DAPATKAN BUKU "MENYIAPKAN KESUKSESAN ANAK ANDA" DI GRAMEDIA BOOKSTORE DI SELURUH INDONESIA

Jumat, 20 Mei 2016

BATASAN MATERI UKK BAHASA INGGRIS SMP TP. 2015/2016

BATASAN MATERI UKK
BAHASA INGGRIS KELAS VII KURIKULUM 2013

11.       I Love Things Around Me
a.      Things in the classroom.
b.      Things in my bag.
c.      Part of the house and things in my house.
d.      Animals in my school and my house.
e.      Things around my school and my house.
22.       She’s so nice, to describe : People, animals, things.
33.       Descriptive text to describe : How people do, what animals do, what things are for.
44.       Attention, please : Instruction, Prohibition, Notice, warning.
55.       What do they look like? To describe : People, animals, things
66.       Singular and plural noun
77.       Simple Present Tense
88.       What is/are ... like/look like?
99.       Adjective
110.  Pronoun
111.  Preposition
 




BATASAN MATERI UKK
BAHASA INGGRIS KELAS VII KURIKULUM 2006

11.      Descriptive Text
22.      Procedure Text
33.      Greeting Card
44.      Notice
55.      Announcement
66.      Simple Present Tense
77.      Simple Present Continuous Tense
88.      Preposition
99.      Imperrative Sentence
110. Units of Measurement
111. Asking for apology
112. Asking for and Giving Opinion
113. Expressing Like Dislike


BATASAN MATERI UKK
BAHASA INGGRIS KELAS VIII KURIKULUM 2013

1. TEXT : a. DESCRIPTIVE
                   b. RECOUNT
                   c. NARRATIVE
2. COMPARISON
3. STATE VERBS : a. to BE
                                     b. ACTION VERBS
4. TENSES : a. SIMPLE PRESENT TENSE
                        b. SIMPLE PAST TENSE
                        c. PAST CONTINUOUS TENSE
5. SHORT MESSAGE
6. NOTICE




BATASAN MATERI UKK
BAHASA INGGRIS KELAS VIII KURIKULUM 2006

1   1.       Teks Recount
     2.       Teks Narrative
3   3.       Announcement
4   4.       Invitation
5   5.       Notice/sign
6   6.       Letter/email
7   7.       Personal Pronoun
8   8.       Past Tense
9   9.       Past Continous Tense
1 10.  Adjective
1 11.  To infinitive

1 12.  Adverb of Time

Selasa, 22 Maret 2016

ENERGI POSITIF BELAJAR


Ketika seorang anak ditanya “Mengapa kamu kok rajin sekali belajarnya, Nak?”. Atas pertanyaan yang demikian, beragam jawaban akan mereka lontarkan, seperti ; “Saya rajin belajar supaya pandai, supaya naik kelas, supaya lulus ujian, supaya gampang mencari kerja, atau supaya bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri”.
Ragam jawaban seperti tersebut diatas merupakan jawaban yang sangat logis. Bisa dipastikan, sebagian pelajar akan menjawab dengan jawaban-jawaban yang tidak jauh dari itu. Namun, tahukah Anda bahwa kegiatan belajar, seperti membaca buku, menghafalkan, berlatih mengerjakan soal-soal, diskusi, dan lain-lain, ternyata memiliki kandungan prinsip yang sangat dalam?. Kandungan prinsip yang kelak akan sangat berguna bagi kehidupan Anda di masa depan, masa yang penuh dengan kesuksesan dan kebahagiaan.
Sebelum mambaca tulisan ini lebih lanjut, mari kita renungi sebuah cerita nyata berikut : Cerita ini bermula dari hasil observasi saya, ketika saya melakukan acara bali ndeso beberapa waktu yang lalu dan mengunjungi beberapa teman sekolah saya dulu. Saya menjumpai beberapa teman yang saat ini memiliki profesi yang beragam ; ada yang berprofesi sebagai abang becak, ada yang sebagai pemulung, tukang potong rambut, dan ada yang menjadi pedagang kecil-kecilan. Jelasnya, nasib mereka berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Mereka hidup dalam keterbatasan dan himpitan ekonomi.
Puluhan tahun yang lalu saya ingat betul apa yang mereka lakukan ketika mereka bersekolah. Mereka jarang sekali belajar. Berangkat sekolah semata-mata hanya sebagai  kesibukan saja, asal berangkat, dan bertemu dengan teman-temannya, bersenda gurau. Di benaknya nyaris tidak ada gairah untuk menimba ilmu.
Lantas, apa hubungan antara cerita nyata diatas dengan prinsip yang terkandung dalam kegiatan belajar? Anda mungkin sudah mengenal Hukum Kekekalan Energi bukan? Dalam Hukum Kekekalan Energi (HKE) dinyatakan bahwa energi yang dikeluarkan oleh sebuah benda itu tidak akan hilang, tetapi akan berubah dalam ujud yang lain.
Berdasarkan prinsip alam, ternyata Hukum Kekekalan Energi (HKE) berlaku juga terhadap kehidupan manusia, terhadap upaya yang dilakukan oleh manusia. Bahwa energi yang dikeluarkan oleh seseorang ternyata tidak akan sia-sia, melainkan akan kembali dalam bentuk yang lain. Disinyalir, bahwa yang dimaksud dengan bentuk yang lain antara lain berupa kesuksesan hidup di kemudian hari.
Seorang siswa yang jauh-jauh hari sudah menerapkan prinsip Hukum Kekekalan Energi (HKE), yakni sudah melakukan belajar giat, berarti dia sudah mengeluarkan energi sejak dimulainya belajar giat, apakah mulai kelas III SD atau mungkin sejak kelas V SD. Energi yang telah dia keluarkan sejak kelas III SD atau mungkin sejak kelas V SD, selanjutnya merupakan Tabungan Energi (TE). Seorang siswa yang sampai dengan kelas IX SMP belum juga mau belajar giat berarti dia belum memiliki Tabungan Energi (TE).
Contoh yang dialami oleh teman-teman saya sebagaimana yang saya ilustrasikan  diatas adalah contoh dari sebagian kecil orang-orang yang nyaris tidak memiliki Tabungan Energi (TE). Besar kecilnya Tabungan Energi (TE) yang dimiliki seseorang akan berpengaruh pada besar kecilnya Hasil Usaha Tabungan (HUT). Dalam realitas kehidupan, orang-orang yang sukses pastilah orang yang pada awalnya memiliki Tabungan Energi (TE) yang banyak. Sudahkah Anda memiliki TE yang banyak?

Buat anak-anakku dimanapun kalian berada, silahkan direnungkan, “Sudah berapa besarkah Tabungan Energi yang kalian miliki?”. Untuk menjawab pertanyaan ini kalian sendirilah yang lebih tahu. Segeralah singsingkan lengan bajumu, langkahkan kakimu menapaki lorong-lorong panjang berliku menuju gerbang masa depan. Jadikan dirimu sebagai sosok yang bisa membanggakan orang tua dan andalan Indonesia. Milikilah Tabungan Energi yang banyak demi kehidupan kalian di masa depan. Bukankah kalian ingin menjadi orang yang sukses? Tidak ada yang menjawab tidak kan? Nah, mulailah belajar yang giat sekarang juga. Salam “Long life education”.

Sabtu, 04 Juli 2015

SUAMI PENJUAL ROTI


Cerpen Supandi


Roti roti, roti tawar roti manis, Amelia doti roti. Roti roti Roti roti, roti tawar roti manis, Amelia doti roti”. Ratusan kali suara itu melengking, ikut mewarnai kesibukan warga di perumahan Puri Indah. Turut menghangatkan suasana pagi. Suara dari speaker kecil itu tidak disertai ekualiser. Tanpa trebel. Tanpa bas. Bisa dimaklumi, karena bukan disettinguntuk hiburan, tapi setidaknya sangat mewakili Zaenudin dalam menjajakan dagangannya.Roti roti, roti tawar roti manis, Amelia doti roti.Beberapa anak kecil bahkan sudah hafal dengan urutan kata dan nada suara itu.
Kala matahari mulai menapaki kisi-kisi langit di ufuk timur,Zaenudinberkeliling kampung sebagai sebuah rutinitas dan rasa tanggung jawabnya untuk keluarga. Dua kali dalam sehari, Zaenudin menjajakan rotinya ke pelosok kampung dan perumahan. Pagi dan sore. Seperti sudah menemukan rute, Zaenudin selalu mengakhiri perjalanannya di masjid Baitut Taqwa di sudut kampung yang cukup padat penduduk. Disamping masjid gemercik air sungai kecil cukup meneduhkan suasana hati. Masjid itu dikelilingi oleh rerimbunan pohon ketapang dan beberapa pohon pinicium. Zaenudin biasa merebahkan diri sejenak di teras masjid sesaat setelah melaksanakan shalat dhuha. Kebiasaan yang sudah menyatu.
Angannya melayang lalu hinggap di sebuah rumah setengah jadi yang letaknya tidak jauh dari Masjid Baitut Taqwa. Tergambar di imajinasinya, seorang perempuan berkulit putih menanti kehadiran Zaenudin di rumahnya di Karangrau. Parsiyem. Awalnya, Parsiyemadalah sosok wanita desa yang lugu. Namun semenjak kepulangannya dari negeri orang, sepertinya dia sedikit terkontaminasi dengan kebudayaan luar. Bau parfum dan dandanan ala ABG seperti sudah menjadi warna dalam hidupnya. Para tetangga bilang, Parsiyem itu seperti orang kota. Sebagian laki-laki tidak bosan untuk memandang lekuk tubuhnya yang bersih.
“Ini rejeki dari Allah, Mi. Hasil jualan roti hari ini.”Zaenudin menyeka keringatnya yang belum kering.
“Taruh saja diatas bifet, Bi.” Kata Parsiyem dingin. Parsiyem nampak asyik ngobrol dengan tetangga sebelah. Di balai rumahnya yang setengah jadi, Zaenudin meluruskan kakinya dari atas kursi yang terbuat dari anyaman ban mobil. Senja mulai menapaki balik rerimbunan pohon desa. Terdengar desing air yang mendidih dari arah dapur. Zaenudin bangkit untuk menuangkan air panas ke dalam gelas berisi gula teh. Dua buah roti coklat manis masih tergeletak diatas tatakan.
Kumandang adzan magrib bersahutan, membahana menerjang kisi-kisi ruang hampa.Zaenudin menyeruput teh yang masih mengepul. Terkesan sangat segar. Beberapa teguk teh hangat cukup untuk membatalkan puasa sunahnya.
“Abi berangkat ke surau ya, Mi.”
“Iya, Bi.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’ailkum salam.”
Matahari di ufuk barat sudah melewati batas antara siang dan malam. Beberapa kelelawar bersliweran di awang-awang dan menghilang dibalik pepohonan. Udara lembab terasa menyentuh pori-pori. Dua ekor katak melompat beriringan, dan bersembunyi dibalik semak-semak. Zaenudin tidak sempat shalat sunat dua raka’at, mungkin karena tersita sedikit waktunyauntuk berbuka puasa. Pak Jamhuri menyambutnya dengan Iqamah ketika Zaenudin tiba di surau.
Sayup-sayup terdengar gemrengseng suara tadarus alquran dari arah pondok pesantren. Rumah Zaenudin berjarak sekitar dua ratus meter ke ponpes. Lingkungan ponpes menghidupkan suasana malam. Zaenudin mulai merasakan lemas. Dua buah roti masih tergeletak diatas tatakan. Rupanya mata Zaenudin tidak tertuju ke roti.
“Makan sama apa, Mi?” Zaenudin membuka tudung saji yang terbuat dari bambu. Hanya ada bakul berisi nasi.
“Njenengan ingin makan sama apa, Bi. Aku belum masak. Bingung mau masak apa, jadinya ngga masak.”
“Oh, ya sudah, abi mau menggoreng telur saja. Umi sendiri bagaimana? Apa sekalian abi gorengkan?”
“Ngga usah, Bi, tadi aku sudah makan soto, dikasih sama Siti. Masih kenyang.”
Malam itu begitu sepi seperti malam-malam biasanya. Hanya suara nyam-nyam yang menemani Zaenudin makan. Begitu pun dengan suara TV. Parsiyem lebih menyukai berteman dengan Android barunya daripada menonton televisi. Sesekali senyumnya tersimpul. Entah karena apa. Sepertinya ada sesuatu yang lucu dari layar Androidnya. Sesekali Zaenudin melirik tubuh Parsiyem yang berbeda dari tiga tahun sebelumnya. “Cantik dan bersih” pikirnya dalam hati.
Kekhawatiran muncul dari benak Zaenudin ketika Parsiyem semakin asyik dengan dunianya sendiri. Semacam ada sekat diantara mereka. Beberapa kali Zaenudin menepis pikiran yang aneh-aneh untuk kembali berpikir jernih. Kembali ke Yang Maha Menjalankan Hidup. Satu hal yang menggelisahkan Zaenudin adalah kerinduannya kepada kedua anaknya.
“Abi kok kangen sama Uswah dan Azwar, Mi. Lagi apa mereka sekarang? Apakah mereka baik-baik saja?” Zaenudin nguda rasa kepada istrinya. Unek-unek Zaenudin tidak serta merta ditanggapi oleh Parsiyem. Bahkan sepertinya ia tidak begitu jelas mendengar kata-kata suaminya.
“Umii...”
“Eh, iya bi, ada apa?”
“Abi kangen sama Uswah dan Azhar, Mi.”
“Ooh... kalau kangen, obatnya tuh ketemu, Bi.”
“Apakah mereka baik-baik saja ya, Mi?”
“Abi jangan berpikir yang macam-macam ya. Uswah dan Azhar pasti baik-baik saja. Mereka berdua pasti lebih nyaman tinggal bersama kakek dan neneknya. Emang abi meragukan kasih sayang bapak dan ibuku? Iya?”
“Bukan, Mi. Bukan itu maksud abi. Maksudku....”
“Halaaah......sudahlah. abi jangan galau gitu. Anak-anak kita itu lebih enak hidup disana, Bi, daripada hidup bersama kita. Sandangnya? Makannya? Keperluan sekolahnya? Disana itu terjamin, Bi. Umi tidak bisa membayangkan kalau mereka disini, mengandalkan abinya yang penghasilannya hanya beberapa rupiah saja.” Kata-kata Parsiyem mengalir deras. Zaenudin hanya menelan ludah. Zaenudin seperti pemain catur yang terjebak skak ster.
Zaenudin bangkit dari kursi meubel. Dibiarkannya Parsiyem memijit-mijit barang kesayangannya. Andoid. Kedua kakinya terjulur di meubel panjang. Ada keindahan ketika Zaenudin memandangnya sekilas. Kakinya yang putih tidak tertutup kain. Pemandangan itu disuguhkan khusus buat Zaenudin, namun Zaenudin geleng kepala. Zaenudin lebih memilih merpati itu hinggap. Bayang-bayang tramumatis masih menghantui hatinya. Semenjak kepulangannya dari Taiwan, Parsiyem seperti barang mahal. Zaenudin tidak mau gegabah. Bisa saja dia kena damprat untuk yang kesekian kalinya jika merpati putih itu belum lapar. Zaenudin terus mencoba mengendalikan hasrat kelelakiannya jika tidak ingin kena semprot.
Sebuah sajadah panjang terbentang di sebuah ruangan belakang bifet. Tempat itu adalah tempat yang paling nyaman bagi Zaenudin. Semangatnya bangkit ketika kedua matanya usai menelusuri mushaf-mushaf kalam Ilahi. Terlebih jika dahinya ditempelkan dengan ketat di atas sajadah. Darah mengalir ke kepala, disitulah rasa nyaman terbangun. Zaenudin sangat menyukai kebiasaan itu. Bersujud kepada Tuhan.
Sebuah bayangan berkelebat dari arah belakang tubuh Zaenudin. Bayangan itu tertangkap ketika Zaenudin sedang sujud. Bayangan itu berlalu ketika Zaenudin menoleh ke belakang. Dua kali Parsiyem mondar mandir, seperti akan mengutarakan hasrat. Sunyinya malam sangat memungkinkan sesuatu yang bergerak mudah terdengar. Demikian pula bunyi langkah Parsiyem pun terdengar oleh Zaenudin.
“Lho...abi mau kemana?” Parsiyem mengerutkan dahi ketika yang ditunggu malah menuju ke belakang.
“Mau nggoreng ubi, Mi.”
“Ini orang si bagaimana.... ditunggu-tunggu malah kabur.” Parsiyem seperti ndoro putri yang kemauannya tidak boleh ditawar. “Abiii....”
Zaenudin belum jadi menyalakan kompor. Dia lebih menuruti rasa penasarannya. Menghampiri merpati putih yang sudah menunggunya di balai tengah. Daster warna merah semakin bersinar karena kontras sekali dengan kulit putih yang dimiliki oleh merpati itu. Zaenudin menelan ludah. Jari-jari tangan kanannya meremas kuat-kuat lengan kanannya. Dengan begitu dia bisa mengendalikan degup jantungnya yang timbul tenggelam.
“Umi heran sama abi dech.” Parsiyem mengawali pembicaraan itu dengan jurus mautnya. Zaenudin mengalihkan pandangannya ke dinding. Tangan Parsiyem melambai. Bangkit. Dan lambaiannya hanya beberapa senti ke muka Zaenudin. “Yang memgajak bicara itu umi, Bi...bukan tembok.” Lanjut Parsiyem.
“Itu ada cecak lagi berkejaran, Mi.”
“Halaah...alasan. emangnya cecak itu lebih menarik daripada umi ya?”
“Ngga menarik si...tapi kalau melihat yang lain justru abi bisa tertarik.”
“Aneh. Tertarik bagaimana maksudmu?”
“Tertarik sama merpati putih.”
“Hahaha...ada-ada saja kamu ini, Bi.”
“Abi mau nggoreng ubi dulu ya...”
“Eh eh...stop stop... abi jangan begitu. Sini, duduk disamping umi!!!.” Lagi-lagi Zaenudin sendiko dhawuh apa kata ndoro putri. Getaran-getaran nurani manusiawinya semakin kencang. Parsiyem yang sekarang tampak berbeda dengan ketika masih menjadi wong ndeso. Aneh. Itu yang dirasakan oleh Zaenudin. Daya tarik sebagai kaum hawa lebih menantang dari sebelumnya.
Zaenudin menyandarkan tubuhnya kuat-kuat ke sandaran meubel. Kekontrasan antara warna merah daster dengan kulit tubuh Parsiyem mengalirkan energi yang sulit dikendalikan. Malam semakin surut. Sunyi bergelayut dalam dinginnya malam. Parsiyem mengutarakan isi hatinya. Zaenudin menanggapinya dingin. Surutnya malam tidak seiring dengan gejolak kelelakiannya. Zaenudin surut. Sebuah permintaan yang sama sekali bertentangan dengan hati nurani Zaenudin. Apa yang dibayangkannya selama kurang lebih tiga bulan, kini benar-benar nyata. Istri kebanggaannya ingin terbang jauh. Parsiyem kembali akan merantau ke negeri orang. Taiwan.
“Abi tidak mengijinkan umi pergi.” Kali ini nada bicara Zaenudin tidak seperti biasanya. Ada semacam dorongan untuk bersikap tegas. Namun lagi-lagi ketegasan Zaenudin tidak berarti bagi istrinya. Sikap ndoro putri-nya masih sangat kental. Perdebatan kecil terjadi. Harapan yang saling berlawanan arah sama-sama kuat beradu. Bayang-bayang kelabu kembali menghantui jiwa Zaenudin. Keinginannya untuk berlama-lama hidup dalam keharmonisan rumah tangga kabur. Suram. Dengan berat hati Zaenudin menandatangani Surat Ijin Suami. Sementara dari wajah Parsiyem terpancar aura kuat. Aura ketetapan hati.
Satu minggu lagi. Jangka waktu yang sangat singkat bagi Zaenudin. Hari-hari ke depan adalah kosong. Zaenudin lebih banyak menundukkan pandangan. Enggan memandang dunia. Zaenudin lebih memilih mendekatkan diri pada keajaiban alam. Sesuatu yang tersembunyi dibalik teka-teki kehidupan yang mampu berpihak kepadanya.
Secara jiwa dan raga, Zaenudin terbilang sebagai sosok yang kuat. Namun nampaknya kekuatan manusia sungguh terbatas. Zaenudin merasakan tidak enak badan. Mungkin karena hujan yang mengguyur Perumnas Puri Indah tadi pagi. Zaenudin menyelimuti tubuhnya dengan selimut made in Taiwan. Aura hangat mengalir ke seluruh tubuhnya.
“Umi...tolong ambilkan air putih. Mudah-mudahan dengan obat warung ini abi bisa cepat sehat kembali.”
“Abi...jadi orang itu jangan cengeng. Biasakan apa-apa sendiri, biar nantinya tidak merepotkan orang lain. Ambil sendiri aja, sekalian biar gerak tubuhmu.”
Terdengar nada dering Soldier of Fortune dari hp Parsiyem. Nampak di screen Android-nyatertulis nama “Siti”. Obrolan hangat terjadi antara Parsiyem dan Siti. Sesekali terselip tawa lepas diantara keduanya. Kali ini Parsiyem mengenakan celana pendek jeans warna biru. Kedua kakinya dilipat. Parsiyem menaruh hp-nya di samping map berwarna kuning yang berisi berkas-berkas persyaratan ke luar negeri.
Parsiyem sudah selesai mengurus berkas-berkas yang diperlukan. Semuanya sudah siap. Sudah tersusun rapi dalam map. Dalam hitungan menit setelah minum obat warung, Zaenudin terlelap. Parsiyem penasaran. Didekatinya suami yang pendiam itu. Telapak tangannya ditempelkan ke dahi Zaenudin. “Astaghfirullah, ya Allah, panas sekali...”. Parsiyem mencoba menurunkan panas dengan mengompres suaminya. Dengan lembut ia menempelkan kain wol ke dahi suami. Zaenudin terbangun. Namun rupanya dia menikmati aliran sejuk air kompres di dahinya.
Zaenudin membuka matanya agak lebar. Heran. Ada pandangan aneh tersimpul dari wajah Parsiyem. “Kamu kenapa, umi? Ada apa kok kamu memandangiku begitu tajam?” Zaenudin bertanya dengan nada polos. Parsiyem diam. Zaenudin semakin penasaran. Dia mencoba mengulangi pertanyaan tadi. Tapi istrinya belum juga menjawab. Kali ini wajah Parsiyem begitu dekat dengan wajah Zaenudin. “Umi...kamu itu kenapa? Kamu sehat kan? Jangan ikut sakit ya... kalau kamu sakit nanti bagaimana? Sebentar lagi kamu kan mau terbang?”.
“Umi ngga jadi terbang, Bi.”
Astaghfirullah...asta...subhanallah...”
“Halaah...ngga segitunya kalee... aja gumunan, aja kagetan.”
“Ummi...kamu jangan ngledhek. Abi ini benar-benar heran, kamunya malah begitu?”
“Ngledhek bagaimana? Ummi seiruskok.”
“Serius.”
“Se i rus.”
“Bukan se i rus, Mi. Yang betul serius.”
“Iya iya, ser ser...serius us us...” Parsiyem menyolek hidung Zaenudin.
Parsiyem merapikan kembali selimut yang tersingkap. Kebahagiaan Zaenudin kali ini terasa lebih besar dari kenikmatan-kenikmatan yang dianugerahkan oleh Tuhan Sang Penyayang.
Keputusan Parsiyem yang sangat berani itu tentu tidak berjalan mulus. Berbagai cemoohan. Umpatan. Secara bertubi tubi tertuju kepadanya. Hampir semua orang-orang dekatnya merasa dikecewakan. “Kamu ini bagaimana, Par? Rencana bagus masa dibatalkan? Apakah kamu tidak berpikir ke depan? Perginya kamu merantau kan bukan untuk bersenang-senang tapi untuk mencari uang? Perginya kamu ke luar negeri kan untuk kepentingan keluarga? Kepentingan anak-anak? Untuk biaya sekolah anak-anak?”
Parsiyem benar-benar tersudut. Parsiyem harus menghadapi kelima temannya yang semula akan terbang bersama. Tidak hanya itu. Cemoohan yang berbau kecewa juga datang dari adiknya; “Tolong dipikirkan lagi dengan akal sehat, Yu. Dipertimbangkan lagi. Aku sangat berharap, yayu tidak membatalkan keberangkatan yayu ke Taiwan. Keberangkatan yayu yang pertama itu belum apa-apa. Baru untuk bikin rumah setengah jadi kan? Masa depan anak tolong dipikirkan lagi. Aku tahu, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga itu adalah semulia-mulianya pekerjaan. Tapi kalau memang yayu ingin menjadi ibu rumah tangga, kenapa memilih kang Zaenudin sebagai suamimu? Kenapa tidak memilih menjadi istrinya pak Kades saja? Bukankah pak Kades dulu juga suka sama yayu? Aku tidak rela kalau yayu sengsara karena mengandalkan penghasilan kang Zaenudin si penjual roti itu.”
Parsiyem mematung. Zaenudin bisa mendengar dan memaklumi nasehat adik iparnya. Tidak ada alasan untuk tersinggung. Zaenudin nampak ikhlas. Pasrah. Tegar. Demikian pula dengan Parsiyem. Dia ikhlas dan mendengarkan nasehat adiknya dengan penuh perhatian. Tak ada sepatah katapun yang bisa dijadikan alasan. Dari awal sampai akhir hampir semua yang dikatakan oleh adiknya masuk akal.
“Bagaimana Yu? Jadi berangkat kan? Lihatlah kedua anakmu!. Lihatlah grobogan roti itu!. Lihatlah kang Zaenudin si penjual roti itu!. Lihat jauh ke depan!. Masa depan anak-anakmu!.
Parsiyem benar-benar tersudutkan. Butir-butir air mata perlahan membasahi kedua kelopak matanya.
“Yayu menangis? Waduh, maaf maaf, Yu. Aku mohon, maafkan atas kelancanganku, Yu! Aku tidak bermaksud jelek. Aku sayang yayu. Bahkan nyawapun akan aku relakan asal yayuku yang cantik ini hidup bahagia.” Parsiyem semakin mengguguk. Air matanya semakin deras mengalir.
“Tidak, de. Kamu tidak seratus persen salah. Yayu tidak marah sama kamu. Yayu menyesal. Sangaaat menyesal.”
“Lho...menyesal kenapa, Yu?”
“Selama ini yayu meremehkan orang yang sangat mulia dimata Allah. Yayu telah menyia-nyiakan orang yang rajin beribadah. Yayu jarang sekali menyiapkan makanan buat orang yang selalu membangunkanku shalat malam. Ya Allah, ampunilah hambamu yang hina ini!. Abi, maafkan istrimu!. Hukumlah istrimu ini seberat-beratnya karena telah meremehkanmu!. Abi, maafkan aku!. Ya Allah, ampuni aku! Ampuni hamba yang tidak pernah menyiapkan makanan buat sahur dan buka puasa Senin-Kamis suamiku.”
“Insya Allah, Allah mengampuni dosa-dosamu, Yu. Dan, Allah juga pasti tahu niatmu berangkat ke Taiwan adalah untuk membantu suami, kan?”
“Tidak, de. Yayu tetap tidak akan berangkat. Hidup yang hanya sebentar ini akan yayu manfaatkan untuk mendapatkan ridlo suami. Yayu yakin, suatu saat nanti Allah akan meluaskan rejeki untuk keluarga kami. Hidup matiku akan aku persembahkan buat suami dan anak-anak. 

Sabtu, 16 Mei 2015

SUAMIKU TIDAK MENCINTAIKU LAGI


Seorang perempuan datang kepada konsultan pernikahan, “Suami saya sepertinya sudah tidak mencintai saya lagi. Dia sering pulang malam. Entahlah, tapi mungkin dia punya wanita lain. Saya ingin cerai dengannya. Bagaimana pendapat Anda?”

Konsultan pernikahan berkata, “Mungkin memang itu yang diinginkan suami Anda. Bercerai. Dia tidak ingin dia yang memintanya jadi dia membuat keadaan agar Anda yang meminta cerai dan bukan dia. Lalu dia bisa bersama wanita lain itu. Kalau saya punya cara lain untuk membalasnya, apakah Anda mau?”

Perempuan itu mengangguk. Dia tertarik dengan apa yang direncanakan konsultan itu.
“Mulai sekarang, percantik diri Anda lagi. Pergilah ke salon, rawat rambut, kulit, dan wajah Anda. Jagalah berat badan Anda agar lebih proporsional. Belilah pakaian-pakaian bagus yang sekiranya bisa membuat suami Anda tertarik kembali kepada Anda. Bersikaplah baik kepadanya. Semalam apapun dia pulang ke rumah. Masaklah masakan favoritnya setiap hari. Intinya buat dia jatuh cinta lagi kepada Anda. Dan jika itu sudah terjadi, ceraikan dia secepatnya. Rencana yang bagus, bukan?”

Perempuan itupun setuju dengan saran kosultannya. Selain melakukan semua hal untuk membuat suaminya menyukainya lagi, dia juga harus memberi laporan perkembangan rumah tangganya kepada konsultan itu agar rencana bisa berjalan dengan baik.

“Sesuai rencana, dia mulai pulang lebih awal.” lapor perempuan itu dua minggu kemudian.
“Wah, itu bagus sekali. Tepat, sesuai dengan rencana kita. Lanjutkan!” kata konsultan.

Kemudian, selama dua minggu berikutnya sang suami mulai lebih baik terhadapnya, lebih lembut, lebih mencintai. Sepertinya rencana itu berjalan sangat lancar.

Tapi kemudian perempuan itu tidak pernah datang atau melaporkan perkembangan lagi selama sebulan lebih. Penasaran dengan apa yang terjadi, konsultan menelponnya, “Apa yang terjadi? Anda belum memberitahu. Apakah dia jadi lebih baik?”
“Dia sangat baik sekarang.”
“Jadi dia lebih lembut dan baik kepada Anda?”
“Iya, benar sekali.”
“Apakah dia sudah jatuh cinta lagi kepada Anda?’
“Sepertinya iya, karena dia sangat perhatian kepadaku sekarang.”
“Kalau begitu ini saat yang tepat untuk membalas dendam Anda kepada suami Anda. Ayo, ceraikan dia sekarang!”
“Oh, tidaaak! Jangaaaan! Kami saling mencintai.”
Jadi, apakah rencana mereka berhasil? Bagi si konsultan, tentu saja sangat berhasil, karena memang itu rencana semulanya, yakni mempertahankan perkawinan perempuan itu dengan suaminya.

Rabu, 18 Maret 2015

Bu Guru Kelas Lima SD-ku Seperti Bundaku



Di suatu Sekolah Dasar, ada seorang guru yang selalu tulus mengajar dan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh membuat suasana kelas yang baik untuk murid-muridnya.
Ketika guru itu menjadi wali kelas 5, ada seorang murid yang selalu berpakaian kotor dan acak-acakan. Anak ini malas, selalu terlambat, dan selalu mengantuk di kelas. Ketika murid yang lain mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan atau mengeluarkan pendapat, anak ini tak pernah sekali pun mengacungkan tangannya.
Guru itu berusaha untuk bisa menyukai anak ini, tapi ternyata tak bisa. Dan entah sejak kapan, guru itu pun menjadi benci dan antipati terhadap anak ini. Di rapor tengah semester, guru itu pun menulis apa adanya mengenai keburukan anak ini.
Suatu hari, tanpa sengaja, sang guru melihat catatan rapor anak ini saat kelas 1. Di sana tertulis, “Ceria, menyukai teman-temannya, ramah, bisa mengikuti pelajaran dengan baik, masa depannya penuh harapan.
Membaca catatan itu sang guru membatin, “Ini pasti salah, ini pasti catatan rapor anak lain”, sambil melanjutkan melihat catatan berikutnya rapor anak ini.
Di catatan rapor kelas 2 tertulis, “Kadang-kadang terlambat karena harus merawat ibunya yang sakit-sakitan.”
Di kelas 3 semester awal, “Sakit ibunya tampaknya semakin parah, mungkin terlalu letih merawat, jadi sering mengantuk di kelas.” Di kelas 3 semester akhir, “Ibunya meninggal, anak ini sangat sedih, terpukul, dan kehilangan harapan.”
Di catatan rapor kelas 4 tertulis, “Ayahnya seperti kehilangan semangat hidup, kadang-kadang melakukan tindakan kekerasan kepada anak ini.”
Terhentak guru itu oleh rasa pilu yang tiba-tiba menyesakkan dada. Dan tanpa disadari dia pun meneteskan air mata. Dia merasa bersalah karena telah mengecap dan memberi label anak ini sebagai pemalas, padahal si anak tengah berjuang bertahan dari nestapa yang begitu dalam.
Terbukalah mata dan hati sang guru. Selesai jam sekolah, guru itu menyapa si anak, “Bu guru sampai sore di sekolah, bagaimana kalau kamu belajar mengejar ketertinggalan? Kalau ada yang tidak kamu mengerti, nanti ibu ajari.”
Mendengar suara lembut guru wali kelasnya, murid ini tersenyum, wajahnya sumringah, ada rasa bahagia terpancar di wajahnya. Sejak itu, si anak belajar dengan sungguh-sungguh di sekolah.
Beberapa hari kemudian, sang guru merasakan kebahagiaan yang tak terkira ketika si anak untuk pertama kalinya mengacungkan tangannya di kelas. Kepercayaan diri si anak kini mulai tumbuh lagi.
Di kelas 6, guru itu tidak lagi menjadi wali kelas si anak. Ketika kelulusan tiba, guru itu mendapat selembar kartu dari si anak. Di kartu itu tertulis, “Bu guru baik sekali seperti bundaku. Bu guru adalah guru terbaik yang pernah aku temui.”
Enam tahun kemudian, kembali guru itu mendapat sebuah kartu pos dari si anak. Di sana tertulis, “Besok hari kelulusan SMA. Saya sangat bahagia mendapat wali kelas seperti Bu Guru waktu kelas 5 SD. Karena Bu Guru-lah, saya mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di kedokteran.”
Sepuluh tahun berlalu, kembali guru itu mendapatkan sebuah kartu. Da sana tertulis, “Saya menjadi dokter yang mengerti rasa syukur dan mengerti rasa sakit. Saya mengerti rasa syukur karena bertemu dengan Ibu Guru dan saya mengerti rasa sakit karena saya pernah dipukul ayah saya.
Kartu pos itu diakhiri dengan kalimat, “Saya selalu ingat Ibu Guru saya waktu kelas 5. Bu Guru seperti dikirim Tuhan untuk menyelamatkan saya ketika saya sedang jatuh waktu itu. Saya sekarang sudah dewasa dan bersyukur bisa sampai menjadi seorang dokter. Tetapi guru terbaik saya adalah guru wali kelas ketika saya kelas 5 SD.”
Setahun kemudian, kartu pos yang datang adalah surat undangan pernikahan. Di sana tertulis satu baris, “Mohon Ibu berkenan duduk di kursi Bunda di acara pernikahan saya.” Guru pun tak kuasa menahan tangis haru dan bahagia.

(Dicuplik dari buku “A Tribute” karya Jamil Azzaini halaman 149-152)

Kamis, 01 Januari 2015

Tipe Wanita Yang Tidak Disukai Pria


Ada beberapa tipe wanita yang tidak disukai oleh pria karena dianggap merepotkan mereka dalam menjalani hidup bersama.

1.      Tipe Tuan Puteri
Layaknya mirip tuan puteri, ciri-ciri wanita seperti ini adalah manja, egois, senang disanjung dan senang dilayani, maunya hidup senang terus, kalau susah langsung down. Tidak tahan hidup susah.

2.      Tipe Paranoid
Bawaannya curiga melulu. Hand phone Anda akan diperiksa, dompet Anda akan digeledah, sedikit-sedikit cemburu, mungkin juga Anda akan diinterogasi seperti polisi menginterogasi maling. Wanita tipe ini biasanya sangat posesif, merasa memiliki Anda tetapi terlalu berlebihan.

3.      Tipe Pengeluh
Wanita tipe ini sangat rapuh. Sedikit saja menghadapi masalah dapat membuatnya menangis sejadi-jadinya. Ia senang mengeluh kepada Anda untuk menyelesaikan masalahnya.

4.      Tipe Penyiar Radio
Kerjanya tukang nge-gosip. Ada-ada saja ulahnya yang membuat anda geleng kepala. Hidupnya menjadi sepi jika tidak menjelek-jelekkan orang lain.

5.      Tipe Gunung Es
Tipe wanita seperti ini biasanya susah diajak bicara. Bibirnya pun jarang menyunggingkan senyum. Sulit untuk mengajaknya bercanda, apalagi menggondanya.

Sumber : Buku Makhluk Unik & Ajaib Itu Bernama Wanita (Riz’ma 2009, hal 6-7)

Senin, 29 Desember 2014

Seberkas Cahaya dibalik Fajar Subuh


Cerpen : Supandi

“Cintaku bisu, bagai batu besar di dasar sungai nan dangkal. Kau begitu dingin. Kau biarkan rasa ini merana, menusuk relung hati yang paling dalam. Kau biarkan aku tenggelam dalam impian yang semakin tiada bertepi. Kamu asyik dengan dirimu sendiri. Tak sekalipun tatapan mataku kau balas dengan harapan. Mengapa jeritan cintaku tumbuh kembali disaat usiaku yang sudah tidak muda lagi?

“Dorrr....” Rasmi mengagetiku dari belakang. Aku menahan diri. Sebagai orang yang sudah berumur, aku mencoba untuk bersikap biasa. Aku khawatir lamunanku akan terbaca oleh Rasmi. “Aneh...baru saja mudik ketemu suami kok melamun? Kenti...Kenti. habis berantem ya?” Ledek Rasmi.
“Ngga kok, Cuma masalah kecil” sepertinya aku berkesempatan untuk mengalihkan perhatian Rasmi agar tidak menjurus ke hal yang sedang aku rasakan.
“Masalah kecil kok dibawa-bawa kesini? Emang siapa yang sudah bikin masalah sama kamu, Ken? Suami?” Rasmi terus mendikte aku.
“Engga....eh, bukan”
“Halah... kaya bicara sama anak kecil aja kamu. Anak kecil yang lugu.”
“Sudah...sudah...ngga usah dibahas!”
“Tapi kalau melihat gelagatmu, sepertinya bukan masalah keluarga dech. Lagian, kurang apa coba suamimu? Uang....? servis...? semua sudah kamu cukupi.” Kali ini Rasmi lagaknya seperti intel. Intel yang sudah banyak makan asam garam, yang pandai menangkap gelagat orang. Aku seperti tersangka dibuatnya.
Dan memang benar. Aku tidak mungkin berkilah tentang suami. Karena suamiku nyaris tidak pernah bikin masalah. Apapun yang aku lakukan. Apapun yang aku katakan, dia selalu nurut. Aku bahkan merasa kehilangan kendali. Barangkali itu semua karena aku selalu pulang ke suami secara rutin sebulan sekali dengan membawa bukti. Aku selalu mengutamakan pelayanan biologis. Demikian pula, aku selalu pulang dengan membawa sejumlah uang. Tetanggaku bilang, suamiku itu orang yang ketrima. Tidak perlu bekerja tapi segalanya sudah terpenuhi. Istri, rumah, sandang, dan pangan, semua datang sendiri. Apapun yang dikatakan oleh orang, aku anggap angin lalu saja. Aku harus legawa, karena hal ini mungkin sudah suratan, aku yang harus di depan, mencari nafkah buat keluarga.
Lagipula, aku menyadari bidang pekerjaan sebagai penjual jamu gendongan lebih pantas jika dijalani oleh orang perempuan. Walau tidak dipungkiri sebenarnya masih banyak jalan rejeki yang bisa dicari oleh manusia. Termasuk oleh suamiku. Tapi jika suamiku punya pemikiran sendiri, berdiam diri di rumah, mengandalkan penghasilan dari aku, bagiku tidak perlu dipermasalahkan. Toh, ini semua demi keluarga.
Perjalanan yang cukup panjang dari kampung halaman menuju tanah rantau di Ujung Kulon Pulau Jawa kali ini cukup melelahkan. Tidak seperti biasanya. Kali ini ada sedikit rasa enggan. Namun aku harus menyingkirkan perasaan enggan karena aku tidak mau mengecewakan pelanggan.
Kemunculan Gofar telah membuatku enggan. Mengapa aku tiba-tiba bertemu dengannya? Entahlah. Aku sendiri bingung dengan diri sendiri. “Siapakah aku?” Jawabannya cukup sulit aku temukan. Namun dibalik itu semua, setidaknya aku bisa menemukan makna dari cinta. Tidak bisa dipungkiri, aku cinta Gofar. Tapi... kok lucu ya? Aku mencintai seseorang dalam kondisi yang tidak tepat. Mungkin lebih tepatnya, aku dulu pernah mencintai Gofar. Itu sudah lama sekali. Sekarang, seharusnya rasa itu sudah tidak ada lagi. Aneh dan tidak pantas. Lagipula, aku juga sudah milik Misman, suamiku.
Gofar sekarang sudah menjadi seorang piyayi. Dan, aku hanya bisa nyawang. Rasa cinta yang tumbuh sejak SMP benar-benar hanya sebatas fatamorgana. Impianku untuk menjadi istri piyayi pupuslah sudah. Aku rupanya harus ikhlas menjalani hidup sebagai pedagang jamu gendongan. Aku harus senang dengan kebahagiaan Gofar. Barangkali inilah yang sering dikatakan oleh orang. Cinta tidak harus memiliki. Walau aku setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa cinta itu harus memiliki. Toh, itu bisa terwujud jika ada nilai perjuangan. Pendapat yang pertama-lah yang klop dengan diriku, sebab aku tidak berjuang untuk cinta.
Pulang dari berdagang aku merasakan seluruh persendian tulang-tulangku linu. Heran. Tiba-tiba saja jalan yang biasa aku lewati menjadi asing. Tanah tempatku berpijak seluruhnya berlumpur. Aku berjalan terseok-seok menyusuri jalan setapak dan sangat licin. Pinggangku pegal. Botol-botol kosong yang aku gendong saling berbenturan satu dengan yang lain. Aneh. Bunyinya memekakkan telinga, seakan mereka minta turun dari gendonganku.
Ya Tuhan. Aku takut. Mengapa Gung liwang-liwung?. Aku tak melihat ada seorang manusia di tempat ini. Aku berjalan seorang diri di tengah hutan belantara. Di sebelah kananku hutan belantara, sementara di sebelah kiriku jurang yang menganga. Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba saja aku tersasar ke tempat yang sama sekali asing bagiku? “Rasmi, tolonglah aku! Tolonglah aku, Rasmi! Tolong...”
Ya Tuhan. Aku lelah sekali. Sungguh malang nasibku. Perjuanganku menghidupi suami dan tiga orang anak sungguh sangat berat. Sampai kapan aku harus berjalan hingga sampai di perkampungan penduduk? Pinggangku pegal. Beban yang aku gendong semakin berat. Sangat berat. Haruskah aku turunkan botol-botol ini?
Di depan kulihat hamparan sawah. Setitik harapan mampir di pikiranku. Setidaknya sudah terasa ada tanda-tanda kehidupan. Aku menemukan bekas jejak kaki manusia di jalan bercabang. Dua orang lelaki berjalan naik ke gunung. Aku coba untuk memanggilnya. Mereka menoleh, tapi mereka tidak menghiraukan aku.
Satu lagi seorang lelaki bercaping naik ke pematang. Rupanya dia hendak pulang setelah mengerjakan sawahnya. Lelaki itu menoleh ketika aku panggil. Dan, astaga! “Mas Misman...” Iya, jelas sekali, dia mas Misman. “Mas Misman...! ini aku, Kenti, mas...! tolong mas, aku ngga kuat lagi, mas....aku ngga kuat lagi.” Mas Misman menoleh kearahku. Aku lega. Tapi seketika aku sangat kecewa. Mas Misman tidak menghampiriku. Sebaliknya, Mas Misman justru pergi meninggalkanku. “Mas Misman jahat...mas Misman jahat....”
“Astaga..!” Tubuhku terhentak dari tempat tidur. Kedua mataku terjaga. Bulat. Keringat keluar dari pori-pori tubuhku. Lagi-lagi aku bermimpi buruk. Aku gelisah. Aku tidak nyaman dibuatnya.
“Rasmi...kamu kok belum tidur?” aku mendapati Rasmi masih sibuk meracik kunir dan asem di depan tv.
“Belum tidur bagaimana? Tuh lihat jam dinding!”
“Ya ampun, sudah jam empat to?”
“Ada apa, kok kelihatan panik mukamu? Mimpi buruk ya?”
“Kok tau?”
“Halah...kok tau, kok tau...apalagi kalo bukan mimpi buruk? Wajahmu ketakutan gitu.”
“Iya, Ras, aku baru bermimpi. Seram sekali.”
“Makanya, kalau mau tidur gosok gigi dulu!”
“Apa? Gosok gigi? Apa hubungannya?”
Rasmi tertawa kecil. Sementara itu aura pagi mulai terasa. Alunan qiroatil Quran dari speaker masjid bergema lembut, menembus dinding alam. Menjemput subuh. Dulu saat aku remaja, terutama ketika aku dililit kesengsaraan, hatiku bergetar ketika mendengar bacaan Al-quran. Sekarang, hatiku bagai batu. Bergemingpun tidak. Jiwaku telah mengembara jauh sekali. Kegelisahan selalu mewarnai setiap langkah hidupku. Aku kecewa dengan kisah cintaku bersama Gofar, hingga aku khilaf. Aku terlalu memaksakan diri untuk memamerkan keperkasaanku dalam hal materi kepada keluarga.
“Rasmi, menurutmu mimpiku semalam itu pertanda apa ya?”
“Wah, kalau sesuai dengan yang kamu ceritakan, mimpimu itu pertanda bahwa mungkin kamu harus melakukan sesuatu dech.
“Aku harus melakukan sesuatu?”
“Iya.”
To the point aja ya. Emang aku harus nglakuin apa?”
“Nah, itu yang tahu orang pintar. Aku kan belum minum bodrek, jadi aku bukan orang pintar.”
“Sialan kamu, Ras. Didengerin benar-benar...huf.”
“Emang, menurut kamu, mimpimu itu ada maknanya ngga?”
“Ngga tahu juga ya...”
“Barangkali, mimpimu itu membuatmu ngga enak, atau apalah namanya?”
“Iya juga sich. Terus terang saja, aku memang selalu gelisah di sepanjang hidupku, Ras.”
“Nah, itu berarti sudah ketemu jawabnya, Ken.”
“Maksud kamu?”
“Maksudku, kamu pasti tahu apa yang bikin kamu gelisah.”
Benar juga apa yang dikatakan oleh Rasmi. Aku kadang iri dengan Rasmi. Rasmi begitu tentram. Wajahnya yang hitam tapi nampak cerah. Rasmi akrab sekali dengan kesederhanaan. Rasmi tidak menghiraukan gemerlapnya dunia. Aku tahu benar karena setiap hari aku tinggal satu kontrakan dengannya.
Jika aku bandingkan gaya hidup aku dengan Rasmi seperti langit dan bumi. Aku lebih mementingkan ‘wah’. Sedangkan Rasmi? Dia natural. Aku sering meneteskan air mata jika ingat caraku mendapatkan uang. Aku gila uang. Dan, jujur saja aku sudah mendapatkannya. Namun caraku sangat bertentangan dengan koridor yang ada. Kesedihanku persis sama dengan mimpi-mimpi buruk yang seringkali menimpaku. Aku sangat tersiksa oleh caraku sendiri. Aku terlempar ke suatu tempat yang gung liwang liwung. Tidak ada yang menolong. Bahkan suamiku sendiri. Dia begitu angkuh. Membiarkanku tergelincir dalam kehancuran moralitas.
“Lho...Kenti sahabatku, kamu kok tiba-tiba menangis? Weleh-wekeh... maaf ya, kata-kataku tadi menusuk hatimu ya? Maaf...maaf...banget!” dengan polos Rasmi memohon kepadaku. Kupandangi wajah Rasmi semakin dalam namun air mataku semakin deras. Isak tangisku tumpah ruah. Kupeluk Rasmi erat-erat untuk menahan hentakan dadaku. “Kenapa? Ada apa?”
“Aku sendiri tidak tahu, Ras.”
“Hemm...kok bisa ya, menangis tanpa sebab?”
“Sebab si ada, Ras. Tapi aku sulit mengatakannya.”
“Oh, begicu...” bibir Rasmi yang manyun sedikit menghiburku.
Jujur aku dibuat bingung dengan tingkahku sendiri. Andai saja aku bekerja apa adanya seperti Rasmi, aku yakin kejadiannya tidak seperti ini. Walau hidup dalam kekurangan tapi Rasmi merasa nyaman. Aku salut dengan Rasmi. Dia khusu’ dalam beribadah. Itu yang membuat aku iri kepadanya.
Aku harus mengambil sikap. Aku harus pulang ke desa. Kembali ke suami atau jika suami tidak mau menerimaku, mungkin aku akan kembali ke orang tuaku. Intinya, aku harus kembali ke diriku sendiri. Semoga Tuhan berkenan menerima taubatku.
“Niatmu sangat mulia, Kenti. Tapi mengapa kamu harus pulang ke desa? Untuk kembali kepada Tuhan, dimana tempat kan jadi?” Rasmi menasehatiku.
“Aku harus terbebas dari mereka, Ras. Aku tidak mau lagi kontak dengan para lelaki hidung belang itu. Dengan pulang kampung aku berharap bisa lebih konsentrasi beribadah. Aku ingin bersimpuh di hadapan Tuhan. Aku ingin ngaji ke kiai. Aku ingin shalat malam seperti kamu. Aku ingin baca Quran. Aku ingin mati secara khusnul khatimah.”

Mendung bergelayut diatas bumi Pasundan. Matahari tampak malu menyibak pagi. Kutatap wajah Rasmi dengan dalam. Rasmi tersenyum kecut. Kedua matanya merah. Jelas sekali Rasmi mencoba membendung butiran air mata yang hendak meleleh. Rasmi berdiri mematung ketika aku melambaikan tanganku dari atas Koprades. Puluhan tahun kami bersama dalam satu rumah kontrakan, harus berakhir dengan rasa pilu yang begitu mendalam. Aku bahkan seperti meninggalkan tanah tumpah darahku sendiri, karena aku sudah sangat menyatu dengan kampung di bumi Pasundan itu. Aku bersyukur karena suamiku tidak mempermasalahkan kepulanganku ke tanah kelahiranku.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons