 2014

Lembaran-lembaran Cinta

Cerpen Supandi

Bagai mimpi di siang bolong. Itu yang tergambar dari raut wajah Maharani. Duduk bersanding dengan pria pujaan hati ternyata bukan lagi sekedar mimpi bagi Maharani. Setelah lima bulan menjalani masa berpacaran, akhirnya Maharani memutuskan untuk menikah dengan seorang pria rupawan. Suherlan. Lengkapnya Suherlan, SE sebagaimana yang tersebut dalam surat nikah telah menjadi pilihannya. Senyum kedua mempelai itu cair. Menghipnotis para hadir yang turut menyaksikan pernikahan mereka.
Kebahagiaan Maharani lengkaplah sudah. Hari-hari setelah pernikahan mereka jalani dengan suka ria. Sepasang suami istri itu sudah tidak ada lagi kecanggungan dalam memadu cinta. Sudah tidak ada lagi kegelisahan manakala mereka hendak mengisap madu cinta.
Setengah tahun berlalu, cinta Maharani semakin kuat. Bagi Maharani, Suherlan adalah sosok pria yang paling tampan dan paling perkasa. Pembawaannya kalem tapi mengalirkan kehangatan. Suherlan mampu membawa dirinya mengarungi samudra asmara hingga jauh, sejauh-jauhnya. Dunia serasa hanya milik mereka berdua. Bercanda. Mengadu kasih dalam balutan asmara.
Suherlan mampu memberi kasih sayang yang nyaris sempurna. Namun seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang diberikan oleh Suherlan lambat laun tampak semakin hambar. Percik-percik problematika hidup  berumah tangga seringkali berubah menjadi prahara. Kricik-kricik menjadi grujugan. Hidup termanjakan oleh materi yang selama ini dilakoninya tidak lagi bisa dinikmati oleh Maharani.
Kebutuhan hidup dalam berumah tangga semakin menuntut perhatian yang serius. Menginjak tahun ke enam perkawinannya, mereka harus memeras otak lebih keras seiring dengan hadirnya anak yang ke tiga. Kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara penghasilan Suherlan yang berstatus sebagai tenaga honorer sangat minim. Besar pasak daripada tiang. Kebutuhan hidup lebih besar daripada penghasilan yang didapat oleh Suherlan yang kesehariannya bekerja sebagai tenaga tidak tetap di sebuah SMA swasta. Anak-anak membutuhkan sandang, makanan bergizi dan susu.
Maharani tidak bisa berbuat sesuatu untuk membantu penghasilan suaminya. Ijasah sarjana yang telah diperolehnya hanya bisa dijadikan barang mati diantara tumpukan kertas. Tidak ayal lagi jika percik-percik dalam rumah tangga kerap muncul. Debat mulut seringkali mewarnai suasana di rumah kontrakan yang dihuninya. Maharani hanyut dalam kerasnya kehidupan. Keperkasaan Suherlan yang selama ini menjadi kebanggan Maharani kini surut. Di mata Maharani, Suherlan hanyalah sosok laki-laki yang mati ide. Miskin kreatifitas.
Imbas dari miskinnya kreatifitas yang ditunjukkan oleh Suherlan sering membuat Maharani gregetan. Entahlah. Angannya melayang ke masa kuliah yang serba tercukupi. Tidak hanya itu, Maharani bahkan sering hanyut dalam kenangan-kenangan indah di bangku kuliah yang terukir bak diorama. Hatinya menjerit ketika teringat hubungan cintanya dengan Hendro, anak seorang pengusaha batik yang kaya raya itu. Tapi sayang, saat itu ibunya tidak menyetujui hubungannya dengan Hendro. Hendro tersinggung dengan sikap beliau. Cinta yang sudah terjalin bersama Maharani harus berakhir.
Demikian pula ketika Fredy berhasil menggantikan posisi Hendro, ibu juga tidak merestuinya. “Kamu kan masih kuliah, Rani. Cita-citamu masih jauh. Kamu boleh berpacaran jika sudah menemukan pria yang sudah jelas masa depannya.” Kurang lebihnya itulah pesan ibunya. Hubungan mereka pun putus.
Beberapa minggu Maharani hanyut dalam kesedihan setelah berpisah dengan Fredy. Maharani tidak bisa melupakan bagaimana Fredy membawanya melayang. Fredy sangat romantis. Fredy mampu membawa Maharani dalam mimpi indah dan nyata. Kenangan bersama Fredy bisa jadi yang paling sulit untuk dilupakan. Namun desakan dari kedua orang tuanya ternyata lebih kuat, sehingga Maharani harus melepas Fredy tanpa ada perjanjian hitam diatas putih. Fredy melenggang dengan meninggalkan bekas yang akan terukir sepanjang jaman.
Harmoni cinta Fredy berbanding terbalik dengan cinta Bintoro. Bagi Maharani, Bintoro adalah kenangan kelam. Saat itu Maharani masih duduk di bangku kelas dua SMA. Dengan rayuan mautnya, Bintoro mampu menyibak kelambu putih yang menutup ranjangnya di kamar kost-nya. Tanpa memperhitungkan resiko, Maharani jatuh dalam pelukan Bintoro yang saat itu berstatus sebagai preman berwajah tampan. Saat itu Maharani lebur dalam situasi yang gelap.
Secercah harapan muncul ketika Hendro maupun Fredy hadir dalam kegelapannya. Kala itu Maharani seperti hidup kembali, tetapi kasih sayang mereka pupus di tengah jalan. Sering terlintas dalam pikiran Maharani sebuah masa depan yang gemilang jika hubungan dengan salah satu diantara mereka berlanjut hingga ke jenjang pernikahan. Nasi sudah menjadi bubur. Angan-angan itu hanyalah andai-andai. Nasib telah berkata lain. Suherlan telah melibatkan dirinya dalam suatu keadaan yang sulit. Maharani tak berdaya lari dari kondisi yang mencekik leher. Suherlan tidak menunjukkan sinyal akan munculnya sebuah harapan yang mencerahkan buat masa depan keluarga.
“Mas, ada uang dua ratus ribu apa ngga?” Tanya Maharani sore itu.
“Banyak amat? Emang mau buat apa?” Herlan balik bertanya.
“Itu lho mas…tadi pagi Bu Edy datang kemari, minta uang cicilan.”
“Cicilan?”
“Iya mas.”
“Cicilan apa?”
“Baju gamis, mas.”
“Kamu ambil baju lagi? Bukankah kamu masih mempunyai beberapa baju yang masih bagus-bagus? Kenapa ambil lagi?”
“Sayang kalau ngga diambil mas. Kebetulan ada gamis yang pas sekali coraknya. Manis sekali kalau aku pakai. Kamu pasti suka melihatnya!”
“Tapi kan kamu harus melihat keadaan, Rani!”
“Sudahlah mas, jangan banyak ucap! Ujung-ujungnya paling-paling kita berantem. Kamu harus sadar, aku ini istrimu. Jadi wajar kalau aku minta sama suami. Lagian, aku juga ngga sering minta kok. Baju yang kemarin dan yang kemarinnya lagi itu siapa yang membelikan? Ayo, siapa?” Suherlan terdiam. Hujan kata-kata itu seakan memukul telak. “Ayo, siapa, mas? Bapak mertuamu kan?...begitu juga dengan gelang-gelang yang ada di tanganku dan kalung yang aku pakai, semua ini pemberian bapak, mas.” Gurat-gurat kesedihan tergambar di wajah Suherlan. Sesaat matanya memandang Maharani. “Kewes. Istriku memang kewes” Suherlan berkata dalam hati. Namun lagi-lagi Suherlan harus memijit-mijit jidatnya. Mencari solusi. “Besok sore bu Edy akan menagih uang itu, apakah kamu bisa mengusahakan?”
“Baiklah. Besok aku mau menutup koperasi.” Janji Suherlan. Maharani bernapas lega. Janji Suherlan mengalirkan semangat. Setidaknya Maharani bisa menunjukkan ke-pede-annya di hadapan orang dengan gamis barunya. Kebanggaan atas kemolekan diri sepertinya menjadi hiburan bagi dirinya. Decak kagum dari orang lain adalah harapan utamanya saat mereka melihat penampilannya.
Maharani berdiri di depan cermin. Baju gamis itu sangat serasi dengan kulit tubuhnya. Hijau kebiru-biruan. Warna itu menambah kecerahan wajahnya. Maharani memutar tubuhnya ke samping kiri, kanan dan belakang. Sepertinya semuanya sempurna. Siap narsis di acara arisan ibu-ibu RT. Di ruang depan, Suherlan berdiri sambil menimang-nimang si kecil. Maharani melangkahkan kakinya keluar, tapi langkahnya terhenti. Handphone-nya berdering. Sebuah berita buruk membuyarkan pikirannya. Maharani mengurungkan niatnya menghadiri acara arisan ibu-ibu RT. Sebaliknya, Maharani dan Suherlan serta anak-anaknya meluncur dengan sepeda motor Honda Kharisma menuju ke rumah orang tuanya di desa sebelah.
Beberapa orang berkerumun di depan rumah pak Sakiran ketika Maharani, Suherlan dan ketiga anaknya tiba. Dengan menggendong si kecil, Maharani berjalan tergopoh-gopoh menuju ke rumah orang tuanya. Setelah dicari dari kamar ke kamar, dan dari sudut ke sudut, Maharani tidak menemukan sosok bapaknya. Maharani mematung setelah mendengar penjelasan bahwa bapaknya, yakni pak Sakiran baru saja dibawa oleh orang-orang berseragam KPK. Diperoleh keterangan bahwa pak Sakiran terlibat dalam kasus manipulasi data dan penggelembungan anggaran proyek pembangunan beberapa perpustakaan sekolah se Jawa Tengah yang bernilai ratusan juta rupiah.
Peristiwa itu sangat memukul muka Maharani. Suatu goncangan yang sangat keras dirasakan oleh Maharani. Semua harta orang tuanya disita oleh KPK. Tiada lagi yang bisa diharapkan oleh Maharani. Gelap. Maharani memandang kosong. Semua yang ia lihat tidak mengisyaratkan adanya harapan. Begitupun ketika Suherlan mencoba menghiburnya, sama sekali tidak berarti di mata Maharani. Maharani tetap kalut.
Hidup termanjakan sebagai anak semata wayang kini kering. Beruntung, Maharani masih memiliki seorang paman. Setidaknya ada tempat bernaung dan mengadu. Tempat untuk menaruh harapan. Ibu untuk sementara bisa nunut ngiyup di rumah paman, yang juga adik kandung beliau.
“Paman, aku sepertinya ngga kuat lagi hidup begini. Menurut paman bagaimana jika aku pergi merantau?” Maharani mencoba curhat dengan pamannya.
“Sebaiknya kamu ngga usah kemana-mana, Rani. Akan lebih baik jika kamu istiqomah mengurus anak dan suami di rumah. Itu adalah pekerjaan yang paling mulia bagi seorang istri.” Nasehat paman.
“Tapi paman…”
“Yang namanya hidup berumah tangga itu harus mau dan mampu menghadapi permasalahan hidup. Kalian adalah pasangan yang masih muda. Apa yang sedang kamu alami harus disikapi dengan sabar. Itu semua adalah cobaan dari Gusti Allah. Siapa yang sabar akan disayang oleh Gusti Allah.” Maharani dengan seksama mendengarkan nasehat pamannya. “Hidup itu sak dermo nglakoni. Ada aksi ada reaksi. Ada siang ada malam. Ada gembira ada sedih. Sedangkan kehidupan yang benar itu adalah kehidupan yang muaranya pada satu tujuan, yaitu beribadah kepada Gusti Allah.” Kali ini Maharani manggut-manggut. “Tidak usah neko-neko, pergi jauh, hanya karena soal yang tidak terlalu prinsip. Jika kepergianmu berakibat tidak baik bagi perkembangan jiwa anak-anakmu, kamu lebih baik berkorban untuk mereka. Suatu saat Suherlan pasti akan bangkit, asalkan kamu terus memberinya semangat. Kamu tahu kan, bahwa dibalik kesuksesan suami, atau dibalik kegagalan suami, itu karena ada istri di belakangnya.” Nasehat paman cukup mengenai sasaran. Maharani sepertinya menemukan pencerahan. “Mendekatlah diri kepada Allah. Dialah Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bersihkan dirimu dari hal-hal yang akan menghalangi kasih sayangNya. Tuhan juga Maha Pengampun. Dia akan mengampuni dosa-dosa kita, dosa-dosa hambaNya yang mempunyai i’tikad baik untuk beraubat.”
Untuk beberapa saat Maharani merenungkan nasehat pamannya. Pamannya seakan bisa membaca alam pikiran Maharani. Namun bagaimanapun juga Maharani mencoba bersikap wajar. Demikian pula ketika berhadapan dengan Suherlan. Maharani sepertinya lebih fokus pada masa kini, dan mengubur ingatan masa lalu.
Ketika cobaan menimpa diri dan keluarganya, tidak bisa dipungkiri jika ada penyesalan di dalam hati sanubarinya. Walau bagaimanapun, Maharani sebenarnya tidak bisa menutup mata bagaimana bapaknya waktu itu berupaya untuk selalu memanjakan dirinya secara materi. Demikian pula, bagaimana sulitnya  menutup rapat segala khilaf yang tergores dalam dirinya kala itu. Semua itu kini muncul dalam bentuk kegelisahan. Hingga suatu hari munculah ide untuk menghapus kegelisahan itu :
“Mas, anak-anak kita sekarang sudah cukup besar. Bagaimana jika aku pergi mencari pekerjaan buat membesarkan anak-anak?” usul Maharani kepada suaminya.
“Kamu mau pergi kemana?” suara Suherlan datar.
“Ke Jakarta. Kebetulan teman kuliahku sekarang ada yang jadi direktur di perusahaan supplier.”
“Selama kamu masih jadi istriku, kamu ngga boleh pergi jauh-jauh!”
“Aku ngga kuat kalau hidup selalu kekurangan begini, mas.”
“Sabar kenapa?”
“Sudah beberapa tahun aku sabar, tapi tidak ada tada-tanda untuk hidup tercukupi. Sampai kapan aku harus bersabar?”
“Syukuri apa yang ada!”
“Emang ada apa mas? Apa-apa ngga ada kok disyukuri? Untuk makan besok juga ngga ada kok disyukuri? Syukur dari Hongkong?”
“Jaga mulutmu!”
“Lho…memang nyatanya begitu?”
“Kurang ajar kamu!” tangan Suherlan mengepal, lalu jatuh diatas meja hingga terdengar suara keras. Braaak. Ketiga anaknya lari, dan menyatu di depan TV.
“Pokoknya aku lusa akan pergi ke Jakarta.”
“Silahkan! Tapi tidak usah kembali lagi!”
“Oh…jadi begitu ya maumu?”
“Iya. Lagian aku juga kecewa dengan malam pertama kita. Kamu tidak orisinil lagi.”
“Apa? Kamu bilang kecewa? Itu sama saja dengan membuka aibmu sendiri, mas!”
“Aib apa?”
“Apa dikira aku tidak tahu kartumu? Apa perlu aku sebutkan satu demi satu, cewek-cewek yang pernah kamu ambil madunya, lalu kamu campakkan?” Suherlan buntu. Suaranya terhenti. Begitupun dengan Maharani. Ia sepertinya tahu, jika tudingan itu dilanjutkan bisa membuatnya tidak aman juga. Suasana hening. Persis seperti posisi skak ster. Suherlan bangkit. Maharani belum puas dengan debat kusir tadi, terlebih Maharani tidak membaca adanya penyesalan ataupun perbaikan di wajah suaminya. Selanjutnya Maharani berantem dengan diri sendiri. Di satu pihak ia merasa tercekik dengan kemiskinan. Di lain pihak Maharani harus mengurus anak-anak yang masih kecil. Tidak tega jika meninggalkan mereka. Perdebatan batin juga terjadi antara kondisi yang sedang dialami saat ini dengan perjuangannya di bangku kuliah. Maharani tidak menemukan adanya balasan yang setimpal atas perjuangannya selama lima tahun di Jogya.
Orang yang selama ini menjadi tumpuhan gaya hidupnya kini meringkuk di jeruji besi. Kondisi demikian semakin menambah suramnya harapan. Bagaikan makan buah simalakama. Merantau ke kota kasihan anak-anak, tidak merantau hidupnya sengsara. Demikian pula jika niatnya untuk pergi merantau, apakah rumah tangganya akan lebih baik? Sebab setidaknya Maharani bakalan dekat lagi dengan Fredy yang sekarang sudah menjadi direktur di Jakarta. Maharani kalut. Kacau.
“Sudahlah, Rani. Kamu ngga usah bingung!. Kamu tidak bakalan mati hanya karena kekurangan materi. Kan ada suamimu? Dia pasti akan bertanggung jawab terhadap kehidupan rumah tanggamu.” Nasehat paman ketika Maharani curhat dengannya.
“Iya, paman. Terima kasih atas nasehat paman.”
“Allah itu Maha Kaya. Dia pasti akan selalu memberi kepada sepasang hambanya yang menikah atau berumah tangga, dari arah yang tidak disangka-sangka.”
“Iya, paman. Tapi…untuk saat ini kami benar-benar bingung.”
“Memangnya apa yang dibingungkan?”
“Kontrakan kami habis. Kemarin pak Harun meminta uang kontrakan, sementara  mas Herlan membisu tidak berdaya.”
“Berapa uang kontrakannya?”
“Dua juta lima ratus ribu, paman.”
“Sudah, jangan bingung-bingung.” Paman mengeluarkan dompet dari sakunya. “Nih, buat bayar kontrakanmu.”
“Tapi, paman…”
“Sudahlah, kamu ngga usah memikirkan bagaimana mengembalikan uang itu.”
“Terima kasih banyak, paman…terima kasih.” Wajah Maharani cair. Maharani mencium tangan pamannya, lalu pamitan. Secercah cahaya terang menerangi hati Maharani. Hatinya berbunga-bunga. Gerakannya gesit. Semilir angin menyapu rambutnya ketika dia men-starter Honda Kharismanya.
Sementara itu di sebuah rumah sederhana, Suherlan tampak sedang mengisi kegiatan akhir pekan dengan merapikan barang-barang di dalam rumah kontrakannya. Kedua anaknya bermain di halaman, sedangkan si kecil tertidur pulas di kamarnya.
Matahari condong ke barat. Sinarnya tidak lagi terik. Kedua anaknya berlarian menyambut kedatangan Maharani. Mereka membantu menurunkan barang-barang bawaan Maharani yang tampak berat. Dua buah tas plastik mereka turunkan dari motor Kharisma.
“Mama habis beli makanan ya?” Tanya Egi sambil menenteng tas plastik itu.
“Iya, tapi nanti membukanya di dalam saja ya!.”
Kedua anaknya riang. Mereka berjalan beriringan menuju ke dalam rumah. Sementara itu Suherlan menyambut keceriaan anak-anaknya tanpa ekspresi. Bunyi kresek beberapa kali terdengar diselingi senyum ceria dari kedua anaknya ketika mereka membuka kedua tas plastik itu.
“Banyak amat belanjaannya, mah? Ada roti, ada susu, ada baju anak-anak, dan apalagi nih? Tas, t-shirt, daster, wow…banyak sekali? Emang kamu dapet duit darimana?” Suherlan penasaran.
“Ngga penting darimananya, mas. Yang penting anak-anak senang.” Jawab Maharani sambil mengipas-ngipas tubuhnya.
“Kok gitu? Aku berhak tahu dong. Aku kan suamimu? Dan, apalagi nih? Ada parfum, bedak, lipstick, terus…ada sandal juga, pasti menghabiskan banyak duit nih… ayo, katakan! Kamu dapat duit darimana?” Herlan terus mendesak istrinya.
“Yang jelas bukan dari mencuri, mas, juga bukan dari menjual diri.”
“Aku tahu, tapi… sama suamimu sendiri kamu kok sikapnya begitu?”
Debat mulut itu bisa saja semakin santer jika keduanya saling mempertahankan egonya. Debat mulut itu terhenti setelah terdengar nada isyarat pesan di handphone Maharani. Maharani membuka sms. Tertulis di monitor “paman Yanto”. Mata Maharani melebar ketika membaca isi pesan itu : “Rani, bpkmu d RSU, r flambyn 2, km sgr ksna”.
Maharani galau. Hentakan di jiwa hadir kembali. Air matanya tidak dapat dibendung ketika mendapati bapaknya tak berdaya. Kali ini Maharani benar-benar menangis ketika melihat muka bapaknya babak belur. Muka bapaknya hampir sulit dikenali karena kedua pipinya tembem. “Biadab!” umpat Maharani. Para napi di rumah tahanan itu begitu ganas menghajar napi pendatang baru dengan pukulan yang membabi buta, tanpa perhitungan. Semua gigi depan pak Sakiran tanggal.
“Dokter, bagaimana kondisi bapak saya? Apakah bapak saya bisa sembuh seperti sedia kala?” Maharani mengadukan kesedihannya kepada dokter yang menangani bapaknya.
“Nyonya jangan khawatir!. Bapak tidak begitu fatal. Beliau hanya shock dan mengalami sedikit pendarahan di bagian wajahnya. Insya Allah beliau bisa segera sembuh walaupun harus kehilangan beberapa giginya, terutama gigi bagian depan.” Penjelasan dokter cukup meyakinkan. Maharani menghapus air matanya. Namun kesedihan itu tidak bisa disembunyikan.
Musibah dan penderitaan yang terus menerus dialaminya membuat Maharani murung. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ada sesuatu yang ia lupakan selama ini. Ketika ego dan kesenangan pribadi berbicara, Maharani seperti menari di alam bebas. Tidak ada yang menghentikan tariannya. Tidak ada yang mengontrol lenggak lenggoknya. Satu-satunya yang bisa memberi siraman rohaninya hanyalah nasehat pamannya. Namun ketika berhadapan dengan suaminya, nasehat itupun terkesan mental. Antara Maharani dan Suherlan masih saja mengedepankan egonya masing-masing. Entahlah. Mungkin karena tidak adanya landasan berpijak bagi keduanya. Siraman rohani yang didapat dari paman, tidak didapatkannya dari suaminya. Antara Maharani dan Suherlan sama-sama kosong, sama-sama kering. Entah sampai kapan mereka menjalani kehidupan rumah tangganya tanpa kiblat? Wallahua’lam.


***


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons