DAPATKAN BUKU "MENYIAPKAN KESUKSESAN ANAK ANDA" DI GRAMEDIA BOOKSTORE DI SELURUH INDONESIA

Sabtu, 04 Juli 2015

SUAMI PENJUAL ROTI


Cerpen Supandi


Roti roti, roti tawar roti manis, Amelia doti roti. Roti roti Roti roti, roti tawar roti manis, Amelia doti roti”. Ratusan kali suara itu melengking, ikut mewarnai kesibukan warga di perumahan Puri Indah. Turut menghangatkan suasana pagi. Suara dari speaker kecil itu tidak disertai ekualiser. Tanpa trebel. Tanpa bas. Bisa dimaklumi, karena bukan disettinguntuk hiburan, tapi setidaknya sangat mewakili Zaenudin dalam menjajakan dagangannya.Roti roti, roti tawar roti manis, Amelia doti roti.Beberapa anak kecil bahkan sudah hafal dengan urutan kata dan nada suara itu.
Kala matahari mulai menapaki kisi-kisi langit di ufuk timur,Zaenudinberkeliling kampung sebagai sebuah rutinitas dan rasa tanggung jawabnya untuk keluarga. Dua kali dalam sehari, Zaenudin menjajakan rotinya ke pelosok kampung dan perumahan. Pagi dan sore. Seperti sudah menemukan rute, Zaenudin selalu mengakhiri perjalanannya di masjid Baitut Taqwa di sudut kampung yang cukup padat penduduk. Disamping masjid gemercik air sungai kecil cukup meneduhkan suasana hati. Masjid itu dikelilingi oleh rerimbunan pohon ketapang dan beberapa pohon pinicium. Zaenudin biasa merebahkan diri sejenak di teras masjid sesaat setelah melaksanakan shalat dhuha. Kebiasaan yang sudah menyatu.
Angannya melayang lalu hinggap di sebuah rumah setengah jadi yang letaknya tidak jauh dari Masjid Baitut Taqwa. Tergambar di imajinasinya, seorang perempuan berkulit putih menanti kehadiran Zaenudin di rumahnya di Karangrau. Parsiyem. Awalnya, Parsiyemadalah sosok wanita desa yang lugu. Namun semenjak kepulangannya dari negeri orang, sepertinya dia sedikit terkontaminasi dengan kebudayaan luar. Bau parfum dan dandanan ala ABG seperti sudah menjadi warna dalam hidupnya. Para tetangga bilang, Parsiyem itu seperti orang kota. Sebagian laki-laki tidak bosan untuk memandang lekuk tubuhnya yang bersih.
“Ini rejeki dari Allah, Mi. Hasil jualan roti hari ini.”Zaenudin menyeka keringatnya yang belum kering.
“Taruh saja diatas bifet, Bi.” Kata Parsiyem dingin. Parsiyem nampak asyik ngobrol dengan tetangga sebelah. Di balai rumahnya yang setengah jadi, Zaenudin meluruskan kakinya dari atas kursi yang terbuat dari anyaman ban mobil. Senja mulai menapaki balik rerimbunan pohon desa. Terdengar desing air yang mendidih dari arah dapur. Zaenudin bangkit untuk menuangkan air panas ke dalam gelas berisi gula teh. Dua buah roti coklat manis masih tergeletak diatas tatakan.
Kumandang adzan magrib bersahutan, membahana menerjang kisi-kisi ruang hampa.Zaenudin menyeruput teh yang masih mengepul. Terkesan sangat segar. Beberapa teguk teh hangat cukup untuk membatalkan puasa sunahnya.
“Abi berangkat ke surau ya, Mi.”
“Iya, Bi.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’ailkum salam.”
Matahari di ufuk barat sudah melewati batas antara siang dan malam. Beberapa kelelawar bersliweran di awang-awang dan menghilang dibalik pepohonan. Udara lembab terasa menyentuh pori-pori. Dua ekor katak melompat beriringan, dan bersembunyi dibalik semak-semak. Zaenudin tidak sempat shalat sunat dua raka’at, mungkin karena tersita sedikit waktunyauntuk berbuka puasa. Pak Jamhuri menyambutnya dengan Iqamah ketika Zaenudin tiba di surau.
Sayup-sayup terdengar gemrengseng suara tadarus alquran dari arah pondok pesantren. Rumah Zaenudin berjarak sekitar dua ratus meter ke ponpes. Lingkungan ponpes menghidupkan suasana malam. Zaenudin mulai merasakan lemas. Dua buah roti masih tergeletak diatas tatakan. Rupanya mata Zaenudin tidak tertuju ke roti.
“Makan sama apa, Mi?” Zaenudin membuka tudung saji yang terbuat dari bambu. Hanya ada bakul berisi nasi.
“Njenengan ingin makan sama apa, Bi. Aku belum masak. Bingung mau masak apa, jadinya ngga masak.”
“Oh, ya sudah, abi mau menggoreng telur saja. Umi sendiri bagaimana? Apa sekalian abi gorengkan?”
“Ngga usah, Bi, tadi aku sudah makan soto, dikasih sama Siti. Masih kenyang.”
Malam itu begitu sepi seperti malam-malam biasanya. Hanya suara nyam-nyam yang menemani Zaenudin makan. Begitu pun dengan suara TV. Parsiyem lebih menyukai berteman dengan Android barunya daripada menonton televisi. Sesekali senyumnya tersimpul. Entah karena apa. Sepertinya ada sesuatu yang lucu dari layar Androidnya. Sesekali Zaenudin melirik tubuh Parsiyem yang berbeda dari tiga tahun sebelumnya. “Cantik dan bersih” pikirnya dalam hati.
Kekhawatiran muncul dari benak Zaenudin ketika Parsiyem semakin asyik dengan dunianya sendiri. Semacam ada sekat diantara mereka. Beberapa kali Zaenudin menepis pikiran yang aneh-aneh untuk kembali berpikir jernih. Kembali ke Yang Maha Menjalankan Hidup. Satu hal yang menggelisahkan Zaenudin adalah kerinduannya kepada kedua anaknya.
“Abi kok kangen sama Uswah dan Azwar, Mi. Lagi apa mereka sekarang? Apakah mereka baik-baik saja?” Zaenudin nguda rasa kepada istrinya. Unek-unek Zaenudin tidak serta merta ditanggapi oleh Parsiyem. Bahkan sepertinya ia tidak begitu jelas mendengar kata-kata suaminya.
“Umii...”
“Eh, iya bi, ada apa?”
“Abi kangen sama Uswah dan Azhar, Mi.”
“Ooh... kalau kangen, obatnya tuh ketemu, Bi.”
“Apakah mereka baik-baik saja ya, Mi?”
“Abi jangan berpikir yang macam-macam ya. Uswah dan Azhar pasti baik-baik saja. Mereka berdua pasti lebih nyaman tinggal bersama kakek dan neneknya. Emang abi meragukan kasih sayang bapak dan ibuku? Iya?”
“Bukan, Mi. Bukan itu maksud abi. Maksudku....”
“Halaaah......sudahlah. abi jangan galau gitu. Anak-anak kita itu lebih enak hidup disana, Bi, daripada hidup bersama kita. Sandangnya? Makannya? Keperluan sekolahnya? Disana itu terjamin, Bi. Umi tidak bisa membayangkan kalau mereka disini, mengandalkan abinya yang penghasilannya hanya beberapa rupiah saja.” Kata-kata Parsiyem mengalir deras. Zaenudin hanya menelan ludah. Zaenudin seperti pemain catur yang terjebak skak ster.
Zaenudin bangkit dari kursi meubel. Dibiarkannya Parsiyem memijit-mijit barang kesayangannya. Andoid. Kedua kakinya terjulur di meubel panjang. Ada keindahan ketika Zaenudin memandangnya sekilas. Kakinya yang putih tidak tertutup kain. Pemandangan itu disuguhkan khusus buat Zaenudin, namun Zaenudin geleng kepala. Zaenudin lebih memilih merpati itu hinggap. Bayang-bayang tramumatis masih menghantui hatinya. Semenjak kepulangannya dari Taiwan, Parsiyem seperti barang mahal. Zaenudin tidak mau gegabah. Bisa saja dia kena damprat untuk yang kesekian kalinya jika merpati putih itu belum lapar. Zaenudin terus mencoba mengendalikan hasrat kelelakiannya jika tidak ingin kena semprot.
Sebuah sajadah panjang terbentang di sebuah ruangan belakang bifet. Tempat itu adalah tempat yang paling nyaman bagi Zaenudin. Semangatnya bangkit ketika kedua matanya usai menelusuri mushaf-mushaf kalam Ilahi. Terlebih jika dahinya ditempelkan dengan ketat di atas sajadah. Darah mengalir ke kepala, disitulah rasa nyaman terbangun. Zaenudin sangat menyukai kebiasaan itu. Bersujud kepada Tuhan.
Sebuah bayangan berkelebat dari arah belakang tubuh Zaenudin. Bayangan itu tertangkap ketika Zaenudin sedang sujud. Bayangan itu berlalu ketika Zaenudin menoleh ke belakang. Dua kali Parsiyem mondar mandir, seperti akan mengutarakan hasrat. Sunyinya malam sangat memungkinkan sesuatu yang bergerak mudah terdengar. Demikian pula bunyi langkah Parsiyem pun terdengar oleh Zaenudin.
“Lho...abi mau kemana?” Parsiyem mengerutkan dahi ketika yang ditunggu malah menuju ke belakang.
“Mau nggoreng ubi, Mi.”
“Ini orang si bagaimana.... ditunggu-tunggu malah kabur.” Parsiyem seperti ndoro putri yang kemauannya tidak boleh ditawar. “Abiii....”
Zaenudin belum jadi menyalakan kompor. Dia lebih menuruti rasa penasarannya. Menghampiri merpati putih yang sudah menunggunya di balai tengah. Daster warna merah semakin bersinar karena kontras sekali dengan kulit putih yang dimiliki oleh merpati itu. Zaenudin menelan ludah. Jari-jari tangan kanannya meremas kuat-kuat lengan kanannya. Dengan begitu dia bisa mengendalikan degup jantungnya yang timbul tenggelam.
“Umi heran sama abi dech.” Parsiyem mengawali pembicaraan itu dengan jurus mautnya. Zaenudin mengalihkan pandangannya ke dinding. Tangan Parsiyem melambai. Bangkit. Dan lambaiannya hanya beberapa senti ke muka Zaenudin. “Yang memgajak bicara itu umi, Bi...bukan tembok.” Lanjut Parsiyem.
“Itu ada cecak lagi berkejaran, Mi.”
“Halaah...alasan. emangnya cecak itu lebih menarik daripada umi ya?”
“Ngga menarik si...tapi kalau melihat yang lain justru abi bisa tertarik.”
“Aneh. Tertarik bagaimana maksudmu?”
“Tertarik sama merpati putih.”
“Hahaha...ada-ada saja kamu ini, Bi.”
“Abi mau nggoreng ubi dulu ya...”
“Eh eh...stop stop... abi jangan begitu. Sini, duduk disamping umi!!!.” Lagi-lagi Zaenudin sendiko dhawuh apa kata ndoro putri. Getaran-getaran nurani manusiawinya semakin kencang. Parsiyem yang sekarang tampak berbeda dengan ketika masih menjadi wong ndeso. Aneh. Itu yang dirasakan oleh Zaenudin. Daya tarik sebagai kaum hawa lebih menantang dari sebelumnya.
Zaenudin menyandarkan tubuhnya kuat-kuat ke sandaran meubel. Kekontrasan antara warna merah daster dengan kulit tubuh Parsiyem mengalirkan energi yang sulit dikendalikan. Malam semakin surut. Sunyi bergelayut dalam dinginnya malam. Parsiyem mengutarakan isi hatinya. Zaenudin menanggapinya dingin. Surutnya malam tidak seiring dengan gejolak kelelakiannya. Zaenudin surut. Sebuah permintaan yang sama sekali bertentangan dengan hati nurani Zaenudin. Apa yang dibayangkannya selama kurang lebih tiga bulan, kini benar-benar nyata. Istri kebanggaannya ingin terbang jauh. Parsiyem kembali akan merantau ke negeri orang. Taiwan.
“Abi tidak mengijinkan umi pergi.” Kali ini nada bicara Zaenudin tidak seperti biasanya. Ada semacam dorongan untuk bersikap tegas. Namun lagi-lagi ketegasan Zaenudin tidak berarti bagi istrinya. Sikap ndoro putri-nya masih sangat kental. Perdebatan kecil terjadi. Harapan yang saling berlawanan arah sama-sama kuat beradu. Bayang-bayang kelabu kembali menghantui jiwa Zaenudin. Keinginannya untuk berlama-lama hidup dalam keharmonisan rumah tangga kabur. Suram. Dengan berat hati Zaenudin menandatangani Surat Ijin Suami. Sementara dari wajah Parsiyem terpancar aura kuat. Aura ketetapan hati.
Satu minggu lagi. Jangka waktu yang sangat singkat bagi Zaenudin. Hari-hari ke depan adalah kosong. Zaenudin lebih banyak menundukkan pandangan. Enggan memandang dunia. Zaenudin lebih memilih mendekatkan diri pada keajaiban alam. Sesuatu yang tersembunyi dibalik teka-teki kehidupan yang mampu berpihak kepadanya.
Secara jiwa dan raga, Zaenudin terbilang sebagai sosok yang kuat. Namun nampaknya kekuatan manusia sungguh terbatas. Zaenudin merasakan tidak enak badan. Mungkin karena hujan yang mengguyur Perumnas Puri Indah tadi pagi. Zaenudin menyelimuti tubuhnya dengan selimut made in Taiwan. Aura hangat mengalir ke seluruh tubuhnya.
“Umi...tolong ambilkan air putih. Mudah-mudahan dengan obat warung ini abi bisa cepat sehat kembali.”
“Abi...jadi orang itu jangan cengeng. Biasakan apa-apa sendiri, biar nantinya tidak merepotkan orang lain. Ambil sendiri aja, sekalian biar gerak tubuhmu.”
Terdengar nada dering Soldier of Fortune dari hp Parsiyem. Nampak di screen Android-nyatertulis nama “Siti”. Obrolan hangat terjadi antara Parsiyem dan Siti. Sesekali terselip tawa lepas diantara keduanya. Kali ini Parsiyem mengenakan celana pendek jeans warna biru. Kedua kakinya dilipat. Parsiyem menaruh hp-nya di samping map berwarna kuning yang berisi berkas-berkas persyaratan ke luar negeri.
Parsiyem sudah selesai mengurus berkas-berkas yang diperlukan. Semuanya sudah siap. Sudah tersusun rapi dalam map. Dalam hitungan menit setelah minum obat warung, Zaenudin terlelap. Parsiyem penasaran. Didekatinya suami yang pendiam itu. Telapak tangannya ditempelkan ke dahi Zaenudin. “Astaghfirullah, ya Allah, panas sekali...”. Parsiyem mencoba menurunkan panas dengan mengompres suaminya. Dengan lembut ia menempelkan kain wol ke dahi suami. Zaenudin terbangun. Namun rupanya dia menikmati aliran sejuk air kompres di dahinya.
Zaenudin membuka matanya agak lebar. Heran. Ada pandangan aneh tersimpul dari wajah Parsiyem. “Kamu kenapa, umi? Ada apa kok kamu memandangiku begitu tajam?” Zaenudin bertanya dengan nada polos. Parsiyem diam. Zaenudin semakin penasaran. Dia mencoba mengulangi pertanyaan tadi. Tapi istrinya belum juga menjawab. Kali ini wajah Parsiyem begitu dekat dengan wajah Zaenudin. “Umi...kamu itu kenapa? Kamu sehat kan? Jangan ikut sakit ya... kalau kamu sakit nanti bagaimana? Sebentar lagi kamu kan mau terbang?”.
“Umi ngga jadi terbang, Bi.”
Astaghfirullah...asta...subhanallah...”
“Halaah...ngga segitunya kalee... aja gumunan, aja kagetan.”
“Ummi...kamu jangan ngledhek. Abi ini benar-benar heran, kamunya malah begitu?”
“Ngledhek bagaimana? Ummi seiruskok.”
“Serius.”
“Se i rus.”
“Bukan se i rus, Mi. Yang betul serius.”
“Iya iya, ser ser...serius us us...” Parsiyem menyolek hidung Zaenudin.
Parsiyem merapikan kembali selimut yang tersingkap. Kebahagiaan Zaenudin kali ini terasa lebih besar dari kenikmatan-kenikmatan yang dianugerahkan oleh Tuhan Sang Penyayang.
Keputusan Parsiyem yang sangat berani itu tentu tidak berjalan mulus. Berbagai cemoohan. Umpatan. Secara bertubi tubi tertuju kepadanya. Hampir semua orang-orang dekatnya merasa dikecewakan. “Kamu ini bagaimana, Par? Rencana bagus masa dibatalkan? Apakah kamu tidak berpikir ke depan? Perginya kamu merantau kan bukan untuk bersenang-senang tapi untuk mencari uang? Perginya kamu ke luar negeri kan untuk kepentingan keluarga? Kepentingan anak-anak? Untuk biaya sekolah anak-anak?”
Parsiyem benar-benar tersudut. Parsiyem harus menghadapi kelima temannya yang semula akan terbang bersama. Tidak hanya itu. Cemoohan yang berbau kecewa juga datang dari adiknya; “Tolong dipikirkan lagi dengan akal sehat, Yu. Dipertimbangkan lagi. Aku sangat berharap, yayu tidak membatalkan keberangkatan yayu ke Taiwan. Keberangkatan yayu yang pertama itu belum apa-apa. Baru untuk bikin rumah setengah jadi kan? Masa depan anak tolong dipikirkan lagi. Aku tahu, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga itu adalah semulia-mulianya pekerjaan. Tapi kalau memang yayu ingin menjadi ibu rumah tangga, kenapa memilih kang Zaenudin sebagai suamimu? Kenapa tidak memilih menjadi istrinya pak Kades saja? Bukankah pak Kades dulu juga suka sama yayu? Aku tidak rela kalau yayu sengsara karena mengandalkan penghasilan kang Zaenudin si penjual roti itu.”
Parsiyem mematung. Zaenudin bisa mendengar dan memaklumi nasehat adik iparnya. Tidak ada alasan untuk tersinggung. Zaenudin nampak ikhlas. Pasrah. Tegar. Demikian pula dengan Parsiyem. Dia ikhlas dan mendengarkan nasehat adiknya dengan penuh perhatian. Tak ada sepatah katapun yang bisa dijadikan alasan. Dari awal sampai akhir hampir semua yang dikatakan oleh adiknya masuk akal.
“Bagaimana Yu? Jadi berangkat kan? Lihatlah kedua anakmu!. Lihatlah grobogan roti itu!. Lihatlah kang Zaenudin si penjual roti itu!. Lihat jauh ke depan!. Masa depan anak-anakmu!.
Parsiyem benar-benar tersudutkan. Butir-butir air mata perlahan membasahi kedua kelopak matanya.
“Yayu menangis? Waduh, maaf maaf, Yu. Aku mohon, maafkan atas kelancanganku, Yu! Aku tidak bermaksud jelek. Aku sayang yayu. Bahkan nyawapun akan aku relakan asal yayuku yang cantik ini hidup bahagia.” Parsiyem semakin mengguguk. Air matanya semakin deras mengalir.
“Tidak, de. Kamu tidak seratus persen salah. Yayu tidak marah sama kamu. Yayu menyesal. Sangaaat menyesal.”
“Lho...menyesal kenapa, Yu?”
“Selama ini yayu meremehkan orang yang sangat mulia dimata Allah. Yayu telah menyia-nyiakan orang yang rajin beribadah. Yayu jarang sekali menyiapkan makanan buat orang yang selalu membangunkanku shalat malam. Ya Allah, ampunilah hambamu yang hina ini!. Abi, maafkan istrimu!. Hukumlah istrimu ini seberat-beratnya karena telah meremehkanmu!. Abi, maafkan aku!. Ya Allah, ampuni aku! Ampuni hamba yang tidak pernah menyiapkan makanan buat sahur dan buka puasa Senin-Kamis suamiku.”
“Insya Allah, Allah mengampuni dosa-dosamu, Yu. Dan, Allah juga pasti tahu niatmu berangkat ke Taiwan adalah untuk membantu suami, kan?”
“Tidak, de. Yayu tetap tidak akan berangkat. Hidup yang hanya sebentar ini akan yayu manfaatkan untuk mendapatkan ridlo suami. Yayu yakin, suatu saat nanti Allah akan meluaskan rejeki untuk keluarga kami. Hidup matiku akan aku persembahkan buat suami dan anak-anak. 

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons