Cerpen Supandi
Bagai mimpi di siang bolong. Itu yang tergambar dari
raut wajah Maharani. Duduk bersanding dengan pria pujaan hati ternyata bukan lagi
sekedar mimpi bagi Maharani. Setelah lima bulan menjalani masa berpacaran,
akhirnya Maharani memutuskan untuk menikah dengan seorang pria rupawan.
Suherlan. Lengkapnya Suherlan, SE sebagaimana yang tersebut dalam surat nikah
telah menjadi pilihannya. Senyum kedua mempelai itu cair. Menghipnotis para
hadir yang turut menyaksikan pernikahan mereka.
Kebahagiaan Maharani lengkaplah sudah. Hari-hari setelah
pernikahan mereka jalani dengan suka ria. Sepasang suami istri itu sudah tidak
ada lagi kecanggungan dalam memadu cinta. Sudah tidak ada lagi kegelisahan
manakala mereka hendak mengisap madu cinta.
Setengah tahun berlalu, cinta Maharani semakin kuat.
Bagi Maharani, Suherlan adalah sosok pria yang paling tampan dan paling
perkasa. Pembawaannya kalem tapi mengalirkan kehangatan. Suherlan mampu membawa
dirinya mengarungi samudra asmara hingga jauh, sejauh-jauhnya. Dunia serasa
hanya milik mereka berdua. Bercanda. Mengadu kasih dalam balutan asmara.
Suherlan mampu memberi kasih sayang yang nyaris
sempurna. Namun seiring berjalannya
waktu, kasih sayang yang diberikan oleh Suherlan lambat laun
tampak semakin hambar. Percik-percik problematika hidup berumah tangga seringkali berubah menjadi
prahara. Kricik-kricik menjadi grujugan. Hidup termanjakan oleh materi
yang selama ini dilakoninya tidak lagi bisa dinikmati oleh Maharani.
Kebutuhan hidup
dalam berumah tangga semakin menuntut perhatian yang serius. Menginjak tahun ke enam perkawinannya,
mereka harus memeras otak lebih keras seiring dengan hadirnya anak yang ke
tiga. Kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara penghasilan Suherlan yang
berstatus sebagai tenaga honorer sangat minim. Besar pasak daripada tiang.
Kebutuhan hidup lebih besar daripada penghasilan yang didapat oleh Suherlan
yang kesehariannya bekerja sebagai tenaga tidak tetap di sebuah SMA swasta. Anak-anak
membutuhkan sandang, makanan bergizi dan susu.
Maharani tidak bisa berbuat sesuatu untuk membantu
penghasilan suaminya. Ijasah sarjana yang telah diperolehnya hanya bisa
dijadikan barang mati diantara tumpukan kertas. Tidak ayal lagi jika
percik-percik dalam rumah tangga kerap muncul. Debat mulut seringkali mewarnai
suasana di rumah kontrakan yang dihuninya. Maharani hanyut dalam kerasnya
kehidupan. Keperkasaan Suherlan yang selama ini menjadi kebanggan Maharani kini
surut. Di mata Maharani, Suherlan hanyalah sosok laki-laki yang mati ide.
Miskin kreatifitas.
Imbas dari miskinnya kreatifitas yang ditunjukkan oleh
Suherlan sering membuat Maharani gregetan.
Entahlah. Angannya melayang ke masa kuliah yang serba tercukupi. Tidak hanya
itu, Maharani bahkan sering hanyut dalam kenangan-kenangan indah di bangku
kuliah yang terukir bak diorama. Hatinya menjerit ketika teringat hubungan
cintanya dengan Hendro, anak seorang pengusaha batik yang kaya raya itu. Tapi
sayang, saat itu ibunya tidak menyetujui hubungannya dengan Hendro. Hendro
tersinggung dengan sikap beliau. Cinta yang sudah terjalin bersama Maharani
harus berakhir.
Demikian pula ketika Fredy berhasil menggantikan posisi
Hendro, ibu juga tidak merestuinya. “Kamu
kan masih kuliah, Rani. Cita-citamu masih jauh. Kamu boleh berpacaran jika
sudah menemukan pria yang sudah jelas masa depannya.” Kurang lebihnya
itulah pesan ibunya. Hubungan mereka pun putus.
Beberapa minggu Maharani hanyut dalam kesedihan setelah
berpisah dengan Fredy. Maharani tidak bisa melupakan bagaimana Fredy membawanya
melayang. Fredy sangat romantis. Fredy mampu membawa Maharani dalam mimpi indah
dan nyata. Kenangan bersama Fredy bisa jadi yang paling sulit untuk dilupakan.
Namun desakan dari kedua orang tuanya ternyata lebih kuat, sehingga Maharani
harus melepas Fredy tanpa ada perjanjian hitam diatas putih. Fredy melenggang
dengan meninggalkan bekas yang akan terukir sepanjang jaman.
Harmoni cinta Fredy berbanding terbalik dengan cinta
Bintoro. Bagi Maharani, Bintoro adalah kenangan kelam. Saat itu Maharani masih
duduk di bangku kelas dua SMA. Dengan rayuan mautnya, Bintoro mampu menyibak
kelambu putih yang menutup ranjangnya di kamar kost-nya. Tanpa memperhitungkan resiko, Maharani jatuh dalam
pelukan Bintoro yang saat itu berstatus sebagai preman berwajah tampan. Saat
itu Maharani lebur dalam situasi yang gelap.
Secercah harapan muncul ketika Hendro maupun Fredy hadir
dalam kegelapannya. Kala itu Maharani seperti hidup kembali, tetapi kasih
sayang mereka pupus di tengah jalan. Sering terlintas dalam pikiran Maharani
sebuah masa depan yang gemilang jika hubungan dengan salah satu diantara mereka
berlanjut hingga ke jenjang pernikahan. Nasi sudah menjadi bubur. Angan-angan
itu hanyalah andai-andai. Nasib telah berkata lain. Suherlan telah melibatkan
dirinya dalam suatu keadaan yang sulit. Maharani tak berdaya lari dari kondisi
yang mencekik leher. Suherlan tidak menunjukkan sinyal akan munculnya sebuah
harapan yang mencerahkan buat masa depan keluarga.
“Mas, ada uang dua ratus ribu apa ngga?” Tanya Maharani
sore itu.
“Banyak amat? Emang mau buat apa?” Herlan balik
bertanya.
“Itu lho mas…tadi pagi Bu Edy datang kemari, minta uang
cicilan.”
“Cicilan?”
“Iya mas.”
“Cicilan apa?”
“Baju gamis, mas.”
“Kamu ambil baju lagi? Bukankah kamu masih mempunyai
beberapa baju yang masih bagus-bagus? Kenapa ambil lagi?”
“Sayang kalau ngga diambil mas. Kebetulan ada gamis yang
pas sekali coraknya. Manis sekali kalau aku pakai. Kamu pasti suka melihatnya!”
“Tapi kan kamu harus melihat keadaan, Rani!”
“Sudahlah mas, jangan banyak ucap! Ujung-ujungnya
paling-paling kita berantem. Kamu harus sadar, aku ini istrimu. Jadi wajar
kalau aku minta sama suami. Lagian, aku juga ngga sering minta kok. Baju yang
kemarin dan yang kemarinnya lagi itu siapa yang membelikan? Ayo, siapa?”
Suherlan terdiam. Hujan kata-kata itu seakan memukul telak. “Ayo, siapa, mas?
Bapak mertuamu kan?...begitu juga dengan gelang-gelang yang ada di tanganku dan
kalung yang aku pakai, semua ini pemberian bapak, mas.” Gurat-gurat kesedihan
tergambar di wajah Suherlan. Sesaat matanya memandang Maharani. “Kewes. Istriku memang kewes” Suherlan berkata dalam hati.
Namun lagi-lagi Suherlan harus memijit-mijit jidatnya. Mencari solusi. “Besok
sore bu Edy akan menagih uang itu, apakah kamu bisa mengusahakan?”
“Baiklah. Besok aku mau menutup koperasi.” Janji
Suherlan. Maharani bernapas lega. Janji Suherlan mengalirkan semangat.
Setidaknya Maharani bisa menunjukkan ke-pede-annya
di hadapan orang dengan gamis barunya. Kebanggaan atas kemolekan diri
sepertinya menjadi hiburan bagi dirinya. Decak kagum dari orang lain adalah
harapan utamanya saat mereka melihat penampilannya.
Maharani berdiri di depan cermin. Baju gamis itu sangat
serasi dengan kulit tubuhnya. Hijau kebiru-biruan. Warna itu menambah kecerahan
wajahnya. Maharani memutar tubuhnya ke samping kiri, kanan dan belakang.
Sepertinya semuanya sempurna. Siap narsis
di acara arisan ibu-ibu RT. Di ruang depan, Suherlan berdiri sambil
menimang-nimang si kecil. Maharani melangkahkan kakinya keluar, tapi langkahnya
terhenti. Handphone-nya berdering.
Sebuah berita buruk membuyarkan pikirannya. Maharani mengurungkan niatnya
menghadiri acara arisan ibu-ibu RT. Sebaliknya, Maharani dan Suherlan serta
anak-anaknya meluncur dengan sepeda motor Honda Kharisma menuju ke rumah orang
tuanya di desa sebelah.
Beberapa orang berkerumun di depan rumah pak Sakiran
ketika Maharani, Suherlan dan ketiga anaknya tiba. Dengan menggendong si kecil,
Maharani berjalan tergopoh-gopoh menuju ke rumah orang tuanya. Setelah dicari dari kamar ke kamar,
dan dari sudut ke sudut, Maharani tidak menemukan sosok bapaknya. Maharani
mematung setelah mendengar penjelasan bahwa bapaknya, yakni pak Sakiran baru
saja dibawa oleh orang-orang berseragam KPK. Diperoleh keterangan bahwa pak
Sakiran terlibat dalam kasus manipulasi data dan penggelembungan anggaran
proyek pembangunan beberapa perpustakaan sekolah se Jawa Tengah yang bernilai
ratusan juta rupiah.
Peristiwa itu sangat memukul muka Maharani. Suatu
goncangan yang sangat keras dirasakan oleh Maharani. Semua harta orang tuanya
disita oleh KPK. Tiada lagi yang bisa diharapkan oleh Maharani. Gelap. Maharani
memandang kosong. Semua yang ia lihat tidak mengisyaratkan adanya harapan.
Begitupun ketika Suherlan mencoba menghiburnya, sama sekali tidak berarti di
mata Maharani. Maharani tetap kalut.
Hidup termanjakan sebagai anak semata wayang kini
kering. Beruntung, Maharani masih memiliki seorang paman. Setidaknya ada tempat
bernaung dan mengadu. Tempat untuk menaruh harapan. Ibu untuk sementara bisa nunut ngiyup di rumah paman, yang juga
adik kandung beliau.
“Paman, aku sepertinya ngga kuat lagi hidup begini.
Menurut paman bagaimana jika aku pergi merantau?” Maharani mencoba curhat dengan pamannya.
“Sebaiknya kamu ngga usah kemana-mana, Rani. Akan lebih
baik jika kamu istiqomah mengurus
anak dan suami di rumah. Itu adalah pekerjaan yang paling mulia bagi seorang
istri.” Nasehat paman.
“Tapi paman…”
“Yang namanya hidup berumah tangga itu harus mau dan
mampu menghadapi permasalahan hidup. Kalian adalah pasangan yang masih muda.
Apa yang sedang kamu alami harus disikapi dengan sabar. Itu semua adalah cobaan
dari Gusti Allah. Siapa yang sabar
akan disayang oleh Gusti Allah.”
Maharani dengan seksama mendengarkan nasehat pamannya. “Hidup itu sak dermo nglakoni. Ada aksi ada reaksi.
Ada siang ada malam. Ada gembira ada sedih. Sedangkan kehidupan yang benar itu
adalah kehidupan yang muaranya pada satu tujuan, yaitu beribadah kepada Gusti Allah.” Kali ini Maharani
manggut-manggut. “Tidak usah neko-neko,
pergi jauh, hanya karena soal yang tidak terlalu prinsip. Jika kepergianmu
berakibat tidak baik bagi perkembangan jiwa anak-anakmu, kamu lebih baik
berkorban untuk mereka. Suatu saat Suherlan pasti akan bangkit, asalkan kamu
terus memberinya semangat. Kamu tahu kan, bahwa dibalik kesuksesan suami, atau
dibalik kegagalan suami, itu karena ada istri di belakangnya.” Nasehat paman
cukup mengenai sasaran. Maharani sepertinya menemukan pencerahan. “Mendekatlah
diri kepada Allah. Dialah Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bersihkan
dirimu dari hal-hal yang akan menghalangi kasih sayangNya. Tuhan juga Maha
Pengampun. Dia akan mengampuni dosa-dosa kita, dosa-dosa hambaNya yang
mempunyai i’tikad baik untuk
beraubat.”
Untuk beberapa saat Maharani merenungkan nasehat
pamannya. Pamannya seakan bisa membaca alam pikiran Maharani. Namun
bagaimanapun juga Maharani mencoba bersikap wajar. Demikian pula ketika
berhadapan dengan Suherlan. Maharani sepertinya lebih fokus pada masa kini, dan
mengubur ingatan masa lalu.
Ketika cobaan menimpa diri dan keluarganya, tidak bisa
dipungkiri jika ada penyesalan di dalam hati sanubarinya. Walau bagaimanapun,
Maharani sebenarnya tidak bisa menutup mata bagaimana bapaknya waktu itu
berupaya untuk selalu memanjakan dirinya secara materi. Demikian pula,
bagaimana sulitnya menutup rapat segala
khilaf yang tergores dalam dirinya kala itu. Semua itu kini muncul dalam bentuk
kegelisahan. Hingga suatu hari munculah ide untuk menghapus kegelisahan itu :
“Mas, anak-anak kita sekarang sudah cukup besar.
Bagaimana jika aku pergi mencari pekerjaan buat membesarkan anak-anak?” usul
Maharani kepada suaminya.
“Kamu mau pergi kemana?” suara Suherlan datar.
“Ke Jakarta. Kebetulan teman kuliahku sekarang ada yang
jadi direktur di perusahaan supplier.”
“Selama kamu masih jadi istriku, kamu ngga boleh pergi
jauh-jauh!”
“Aku ngga kuat kalau hidup selalu kekurangan begini,
mas.”
“Sabar kenapa?”
“Sudah beberapa tahun aku sabar, tapi tidak ada
tada-tanda untuk hidup tercukupi. Sampai kapan aku harus bersabar?”
“Syukuri apa yang ada!”
“Emang ada apa mas? Apa-apa ngga ada kok disyukuri?
Untuk makan besok juga ngga ada kok disyukuri? Syukur dari Hongkong?”
“Jaga mulutmu!”
“Lho…memang nyatanya begitu?”
“Kurang ajar kamu!” tangan Suherlan mengepal, lalu jatuh
diatas meja hingga terdengar suara keras. Braaak.
Ketiga anaknya lari, dan menyatu di depan TV.
“Pokoknya aku lusa akan pergi ke Jakarta.”
“Silahkan! Tapi tidak usah kembali lagi!”
“Oh…jadi begitu ya maumu?”
“Iya. Lagian aku juga kecewa dengan malam pertama kita.
Kamu tidak orisinil lagi.”
“Apa? Kamu bilang kecewa? Itu sama saja dengan membuka
aibmu sendiri, mas!”
“Aib apa?”
“Apa dikira aku tidak tahu kartumu? Apa perlu aku
sebutkan satu demi satu, cewek-cewek yang pernah kamu ambil madunya, lalu kamu
campakkan?” Suherlan buntu. Suaranya terhenti. Begitupun dengan Maharani. Ia
sepertinya tahu, jika tudingan itu dilanjutkan bisa membuatnya tidak aman juga.
Suasana hening. Persis seperti posisi skak ster. Suherlan bangkit. Maharani
belum puas dengan debat kusir tadi, terlebih Maharani tidak membaca adanya
penyesalan ataupun perbaikan di wajah suaminya. Selanjutnya Maharani berantem
dengan diri sendiri. Di satu pihak ia merasa tercekik dengan kemiskinan. Di
lain pihak Maharani harus mengurus anak-anak yang masih kecil. Tidak tega jika
meninggalkan mereka. Perdebatan batin juga terjadi antara kondisi yang sedang
dialami saat ini dengan perjuangannya di bangku kuliah. Maharani tidak
menemukan adanya balasan yang setimpal atas perjuangannya selama lima tahun di
Jogya.
Orang yang selama ini menjadi tumpuhan gaya hidupnya
kini meringkuk di jeruji besi. Kondisi demikian semakin menambah suramnya
harapan. Bagaikan makan buah simalakama. Merantau ke kota kasihan anak-anak,
tidak merantau hidupnya sengsara. Demikian pula jika niatnya untuk pergi
merantau, apakah rumah tangganya akan lebih baik? Sebab setidaknya Maharani
bakalan dekat lagi dengan Fredy yang sekarang sudah menjadi direktur di
Jakarta. Maharani kalut. Kacau.
“Sudahlah, Rani. Kamu ngga usah bingung!. Kamu tidak
bakalan mati hanya karena kekurangan materi. Kan ada suamimu? Dia pasti akan
bertanggung jawab terhadap kehidupan rumah tanggamu.” Nasehat paman ketika
Maharani curhat dengannya.
“Iya, paman. Terima kasih atas nasehat paman.”
“Allah itu Maha Kaya. Dia pasti akan selalu memberi
kepada sepasang hambanya yang menikah atau berumah tangga, dari arah yang tidak
disangka-sangka.”
“Iya, paman. Tapi…untuk saat ini kami benar-benar
bingung.”
“Memangnya apa yang dibingungkan?”
“Kontrakan kami habis. Kemarin pak Harun meminta uang
kontrakan, sementara mas Herlan membisu
tidak berdaya.”
“Berapa uang kontrakannya?”
“Dua juta lima ratus ribu, paman.”
“Sudah, jangan bingung-bingung.” Paman mengeluarkan
dompet dari sakunya. “Nih, buat bayar kontrakanmu.”
“Tapi, paman…”
“Sudahlah, kamu ngga usah memikirkan bagaimana
mengembalikan uang itu.”
“Terima kasih banyak, paman…terima kasih.” Wajah
Maharani cair. Maharani mencium tangan pamannya, lalu pamitan. Secercah cahaya
terang menerangi hati Maharani. Hatinya berbunga-bunga. Gerakannya gesit. Semilir
angin menyapu rambutnya ketika dia men-starter
Honda Kharismanya.
Sementara itu di sebuah rumah sederhana, Suherlan tampak
sedang mengisi kegiatan akhir pekan dengan merapikan barang-barang di dalam
rumah kontrakannya. Kedua anaknya bermain di halaman, sedangkan si kecil
tertidur pulas di kamarnya.
Matahari condong ke barat. Sinarnya tidak lagi terik.
Kedua anaknya berlarian menyambut kedatangan Maharani. Mereka membantu
menurunkan barang-barang bawaan Maharani yang tampak berat. Dua buah tas
plastik mereka turunkan dari motor Kharisma.
“Mama habis beli makanan ya?” Tanya Egi sambil menenteng
tas plastik itu.
“Iya, tapi nanti membukanya di dalam saja ya!.”
Kedua anaknya riang. Mereka berjalan beriringan menuju
ke dalam rumah. Sementara itu Suherlan menyambut keceriaan anak-anaknya tanpa
ekspresi. Bunyi kresek beberapa kali terdengar diselingi senyum ceria dari
kedua anaknya ketika mereka membuka kedua tas plastik itu.
“Banyak amat belanjaannya, mah? Ada roti, ada susu, ada
baju anak-anak, dan apalagi nih? Tas, t-shirt, daster, wow…banyak sekali? Emang
kamu dapet duit darimana?” Suherlan penasaran.
“Ngga penting darimananya, mas. Yang penting anak-anak
senang.” Jawab Maharani sambil mengipas-ngipas tubuhnya.
“Kok gitu? Aku berhak tahu dong. Aku kan suamimu? Dan,
apalagi nih? Ada parfum, bedak, lipstick, terus…ada sandal juga, pasti
menghabiskan banyak duit nih… ayo, katakan! Kamu dapat duit darimana?” Herlan
terus mendesak istrinya.
“Yang jelas bukan dari mencuri, mas, juga bukan dari
menjual diri.”
“Aku tahu, tapi… sama suamimu sendiri kamu kok sikapnya
begitu?”
Debat mulut itu bisa saja semakin santer jika keduanya
saling mempertahankan egonya. Debat mulut itu terhenti setelah terdengar nada
isyarat pesan di handphone Maharani.
Maharani membuka sms. Tertulis di monitor “paman Yanto”. Mata Maharani melebar
ketika membaca isi pesan itu : “Rani,
bpkmu d RSU, r flambyn 2, km sgr ksna”.
Maharani galau. Hentakan di jiwa hadir kembali. Air
matanya tidak dapat dibendung ketika mendapati bapaknya tak berdaya. Kali ini
Maharani benar-benar menangis ketika melihat muka bapaknya babak belur. Muka
bapaknya hampir sulit dikenali karena kedua pipinya tembem. “Biadab!” umpat Maharani. Para napi di
rumah tahanan itu begitu ganas menghajar napi pendatang baru dengan pukulan
yang membabi buta, tanpa perhitungan. Semua gigi depan pak Sakiran tanggal.
“Dokter, bagaimana kondisi bapak saya? Apakah bapak saya
bisa sembuh seperti sedia kala?” Maharani mengadukan kesedihannya kepada dokter
yang menangani bapaknya.
“Nyonya jangan khawatir!. Bapak tidak begitu fatal.
Beliau hanya shock dan mengalami
sedikit pendarahan di bagian wajahnya. Insya Allah beliau bisa segera sembuh
walaupun harus kehilangan beberapa giginya, terutama gigi bagian depan.”
Penjelasan dokter cukup meyakinkan. Maharani menghapus air matanya. Namun
kesedihan itu tidak bisa disembunyikan.
Musibah dan penderitaan yang terus menerus dialaminya
membuat Maharani murung. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ada sesuatu yang
ia lupakan selama ini. Ketika ego dan kesenangan pribadi berbicara, Maharani
seperti menari di alam bebas. Tidak ada yang menghentikan tariannya. Tidak ada
yang mengontrol lenggak lenggoknya. Satu-satunya yang bisa memberi siraman
rohaninya hanyalah nasehat pamannya. Namun ketika berhadapan dengan suaminya,
nasehat itupun terkesan mental. Antara Maharani dan Suherlan masih saja
mengedepankan egonya masing-masing. Entahlah. Mungkin karena tidak adanya
landasan berpijak bagi keduanya. Siraman rohani yang didapat dari paman, tidak
didapatkannya dari suaminya. Antara Maharani dan Suherlan sama-sama kosong,
sama-sama kering. Entah sampai kapan mereka menjalani kehidupan rumah tangganya
tanpa kiblat? Wallahua’lam.
***
0 komentar:
Posting Komentar