DAPATKAN BUKU "MENYIAPKAN KESUKSESAN ANAK ANDA" DI GRAMEDIA BOOKSTORE DI SELURUH INDONESIA

Senin, 29 Desember 2014

Seberkas Cahaya dibalik Fajar Subuh


Cerpen : Supandi

“Cintaku bisu, bagai batu besar di dasar sungai nan dangkal. Kau begitu dingin. Kau biarkan rasa ini merana, menusuk relung hati yang paling dalam. Kau biarkan aku tenggelam dalam impian yang semakin tiada bertepi. Kamu asyik dengan dirimu sendiri. Tak sekalipun tatapan mataku kau balas dengan harapan. Mengapa jeritan cintaku tumbuh kembali disaat usiaku yang sudah tidak muda lagi?

“Dorrr....” Rasmi mengagetiku dari belakang. Aku menahan diri. Sebagai orang yang sudah berumur, aku mencoba untuk bersikap biasa. Aku khawatir lamunanku akan terbaca oleh Rasmi. “Aneh...baru saja mudik ketemu suami kok melamun? Kenti...Kenti. habis berantem ya?” Ledek Rasmi.
“Ngga kok, Cuma masalah kecil” sepertinya aku berkesempatan untuk mengalihkan perhatian Rasmi agar tidak menjurus ke hal yang sedang aku rasakan.
“Masalah kecil kok dibawa-bawa kesini? Emang siapa yang sudah bikin masalah sama kamu, Ken? Suami?” Rasmi terus mendikte aku.
“Engga....eh, bukan”
“Halah... kaya bicara sama anak kecil aja kamu. Anak kecil yang lugu.”
“Sudah...sudah...ngga usah dibahas!”
“Tapi kalau melihat gelagatmu, sepertinya bukan masalah keluarga dech. Lagian, kurang apa coba suamimu? Uang....? servis...? semua sudah kamu cukupi.” Kali ini Rasmi lagaknya seperti intel. Intel yang sudah banyak makan asam garam, yang pandai menangkap gelagat orang. Aku seperti tersangka dibuatnya.
Dan memang benar. Aku tidak mungkin berkilah tentang suami. Karena suamiku nyaris tidak pernah bikin masalah. Apapun yang aku lakukan. Apapun yang aku katakan, dia selalu nurut. Aku bahkan merasa kehilangan kendali. Barangkali itu semua karena aku selalu pulang ke suami secara rutin sebulan sekali dengan membawa bukti. Aku selalu mengutamakan pelayanan biologis. Demikian pula, aku selalu pulang dengan membawa sejumlah uang. Tetanggaku bilang, suamiku itu orang yang ketrima. Tidak perlu bekerja tapi segalanya sudah terpenuhi. Istri, rumah, sandang, dan pangan, semua datang sendiri. Apapun yang dikatakan oleh orang, aku anggap angin lalu saja. Aku harus legawa, karena hal ini mungkin sudah suratan, aku yang harus di depan, mencari nafkah buat keluarga.
Lagipula, aku menyadari bidang pekerjaan sebagai penjual jamu gendongan lebih pantas jika dijalani oleh orang perempuan. Walau tidak dipungkiri sebenarnya masih banyak jalan rejeki yang bisa dicari oleh manusia. Termasuk oleh suamiku. Tapi jika suamiku punya pemikiran sendiri, berdiam diri di rumah, mengandalkan penghasilan dari aku, bagiku tidak perlu dipermasalahkan. Toh, ini semua demi keluarga.
Perjalanan yang cukup panjang dari kampung halaman menuju tanah rantau di Ujung Kulon Pulau Jawa kali ini cukup melelahkan. Tidak seperti biasanya. Kali ini ada sedikit rasa enggan. Namun aku harus menyingkirkan perasaan enggan karena aku tidak mau mengecewakan pelanggan.
Kemunculan Gofar telah membuatku enggan. Mengapa aku tiba-tiba bertemu dengannya? Entahlah. Aku sendiri bingung dengan diri sendiri. “Siapakah aku?” Jawabannya cukup sulit aku temukan. Namun dibalik itu semua, setidaknya aku bisa menemukan makna dari cinta. Tidak bisa dipungkiri, aku cinta Gofar. Tapi... kok lucu ya? Aku mencintai seseorang dalam kondisi yang tidak tepat. Mungkin lebih tepatnya, aku dulu pernah mencintai Gofar. Itu sudah lama sekali. Sekarang, seharusnya rasa itu sudah tidak ada lagi. Aneh dan tidak pantas. Lagipula, aku juga sudah milik Misman, suamiku.
Gofar sekarang sudah menjadi seorang piyayi. Dan, aku hanya bisa nyawang. Rasa cinta yang tumbuh sejak SMP benar-benar hanya sebatas fatamorgana. Impianku untuk menjadi istri piyayi pupuslah sudah. Aku rupanya harus ikhlas menjalani hidup sebagai pedagang jamu gendongan. Aku harus senang dengan kebahagiaan Gofar. Barangkali inilah yang sering dikatakan oleh orang. Cinta tidak harus memiliki. Walau aku setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa cinta itu harus memiliki. Toh, itu bisa terwujud jika ada nilai perjuangan. Pendapat yang pertama-lah yang klop dengan diriku, sebab aku tidak berjuang untuk cinta.
Pulang dari berdagang aku merasakan seluruh persendian tulang-tulangku linu. Heran. Tiba-tiba saja jalan yang biasa aku lewati menjadi asing. Tanah tempatku berpijak seluruhnya berlumpur. Aku berjalan terseok-seok menyusuri jalan setapak dan sangat licin. Pinggangku pegal. Botol-botol kosong yang aku gendong saling berbenturan satu dengan yang lain. Aneh. Bunyinya memekakkan telinga, seakan mereka minta turun dari gendonganku.
Ya Tuhan. Aku takut. Mengapa Gung liwang-liwung?. Aku tak melihat ada seorang manusia di tempat ini. Aku berjalan seorang diri di tengah hutan belantara. Di sebelah kananku hutan belantara, sementara di sebelah kiriku jurang yang menganga. Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba saja aku tersasar ke tempat yang sama sekali asing bagiku? “Rasmi, tolonglah aku! Tolonglah aku, Rasmi! Tolong...”
Ya Tuhan. Aku lelah sekali. Sungguh malang nasibku. Perjuanganku menghidupi suami dan tiga orang anak sungguh sangat berat. Sampai kapan aku harus berjalan hingga sampai di perkampungan penduduk? Pinggangku pegal. Beban yang aku gendong semakin berat. Sangat berat. Haruskah aku turunkan botol-botol ini?
Di depan kulihat hamparan sawah. Setitik harapan mampir di pikiranku. Setidaknya sudah terasa ada tanda-tanda kehidupan. Aku menemukan bekas jejak kaki manusia di jalan bercabang. Dua orang lelaki berjalan naik ke gunung. Aku coba untuk memanggilnya. Mereka menoleh, tapi mereka tidak menghiraukan aku.
Satu lagi seorang lelaki bercaping naik ke pematang. Rupanya dia hendak pulang setelah mengerjakan sawahnya. Lelaki itu menoleh ketika aku panggil. Dan, astaga! “Mas Misman...” Iya, jelas sekali, dia mas Misman. “Mas Misman...! ini aku, Kenti, mas...! tolong mas, aku ngga kuat lagi, mas....aku ngga kuat lagi.” Mas Misman menoleh kearahku. Aku lega. Tapi seketika aku sangat kecewa. Mas Misman tidak menghampiriku. Sebaliknya, Mas Misman justru pergi meninggalkanku. “Mas Misman jahat...mas Misman jahat....”
“Astaga..!” Tubuhku terhentak dari tempat tidur. Kedua mataku terjaga. Bulat. Keringat keluar dari pori-pori tubuhku. Lagi-lagi aku bermimpi buruk. Aku gelisah. Aku tidak nyaman dibuatnya.
“Rasmi...kamu kok belum tidur?” aku mendapati Rasmi masih sibuk meracik kunir dan asem di depan tv.
“Belum tidur bagaimana? Tuh lihat jam dinding!”
“Ya ampun, sudah jam empat to?”
“Ada apa, kok kelihatan panik mukamu? Mimpi buruk ya?”
“Kok tau?”
“Halah...kok tau, kok tau...apalagi kalo bukan mimpi buruk? Wajahmu ketakutan gitu.”
“Iya, Ras, aku baru bermimpi. Seram sekali.”
“Makanya, kalau mau tidur gosok gigi dulu!”
“Apa? Gosok gigi? Apa hubungannya?”
Rasmi tertawa kecil. Sementara itu aura pagi mulai terasa. Alunan qiroatil Quran dari speaker masjid bergema lembut, menembus dinding alam. Menjemput subuh. Dulu saat aku remaja, terutama ketika aku dililit kesengsaraan, hatiku bergetar ketika mendengar bacaan Al-quran. Sekarang, hatiku bagai batu. Bergemingpun tidak. Jiwaku telah mengembara jauh sekali. Kegelisahan selalu mewarnai setiap langkah hidupku. Aku kecewa dengan kisah cintaku bersama Gofar, hingga aku khilaf. Aku terlalu memaksakan diri untuk memamerkan keperkasaanku dalam hal materi kepada keluarga.
“Rasmi, menurutmu mimpiku semalam itu pertanda apa ya?”
“Wah, kalau sesuai dengan yang kamu ceritakan, mimpimu itu pertanda bahwa mungkin kamu harus melakukan sesuatu dech.
“Aku harus melakukan sesuatu?”
“Iya.”
To the point aja ya. Emang aku harus nglakuin apa?”
“Nah, itu yang tahu orang pintar. Aku kan belum minum bodrek, jadi aku bukan orang pintar.”
“Sialan kamu, Ras. Didengerin benar-benar...huf.”
“Emang, menurut kamu, mimpimu itu ada maknanya ngga?”
“Ngga tahu juga ya...”
“Barangkali, mimpimu itu membuatmu ngga enak, atau apalah namanya?”
“Iya juga sich. Terus terang saja, aku memang selalu gelisah di sepanjang hidupku, Ras.”
“Nah, itu berarti sudah ketemu jawabnya, Ken.”
“Maksud kamu?”
“Maksudku, kamu pasti tahu apa yang bikin kamu gelisah.”
Benar juga apa yang dikatakan oleh Rasmi. Aku kadang iri dengan Rasmi. Rasmi begitu tentram. Wajahnya yang hitam tapi nampak cerah. Rasmi akrab sekali dengan kesederhanaan. Rasmi tidak menghiraukan gemerlapnya dunia. Aku tahu benar karena setiap hari aku tinggal satu kontrakan dengannya.
Jika aku bandingkan gaya hidup aku dengan Rasmi seperti langit dan bumi. Aku lebih mementingkan ‘wah’. Sedangkan Rasmi? Dia natural. Aku sering meneteskan air mata jika ingat caraku mendapatkan uang. Aku gila uang. Dan, jujur saja aku sudah mendapatkannya. Namun caraku sangat bertentangan dengan koridor yang ada. Kesedihanku persis sama dengan mimpi-mimpi buruk yang seringkali menimpaku. Aku sangat tersiksa oleh caraku sendiri. Aku terlempar ke suatu tempat yang gung liwang liwung. Tidak ada yang menolong. Bahkan suamiku sendiri. Dia begitu angkuh. Membiarkanku tergelincir dalam kehancuran moralitas.
“Lho...Kenti sahabatku, kamu kok tiba-tiba menangis? Weleh-wekeh... maaf ya, kata-kataku tadi menusuk hatimu ya? Maaf...maaf...banget!” dengan polos Rasmi memohon kepadaku. Kupandangi wajah Rasmi semakin dalam namun air mataku semakin deras. Isak tangisku tumpah ruah. Kupeluk Rasmi erat-erat untuk menahan hentakan dadaku. “Kenapa? Ada apa?”
“Aku sendiri tidak tahu, Ras.”
“Hemm...kok bisa ya, menangis tanpa sebab?”
“Sebab si ada, Ras. Tapi aku sulit mengatakannya.”
“Oh, begicu...” bibir Rasmi yang manyun sedikit menghiburku.
Jujur aku dibuat bingung dengan tingkahku sendiri. Andai saja aku bekerja apa adanya seperti Rasmi, aku yakin kejadiannya tidak seperti ini. Walau hidup dalam kekurangan tapi Rasmi merasa nyaman. Aku salut dengan Rasmi. Dia khusu’ dalam beribadah. Itu yang membuat aku iri kepadanya.
Aku harus mengambil sikap. Aku harus pulang ke desa. Kembali ke suami atau jika suami tidak mau menerimaku, mungkin aku akan kembali ke orang tuaku. Intinya, aku harus kembali ke diriku sendiri. Semoga Tuhan berkenan menerima taubatku.
“Niatmu sangat mulia, Kenti. Tapi mengapa kamu harus pulang ke desa? Untuk kembali kepada Tuhan, dimana tempat kan jadi?” Rasmi menasehatiku.
“Aku harus terbebas dari mereka, Ras. Aku tidak mau lagi kontak dengan para lelaki hidung belang itu. Dengan pulang kampung aku berharap bisa lebih konsentrasi beribadah. Aku ingin bersimpuh di hadapan Tuhan. Aku ingin ngaji ke kiai. Aku ingin shalat malam seperti kamu. Aku ingin baca Quran. Aku ingin mati secara khusnul khatimah.”

Mendung bergelayut diatas bumi Pasundan. Matahari tampak malu menyibak pagi. Kutatap wajah Rasmi dengan dalam. Rasmi tersenyum kecut. Kedua matanya merah. Jelas sekali Rasmi mencoba membendung butiran air mata yang hendak meleleh. Rasmi berdiri mematung ketika aku melambaikan tanganku dari atas Koprades. Puluhan tahun kami bersama dalam satu rumah kontrakan, harus berakhir dengan rasa pilu yang begitu mendalam. Aku bahkan seperti meninggalkan tanah tumpah darahku sendiri, karena aku sudah sangat menyatu dengan kampung di bumi Pasundan itu. Aku bersyukur karena suamiku tidak mempermasalahkan kepulanganku ke tanah kelahiranku.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons