DAPATKAN BUKU "MENYIAPKAN KESUKSESAN ANAK ANDA" DI GRAMEDIA BOOKSTORE DI SELURUH INDONESIA

Selasa, 08 Januari 2013

Kiat Cerdas Buat Calon Koruptor


Oleh : Supandi, S.Pd, MM.

Guru SMP Negeri 2 Binangun Cilacap, Penulis Buku “Menyiapkan Kesuksesan Anak Anda, Gramedia


Banyak orang pada akhirnya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan hingga masuk bui. Seorang wanita cantik dituntun ke meja hijau, sementara di punggung baju seragamnya tertulis ‘Tahanan’. Wibawanya turun. Harga dirinya tercabik-cabik. Dan banyak lagi peristiwa memilukan dan memalukan. Semua itu merupakan imbas dari perbuatannya. Mengapa hal tersebut sampai menimpa dirinya? Hal ini dikarenakan kurang rapinya trik yang mereka ambil dalam melakukan skenario kejahatannya. Ada juga yang disebabkan karena jumlah yang dikorupsi sangat sigfikan, sehingga ada pihak tertentu yang usil lalu membeberkan ke pihak terkait, sehingga mempermudah aparat untuk menangkapnya.
Ada juga koruptor yang melenggang tanpa tercium oleh KPK. Kelompok koruptor yang berhasil lolos dari jerat hukum kemungkinan besar karena pengalaman yang mereka miliki dan kerapihan dalam bertindak. Mereka bisa ber-kong kalikong dengan pihak tertentu, atau melakukan praktek “tutup mulut” kepada oknum yang dianggap mengancam kelenggangannya. Mereka bisa menikmati kemewahan walau dengan jalan pintas. Tidak heran jika kesenangan dunia secara silih berganti akan mereka dapatkan sesuai dengan yang diinginkannya. Mereka bisa dengan mudah menjalani hidup bergaya hedonisme; pakaian bagus, perhiasan bergelantungan di bagian-bagian tubuh yang bisa dilihat orang. Hidup terasa sangat indah, dihormati oleh orang lain karena kemewahannya, walaupun hati nuraninya meronta-ronta.
Gaya hidup hedonisme sangat didambakan oleh sebagian besar orang, apalagi jika fasilitasnya diperoleh dengan cara-cara yang praktis. Dibutuhkan kecerdasan khusus untuk memeroleh tamsil (tambahan penghasilan) dengan cara korupsi. Seorang koruptor yang belum professional barangkali perlu memelajari cara-cara yang lebih cerdas. Mereka bisa mengintip dari para koruptor ahli; cara dan strateginya, sehingga bisa terbebas dari jerat hukum, bisa menikmati kemewahan dengan aman.
Diatas langit masih ada langit. Kalimat bijak tersebut bisa dijadikan pijakan untuk menentukan langkah cerdas. Seorang calon koruptor sebelum melakukan tindakannya hendaknya berkaca kepada koruptor yang lebih cerdas. Maaf, saya menyebutnya ‘calon koruptor’ karena pada dasarnya setiap orang berpotensi untuk itu, baik dalam skala yang besar ataupun kecil, yakni berupa potensi yang terkubur. Hal ini didasarkan pada unsur nafsu yang kita miliki.
Seorang koruptor yang lepas dari jerat hukum setidaknya memiliki kecerdasan yang lebih tinggi daripada mereka yang tertangkap oleh KPK. Mereka licin seperti belut. Namun perlu diakui bahwa kita sesungguhnya bisa bersikap yang lebih cerdas dari para koruptor yang cerdas. Diatas langit masih ada langit. Diatas seorang koruptor yang cerdas masih ada diri kita. Kita harus lebih cerdas daripada mereka.
Ada sebuah konsep yang bisa kita pedomani untuk menuju pada level the most intelligent (yang paling cerdas). Konsep tersebut disebut konsep rasionalistik. Konsep rasionalistik dalam hal korupsi lebih menitikberatkan pada aspek the ending life. Konsep rasionalistik meyakini betul bahwa sesungguhnya tidak ada satupun koruptor yang selamat. Hal ini didasarkan pada bukti kongkrit bahwa tidak ada satupun koruptor yang menjalani sisa hidupnya dengan happy ending.
KPK hanyalah sarana untuk mempercepat tagihan sehingga kerugian negara dapat diminimalisir. Namun tidak berarti bahwa lolos dari KPK seorang koruptor bebas melenggang. Sebaliknya, mereka akan menjalani sisa hidupnya dengan unhappy ending; kehilangan harta benda, terserang penyakit ganas, dan lain-lain. Orang yang menempatkan dirinya pada level the most intelligent tidak mau menghancurkan kehidupannya tetapi akan senantiasa berupaya keras meraih kehidupan terbaik.
Seorang ‘the most intelligent’ akan memiliki sikap yang lebih cerdas. Mereka berprinsip “hidup hanya sekali, maka jangan dihancurkan. Hidup hanya sekali, namun yang sekali itu sudah cukup, tidak membutuhkan dispensasi berupa pengulangan hidup atau tambahan umur. Bersikap paling cerdas tidak hanya menguntungkan diri sendiri, tetapi juga menguntungkan keluarga, anak, cucu, masyarakat, dan dalam skala yang lebih besar akan menyelamatkan keuangan negara. Kita harus memiliki internal control yang handal. Disamping itu kita juga harus mempunyai landasan ilmiah untuk menjadi ‘the most intelligent’.
Landasan ilmiah yang melatarbelakangi pemahaman tentang pentingnya menahan diri dari tindak korupsi antara lain :
  1. Prinsip orang Jawa “Sapa nandur bakal ngundhuh”, artinya, barangsiapa yang berbuat pasti akan menanggung akibatnya.
  2. Hukum Kekekalan Energi dalam kehidupan. Berdasarkan prinsip alam, jumlah energi di dunia ini tidak akan bertambah maupun berkurang. Seseorang yang melakukan korupsi berarti ia terlibat dalam proses pengumpulan energi negatif. Jumlah energi yang ia kumpulkan tidak akan hilang, melainkan akan berubah bentuk. Dengan demikian, tagihan atau pencairan dari energi yang telah ia tabung akan terjadi sebelum ia mati. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi para koruptor akan mereka terima kontan di dunia.
  3. Sabda nabi Muhammad Saw yang berbunyi “Ada dua dosa yang Allah Swt tidak akan menangguhkan azabnya di dunia, yaitu durhaka kepada kedua orang tua dan berbuat dzalim kepada sesama. (HR. Bukhori – Muslim). Berdasarkan hadist tersebut jelas bahwa seseorang yang dzalim (dzalim kepada masyarakat/Negara), maka ada dua hukuman yang ia terima; yakni langsung di dunia dan kelak di akhirat.
Menjadi orang yang paling cerdas dalam kontek ini berarti menjalani hidup diatas alur nurani yang mengarah pada kebahagiaan. Setiap manusia mempunyai nurani. Nurani manusia selalu berpihak kepada kebenaran sehingga ketika seseorang melakukan perbuatan yang menyimpang dari nurani maka akan muncul kegelisahan. Nurani akan merasa nyaman ketika segala laku manusia berada pada jalur yang benar.

Selasa, 01 Januari 2013

Dari Trotoar Jalan hingga Rumah Yatim


Oleh : Supandi, S.Pd, MM.
Praktisi Pendidikan, Penulis Buku “Menyiapkan Kesuksesan Anak Anda”, Gramedia Publisher


Kisah nyata ini bermula di tahun 1996, sewaktu Indonesia baru saja melewati prahara besar. Siang itu matahari Jakarta bersinar terik. Di sebuah sudut kota seorang pemuda menyeka keringat di dahinya sembari merapikan barang dagangannya yang digelar seadanya di trotoar pinggir jalan. Tidak lama datang ibu-ibu dan anak-anak perempuan untuk melihat-lihat barang dagangannya. Tidak sedikit bahkan dari mereka kemudian mematut diri dan akhirnya membeli.
Siang itu ada senyum di wajahnya. Terbayang bagaimana sore itu ia akan membawa pulang uang untuk ibunya yang kurus, dan membayar sebagian biaya rumah sakit ayahnya yang hampir dua tahun tergeletak di tempat tidur.
Tapi senyum dan bayangan itu sirna seketika ketika tiba-tiba ia melihat semua orang berlari panik. Petugas datang! Itulah teriakan yang ia dengar sesaat sebelum ia menyadari barang dagangannya sudah hancur ditendang sepatu lars panjang.
Sore harinya ia kembali ke tempat itu untuk mengumpulkan barang dagangannya. Diperhatikannya mobil-mobil yang lalu lalang di depannya. Orang-orang berdasi dengan tas kerjanya. Keluarga muda yang menikmati udara sore dengan anak-anaknya. “Aku ingin nasibku berubah. Aku ingin bisa menikmati kehidupan yang terbaik!” pikirnya.
Dengan modal ijasah SMA ia memberanikan diri membuat surat lamaran kerja. Esok harinya surat diantarnya sendiri ke sebanyak mungkin perusahaan di Jakarta. Beberapa bulan kemudian panggilan datang dari sebuah perusahaan internasional yang saat itu bernama First National Citibank. Ia diterima sebagai office boy.
Pekerjaan sebagai office boy dijalaninya dengan semangat dan kerja keras. Dalam waktu 19 tahun ia berubah nasibnya dari seorang office boy menjadi vice president.
Hari demi hari ia menjalani kehidupan yang mapan. Namun seiring berjalannya waktu ia mulai menyadari ada yang hilang dalam hidupnya. Sesuatu yang tidak berada di dalam dirinya sendiri. Ada yang kosong. Semakin jauh ia berjalan mencari kehidupan terbaik, namun semakin jauh pula ia dari sesuatu yang dicarinya.
Kala itu bulan puasa, beberapa teman mengajak pemuda sukses itu untuk mengunjungi sebuah rumah yatim di daerah Kramat, Jakarta pusat. Sesampainya disana ia mengikuti setiap rangkaian aktivitas. Ikut berbuka bersama anak-anak yatim, shalat tarawih dan mendengar ceramah agama. Namun malam itu dia tidak menikmati semua itu.
Ketika ia hendak melangkah pulang, tiba-tiba dia merasakan kain celananya ditarik dari belakang oleh seorang anak kecil.
“Siapa namamu nak?” Tanya pemuda itu.
“Nina, om”. Jawab anak kecil itu.
Dalam benaknya pemuda itu bisa menerka, pasti ada sesuatu yang anak ini inginkan.
“Nina sudah punya baju baru? Sepatu baru? Tanya pemuda itu lagi.
“Sudah om.”
“Lalu Nina mau apa?”
“Enggak ah, nanti om marah…” Jawab Nina sambil menunduk.
Kalau anak itu begitu takut menyebutkan permintaannya, pastilah yang diminta adalah sesuatu yang mahal.
“Ayolah sebutkan, apa yang Nina mau?”
“Benar, om ngga akan marah”
Semakin lama dialog itu berjalan, maka semakin tinggi anggaran yang pemuda itu siapkan. Akhirnya Nina mengungkapkan keinginannya, dan apa yang didengar oleh pemuda itu ternyata jauh dari apa yang ia bayangkan. Nina berkata pelan,
Om, boleh nggak, om Nina panggil ‘Ayah’…”
Mendengar permintaan Nina, tubuh pemuda itu bagai tanpa daya. Dia pun terjatuh, berlutut dihadapan Nina. Dipeluknya Nina erat-erat.
“Akulah ayahmu, nak. Akulah ayahmu…” bisiknya pada Nina.
Saat itu sebuah tabir besar di hatinya terkuak. Apa yang tadinya kosong kini mulai terisi. Digandengnya Nina menjauh dari orang-orang.
“Anakku, insya Allah besok ayah dan ibumu akan kembali kesini lagi.” Katanya pada Nina. “Tapi ayah dan ibu tidak ingin menemuimu dengan tangan kosong. Sebutkanlah, Nina mau ayah bawakan apa?” Lanjutnya.
“Nggak usah, yah”.
“Nina mau sepatu roda? Clarinet? Apa saja nak, sebutkan.” Melihat keraguan di wajah Nina, pemuda itu mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan isinya pada Nina. “Ayahmu punya uang banyak. Nina mau apa?”
Nina akhirnya berkata lirih, “Boleh?”.
“iya nak, apa saja sebutkan.” Pemuda itu bertekad, apapun yang diminta Nina, seberapapun mahalnya, dia akan berikan. Namun untuk kedua kalinya, pemuda itu salah. Apa yang diminta Nina ternyata jauh dari bayangannya.
“Ayah, besok kalau kesini bawa foto ya…”, pinta Nina.
“Foto???” ada kekecewaan di hatinya mendengar itu. Semua isi dunia ini pasti akan ia berikan jika Nina minta, tapi kenapa Nina hanya meminta foto?
“Foto apa, nak?”
“Foto ayah, ibu, dan kakak-kakak”
“Untuk apa foto itu?”
“Nina mau nunjukin ke teman-teman di sekolah nanti, kalau sekarang Nina punya ayah, punya ibu, punya kakak-kakak… Nina sekarang bukan Nina yang dulu. Nina ingin mereka tahu bahwa sekarang Nina mempunyai ayah, ibu dan kakak-kakak.”
Untuk kedua kalinya pemuda itu terjatuh berlutut di depan Nina. Tubuhnya lunglai. Butiran air mata merembes di kedua kelopak matanya. Bibirnya bergetar. Dipeluknya anak itu kembali. Malam itu ia menemukan kembali kebahagiaan yang telah lama hilang dari hidupnya. Nina telah memberinya hadiah yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Nina telah mengajarinya tentang arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kebahagiaan yang sesungguhnya hadir manakala kita mulai membuka diri untuk orang lain, dan menjadi bagian dalam hidup mereka.

***
Dikutip dari buku DNA SuksesMulia

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons