Cerpen Supandi
Awalnya aku hanya mencoba-coba,
akan tetapi pada akhirnya aku sepertinya kecanduan. Nginang. Jika sore tiba aku sering menemani budhe nginang hingga
memerah gigi dan bibirku. Aku berharap bisa memiliki gigi seperti budhe, sehat dan kuat. Di usianya yang mendekati
tujuh puluh tahun, budhe masih
memiliki gigi yang masih utuh.
Harapanku ternyata benar.
Gigi-gigiku sehat dan kuat. Aku masih mampu mengunyah lanting, sate kambing dan
makanan-makanan keras dan kenyal lainnya walau usiaku hampir empat puluh tahun.
Aku memiliki tubuh yang sehat. Bahkan menurutku, aku juga energik. Aku yakin semua
ini karena konsumsi makananku yang beraneka ragam, berkat gigi-gigiku yang
kuat.
Belakangan aku menyadari
ada plak hitam di sebagian gigiku setelah anak gadisku beberapa kali menegurku.
Namun setiap kali aku bercermin di depan kaca, aku memilih pertimbangan yang
berbeda, “Buat apa punya gigi putih kalau tidak sehat dan kuat” pikirku. Beberapa
kali anakku dan juga suamiku mengingatkanku untuk berhenti nginang, tapi nasehatnya tidak pernah aku gubris. Aku sepertinya
nyaris kecanduan. Lidahku sudah tidak asing lagi dengan rasa pahit daun sirih.
Lidahku sudah akrab dengan rasa getir susur.
“Kalau aku perhatikan,
kamu kok semakin sering nginang, Ma?”
entah sudah berapa kali mas Tarjo menegurku. Aku melihat ada gurat-gurat
kekecewaan di wajahnya, tapi aku masih enggan untuk menghapus kekecewaan dia.
Entahlah. Aku rasanya tidak ingin disetir. Aku ingin hidup sesukaku sebatas
tidak melanggar perintah Gusti Allah.
“Sekarang sudah tidak jamannya lagi nginang,
Ma! Sekarang kan sudah ada pasta gigi?” aku hanya diam mendengar nasehat mas
Tarjo sambil sesekali menyemprotkan ludah berwarna merah kehitam-hitaman dari
mulutku kearah lantai berdebu.
“Iya, mama sekarang kok
jadi sering nginang, Ma?” anak gadisku ikut mendukung bapaknya. “Lagian, mama
sekarang juga suka ngga teratur dech, cara merawat diri. Padahal, mama ini
aslinya cantik lho... coba kalau merah bibirnya diganti sama lipstick, pipinya pakai bedak, terus...
itu lho Ma, kalau berpakaian, Mama harus lebih pintar dalam mengkombinasikan
antara baju dan kerudung, pasti dech bapak akan lengket terus sama Mama!” aku
cukup tersudut menghadapi ocehan suami dan anak gadisku. Mereka benar. Akupun
sebenarnya tahu bahwa kebiasaanku itu kurang baik. Bahkan aku juga tahu, mereka
mengharapkan aku bisa mengikuti trend
modis yang sedang up to date.
Malam ini terasa begitu
mencekam. Aku tiba-tiba merasakan takut. Tapi anehnya, aku tidak tahu persis apa
yang sebenarnya aku takutkan. Semua ini mungkin berawal dari kebiasaanku nginang dan berpakaian apa adanya yang
membuat suami dan anakku tidak berkenan. Aku menyadari ada sisi yang membuatku
merasa bersalah. Sejak gigi-gigiku tidak terlihat putih cemerlang, sejak aku
mengabaikan penampilan diriku, lambat laun kekecewaan mas Tarjo semakin menggunung.
Saat itu mas Tarjo benar-benar tidak bergairah lagi terhadap diriku. Imbas dari
semua itu, aku harus menerima kenyataan pahit. Mas Tarjo berpaling dariku. Ini
memang salahku hingga suamiku menjalin hubungan tali asmara dengan Parsiyah,
rekan bisnisnya.
Mas Tarjo sering pulang
malam. Sepulang dari tempat kerja Mas Tarjo tidak langsung pulang ke rumah dengan
alasan ada pesanan jamu. Aku tahu betul bahwa itu hanyalah alasan di bibir
saja. Tetapi aneh. Aku tidak bergairah untuk menginterogasi kegiatan suamiku di
luar. Aku selalu membimbing hatiku untuk tidak berpikiran yang aneh-aneh.
Lagian, fakta sudah membuktikan bahwa setiap kali pulang malam Mas Tarjo pulang
tidak dengan tangan hampa. Kebutuhan kami tercukupi dan bisa menabung. Itu
barangkali yang bisa meredam sakit hatiku.
“Mba Anis ini
bagaimana? Mas Tarjo sering pergi sama wanita lain kok tenang-tenang saja?”
Tonah, adiku tampak geregtan memperingatkanku.
“Lho... Mba juga
tenang-tenang saja, kok kamu yang ribut?” kataku datar.
“Weh...heran dech...
emang Mba Anis belum percaya dengan isu itu?”
“Emang gue pikirin?” aku menanggapinya enteng.
“Kalau aku jadi Mba
Anis, sudah kudamprat tuh Mas Tarjo!”
Aku juga heran kepada diriku
sendiri. Jujur, awalnya aku sakit. Tapi entah mengapa, semakin santer isu
tentang perselingkuhan Mas Tarjo, aku malah merasa biasa-biasa saja. Aku sama
sekali tidak cemburu walaupun aku yakin suamiku benar mempunyai WIL (wanita
idaman lain). Aku kadang mencari jawaban sendiri, barangkali karena aku tidak
menerima kenyataan yang bertahun-tahun menjadi teka teki dalam kehidupan rumah
tanggaku. Teka teki tentang sosok Handika. Nama itu selalu membayang di pelupuk
mata. Semakin dekat hubungan suamiku dengan Parsiyah, justru hati ini semakin
terpatri pada sosok Handika.
Ada beberapa lelaki
yang mengharapkan diriku saat aku baru lulus SLTA. Aku menjadi ajang kompetisi
bagi beberapa lelaki. Salah satu diantara mereka adalah Handika. Tapi entah kekuatan darimana, sehingga Mas Tarjo,
laki-laki yang tidak aku harapkan justru akhirnya membawaku dalam pelaminan.
Sungguh sebuah teka-teki besar bagiku. Diriku seperti digerayangi kekuatan aneh
yang membuatku tak berdaya hingga aku bertekuk lutut di hadapan Mas Tarjo.
Diatas tawa Mas Tarjo
aku yakin ada kekecewaan Handika. Namun bayang-bayang tentang gejolak cinta
antara diriku dengan Handika itu ternyata hanya sebatas fatamorgana. Di usiaku
yang semakin tua, di usia perkawinanku yang sudah dianugerahi tiga orang anak,
selayaknya aku tidak memikirkan hal-hal yang tidak berguna itu. Aku malu dengan
diriku saat ini. Akan tetapi sejak Mas Tarjo berpaling ke wanita lain, aku
tidak bisa mungkir dari hadirnya fatamorgana itu.
Sore itu, hari Minggu,
enam tahun yang lalu, aku benar-benar terperanjat menerima kenyataan yang
sangat memilukan. Mas Tarjo pulang diantar oleh sebuah mobil ambulan. Bunyi
sirine bergema, menjawab kabar duka yang sudah santer merambah dari telinga ke
telinga. Aku menatap pilu ketika jasad Mas Tarjo diturunkan dari ambulan. Aku
pasrah dengan Sang Kuasa. Tubuhnya sudah terbungkus dengan kaih kafan namun darah
terus merembes dari sekujur tubuhnya. Bahkan aku tidak diperbolehkan untuk
membuka dan melihat jasadnya.
Berdasarkan berita yang
berkembang, Parsiyah juga mengalami nasib yang sama. Kedua sejoli yang sedang mabuk
cinta itu dihantam oleh bus cepat dari arah yang berlawanan ketika motor yang
dikendarai oleh mas Tarjo hendak menyalip sebuah truk pengangkut semen. Ketika
motor yang mereka kendarai nongol di sebelah kanan truk, tidak disangka, ada
bus cepat jurusan Jakarta Jogya meluncur dengan kecepatan tinggi dari arah yang
berlawanan. Peristiwa tragis itu tidak bisa mereka hindarkan. Cinta mereka terbawa
hingga ke alam keabadian. Mas Tarjo telah pergi bersama Parsiyah untuk
selama-lamanya. Saat itu aku hanya terbengong menerima lelakon hidup yang jauh diluar kuasa dan kehendak manusia.
Bagaimana dengan
anak-anak? Itulah yang sering membuatku lunglai. Membesarkan mereka bertiga
hanya dengan mengandalkan pensiunan suami saja tidak mungkin. Di sisi lain aku
harus memenuhi kebutuhan hidup anak-anakku. Pahit getir aku jalani seorang
diri. Aku lelah. Sangat lelah. Hanya kepadaNya aku mengadu. Hanya kepadaNya aku
meminta kekuatan. Handika benar-benar hanya fatamorgana. Laki-laki itu sudah
milik istri dan anak-anaknya. Aku harus hidup mandiri dan melupakan Handika. Aku
terseok-seok mengantarkan anak-anakku menuju masa depannya.
Berbagai jalan hidup
aku jalani, dari berdagang kecil-kecilan hingga merantau ke luar negeri. Kutinggalkan
anak-anaku dalam kegersangan kasih sayang orang tua. Dalam hati aku berpikir,
Tuhanlah yang menyayangi mereka. Aku yakin betul bahwa mereka mendapat kasih
sayang langsung dari Sang Maha Kasih dan Maha Sayang. Aku pergi ke luar negeri
dengan keberanian seadanya, didasari niatan agar bisa mengantarkan anak-anaku
menuju dunia masa depannya.
Dan alhamdulillah, anak sulungku sudah bisa
lulus SMA dan kini sudah bisa mencari uang sendiri. Demikian pula anak gadisku
yang nomor dua, tidak lama lagi bahkan akan menamatkan sarjana. Sedikit demi
sedikit bebanku terkurangi. Namun tidak bisa dipungkiri, jujur aku membutuhkan seorang
pendamping dalam hidupku. Aku berharap hadirnya seorang lelaki yang bisa
menggantikan posisi Handika di dalam hatiku.
Aku tidak mau
terus-menerus menerima perhatian semu dari Handika. Pertentangan batin antara
rasa senang dan kecewa bergolak manakala menerima pesan pendek dari Handika. Di
satu sisi, bagaimana kelabakan diriku ketika sehari saja Handika tidak mengirim
sms kepadaku.
Dalam kepiluan hati aku
mencoba merenungi sikap diriku selama ini. “Tuhan tidak akan mengubah nasib
suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.” Nasehat bijak itu mampir
di pikiranku, membimbingku menatap ke depan. Kuperhatikan anak gadisku yang
kini sudah menginjak dewasa. Aku bersyukur mempunyai anak gadis yang cantik.
Penampilannya serba kewes. Dan
kelihatannya banyak teman laki-lakinya yang gemes kepadanya.
Tanpa sepengatuan anak
gadisku, aku mencoba belajar darinya. Aku sudah bisa berpenampilan yang lebih
menarik, walaupun aku sering minta pertimbangan anak gadisku setiap aku
mengenakan pakaianku dan kombinasi antara atas dan bawahan. Dan pada akhirnya
aku bisa secara mandiri menentukan kombinasi yang tepat.
Aku juga mempunyai
kebiasaan yang baru. Aku banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan
pengajian ibu-ibu. Bahkan beberapa kelompok pengajian aku ikut di dalamnya. Ada
rasa nyaman yang merasuk dalam sanubariku. Tidak hanya itu, aku juga ikut
kegiatan fitnes. Aku tidak memedulikan
apa kata orang-orang di sekelilingku, yang penting kegiatan itu aku lakukan sebagai
ujud rasa bersyukurku kepada Tuhan dengan menjaga kesehatan tubuh.
Anak gadisku telah
menjadi obyek pembelajaran bagiku. Berkat dia, semangat hidupku bangkit.
Hari-hariku dipenuhi dengan berbagai kegiatan yang positif. Kepercayaan diriku
tumbuh dengan cepat setelah aku banyak bergaul dengan ibu-ibu. Aku banyak
belajar dari mereka tentang dinamika kehidupan, diantaranya tentang cara
mendengar kawan bicara, cara menyusun kata-kata dalam berbicara, cara
tersenyum, serta cara bersikap terhadap orang lain. .
Berkat pergaulanku
juga, kakak sepupuku memperkenalkan salah seorang temannya kepadaku. Dari
pengakuannya dia bernama Randi. Dia adalah seorang single parent karena ditinggal istrinya ke alam baka. Orangnya
santun dan dewasa. Aku memandangnya sebagai sosok laki-laki yang nyaris
sempurna; memiliki pedoman hidup dan pegangan hidup. Aku tertaik dengan
kepribadian yang dimiliki oleh Randi. Dia seorang pekerja keras. Penghasilannya
lebih dari cukup karena toko bangunan yang dimilikinya berkembang cukup pesat.
Ketaatan beribadahnya juga tidak diragukan lagi. Randi sudah menyatu dalam
pribadi yang utuh, pribadi yang mampu menjalani hidup sesuai dengan panggilan
hati nurani.
Namun demikian, seiring
dengan perjalanan waktu setelah perkenalanku dengan Randi hingga saat ini masih
menyisakan harapan kosong. Hari-hariku hanyalah penantian yang tiada bertepi.
Mungkinkah Randi hanya sekali datang ke rumahku? Pertanyaan itu sering hinggap di
pikiranku. Kadang aku merasa risau dalam penantian. Untuk menghibur diri, aku
pasrahkan semua ini kepada Tuhan. Aku harus mensyukuri apa yang aku miliki saat
ini, berupa mahkota hidupku, si buah hatiku yang sudah tumbuh dewasa.
Firasatku mengatakan,
Randi tidak tertarik kepadaku, walau aku yang sekarang bukan seperti aku
puluhan tahun yang lalu. Aku yang sekarang adalah Anis sebagai manusia biasa
tapi berusaha memberikan sumbangsih yang berarti untuk anak-anaku, untuk orang
lain dan untuk kelompok pengajian ibu-ibu. Aku sudah cukup merasakan bahagia
hidup di tengah-tengah mereka. Akan kukerahkan sisa kebermanfaatan diriku untuk
anak-anak dan masyarakat. Dengan begitu, aku berharap Tuhan akan meridlai
langkah hidupku dan aku bisa mendapatkan yang terbaik untuk kehidupanku. ***
0 komentar:
Posting Komentar