Oleh : Supandi, S.Pd, MM.
Praktisi Pendidikan, Penulis Buku
“Menyiapkan Kesuksesan Anak Anda”, Gramedia Publisher
Kisah nyata ini bermula di tahun 1996, sewaktu Indonesia baru saja melewati
prahara besar. Siang itu matahari Jakarta
bersinar terik. Di sebuah sudut kota
seorang pemuda menyeka keringat di dahinya sembari merapikan barang dagangannya
yang digelar seadanya di trotoar pinggir jalan. Tidak lama datang ibu-ibu dan
anak-anak perempuan untuk melihat-lihat barang dagangannya. Tidak sedikit
bahkan dari mereka kemudian mematut diri dan akhirnya membeli.
Siang itu ada senyum di wajahnya. Terbayang bagaimana sore itu ia akan
membawa pulang uang untuk ibunya yang kurus, dan membayar sebagian biaya rumah
sakit ayahnya yang hampir dua tahun tergeletak di tempat tidur.
Tapi senyum dan bayangan itu sirna seketika ketika tiba-tiba ia melihat
semua orang berlari panik. Petugas datang! Itulah teriakan yang ia dengar
sesaat sebelum ia menyadari barang dagangannya sudah hancur ditendang sepatu
lars panjang.
Sore harinya ia kembali ke tempat itu untuk mengumpulkan barang
dagangannya. Diperhatikannya mobil-mobil yang lalu lalang di depannya.
Orang-orang berdasi dengan tas kerjanya. Keluarga muda yang menikmati udara
sore dengan anak-anaknya. “Aku ingin nasibku berubah. Aku ingin bisa menikmati
kehidupan yang terbaik!” pikirnya.
Dengan modal ijasah SMA ia memberanikan diri membuat surat lamaran kerja. Esok harinya surat diantarnya sendiri ke sebanyak mungkin perusahaan di
Jakarta .
Beberapa bulan kemudian panggilan datang dari sebuah perusahaan internasional
yang saat itu bernama First National
Citibank. Ia diterima sebagai office
boy.
Pekerjaan sebagai office boy dijalaninya dengan semangat dan kerja keras.
Dalam waktu 19 tahun ia berubah nasibnya dari seorang office boy menjadi vice
president.
Hari demi hari ia menjalani kehidupan yang mapan. Namun seiring
berjalannya waktu ia mulai menyadari ada yang hilang dalam hidupnya. Sesuatu
yang tidak berada di dalam dirinya sendiri. Ada yang kosong. Semakin jauh ia berjalan
mencari kehidupan terbaik, namun semakin jauh pula ia dari sesuatu yang
dicarinya.
Kala itu bulan puasa, beberapa teman mengajak pemuda sukses itu untuk
mengunjungi sebuah rumah yatim di daerah Kramat, Jakarta pusat. Sesampainya disana ia
mengikuti setiap rangkaian aktivitas. Ikut berbuka bersama anak-anak yatim,
shalat tarawih dan mendengar ceramah agama. Namun malam itu dia tidak menikmati
semua itu.
Ketika ia hendak melangkah pulang, tiba-tiba dia merasakan kain celananya
ditarik dari belakang oleh seorang anak kecil.
“Siapa namamu nak?” Tanya pemuda itu.
“Nina, om”. Jawab anak kecil itu.
Dalam benaknya pemuda itu bisa menerka, pasti ada sesuatu yang anak ini
inginkan.
“Nina sudah punya baju baru? Sepatu baru? Tanya pemuda itu lagi.
“Sudah om.”
“Lalu Nina mau apa?”
“Enggak ah, nanti om marah…” Jawab Nina sambil menunduk.
Kalau anak itu begitu takut menyebutkan permintaannya, pastilah yang
diminta adalah sesuatu yang mahal.
“Ayolah sebutkan, apa yang Nina mau?”
“Benar, om ngga akan marah”
Semakin lama dialog itu berjalan, maka semakin tinggi anggaran yang
pemuda itu siapkan. Akhirnya Nina mengungkapkan keinginannya, dan apa yang
didengar oleh pemuda itu ternyata jauh dari apa yang ia bayangkan. Nina berkata
pelan,
“Om , boleh nggak, om Nina panggil
‘Ayah’…”
Mendengar permintaan Nina, tubuh pemuda itu bagai tanpa daya. Dia pun
terjatuh, berlutut dihadapan Nina. Dipeluknya Nina erat-erat.
“Akulah ayahmu, nak. Akulah ayahmu…” bisiknya pada Nina.
Saat itu sebuah tabir besar di hatinya terkuak. Apa yang tadinya kosong
kini mulai terisi. Digandengnya Nina menjauh dari orang-orang.
“Anakku, insya Allah besok ayah dan ibumu akan kembali kesini lagi.”
Katanya pada Nina. “Tapi ayah dan ibu tidak ingin menemuimu dengan tangan
kosong. Sebutkanlah, Nina mau ayah bawakan apa?” Lanjutnya.
“Nggak usah, yah”.
“Nina mau sepatu roda? Clarinet? Apa saja nak, sebutkan.” Melihat
keraguan di wajah Nina, pemuda itu mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan
isinya pada Nina. “Ayahmu punya uang banyak. Nina mau apa?”
Nina akhirnya berkata lirih, “Boleh?”.
“iya nak, apa saja sebutkan.” Pemuda itu bertekad, apapun yang diminta
Nina, seberapapun mahalnya, dia akan berikan. Namun untuk kedua kalinya, pemuda
itu salah. Apa yang diminta Nina ternyata jauh dari bayangannya.
“Ayah, besok kalau kesini bawa foto ya…”, pinta Nina.
“Foto???” ada kekecewaan di hatinya mendengar itu. Semua isi dunia ini
pasti akan ia berikan jika Nina minta, tapi kenapa Nina hanya meminta foto?
“Foto apa, nak?”
“Foto ayah, ibu, dan kakak-kakak”
“Untuk apa foto itu?”
“Nina mau nunjukin ke teman-teman di sekolah nanti, kalau sekarang Nina
punya ayah, punya ibu, punya kakak-kakak… Nina sekarang bukan Nina yang dulu.
Nina ingin mereka tahu bahwa sekarang Nina mempunyai ayah, ibu dan kakak-kakak.”
Untuk kedua kalinya pemuda itu terjatuh berlutut di depan Nina. Tubuhnya
lunglai. Butiran air mata merembes di kedua kelopak matanya. Bibirnya bergetar.
Dipeluknya anak itu kembali. Malam itu ia menemukan kembali kebahagiaan yang
telah lama hilang dari hidupnya. Nina telah memberinya hadiah yang tidak akan
pernah ia lupakan seumur hidupnya. Nina telah mengajarinya tentang arti
kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kebahagiaan yang sesungguhnya hadir manakala kita mulai membuka diri untuk
orang lain, dan menjadi bagian dalam hidup mereka.
***
Dikutip dari buku DNA SuksesMulia
0 komentar:
Posting Komentar