Seorang pengamen muda di depan rumah yang sedang mendendangkankan lagu, tiba-tiba mengingatkan saya pada masa kecil saya dulu. Pemandangan itu mirip dengan yang terjadi pada puluhan tahun yang lalu. Saat itu ada seorang pengamen. Dia adalah seorang pemuda usia dua puluhan tahun, mengalunkan lagu di depan rumah orang tua saya saat itu. Belum selesai satu lagu, ibu saya keluar, menyodorkan dua lembar uang lima ratusan. Nominal uang yang cukup besar menurut saya jika dibandingkan dengan kondisi keuangan yang dipunyai oleh ibu saya. Saya tahu betul bahwa ibu memberinya uang sejumlah itu bukan karena beliau sedang berlebih, namun ada alasan tertentu dibalik itu. Dengan ikhlas sebagian besar uang yang beliau miliki diberikannya kepada pemuda pengamen tersebut. Karuan saja, transaksi itu mendapat komplain dari saya.
“Bu, mengapa ibu memberi uang begitu banyak sama pengamen itu? Bukankah uang ibu cuma sedikit?”
Dengan tenang beliau menjawab “Tidak apa-apa nak, ibu kasihan sama pemuda itu. Entah mengapa, ibu merasa sedih, ibu jadi teringat anak-anak ibu”.
Dengan sekejap saya memahami makna yang terkandung dalam jawaban ibu. Sebuah ekspresi yang merepresentasikan ketulusan. Ketulusan yang didorong oleh perwujudan kasih sayang kepada anak. Dari delapan anak yang keluar dari rahimnya, lima diantaranya adalah laki-laki. Sehingga sangat bisa dimaklumi apa yang telah dilakukan ibu kepada pengamen itu. Bentuk perhatian dan kasih sayang yang sangat besar kepada anak-anaknya terefleksikan oleh sikap beliau kepada si pengamen muda.
Kasih ibu sepanjang hayat, kasih anak sepanjang jalan, nampaknya sangat klop dengan peristiwa tadi. Bahkan saya menilai, bentuk kasih sayang orang tua saya kepada anak-anaknya sudah mencapai titik tertinggi. Tidak ada secuilpun kemampuan yang tersisa. Mereka telah menguras habis segala kemampuannya untuk mengantarkan anak-anaknya hingga memperoleh bekal yang memadai di masa depan. Dalam istilah Jawa, “Tidak ada lagi setetes darahpun yang akan keluar jika kulit tubuhnya digores”.
Bentuk eksplorasi kemampuan secara maksimal benar-benar sudah mereka kerahkan untuk kepentingan masa depan anak-anaknya. Hasil visualisasi diri akan masa depan anak telah berhasil dipetik. Tidak sebatas pada visi jangka pendek, melainkan konsep yang mereka bangun sudah memenuhi target maksimal. Kekuatan visualisasi sangat menentukan impian dan tujuan hidup Anda. Tentu saja, visi harus dibarengi dengan keyakinan, tindakan, dan doa. Visi tanpa aksi adalah fantasi. Aksi tanpa visi adalah kenangan. Visi dengan aksi adalah kekuatan. Visi dengan aksi hendaknya dimiliki oleh para orang tua dalam mengekspresikan kasih sayangnya kepada anak. Kasih sayang yang sesungguhnya adalah yang memiliki konsep jangka panjang. Anak memiliki pegangan hidup yang jelas dan kuat. Dengan demikian. kebahagiaan dan kepuasan batin dan lahir akan benar-benar dapat dinikmati oleh para orang tua yang memiliki komitmen demikian.
Keinginan kecil tidak akan melahirkan tindakan yang besar. Sebaliknya, keinginan yang besar akan menghasilkan tindakan yang besar. Ukuran basar dan kecil dalam hal ini tentu relatif. Namun demikian masing-masing orang tua sebaiknya memiliki konsep yang jelas, yakni. konsep yang diawali dari keinginan besar dan berwawasan jangka panjang untuk kepentingan anak.
Konsep jangka panjang yang dimaksud adalah kondisi dimana seorang anak memiliki pegangan hidup, berupa ilmu, materi, skill, talenta, pekerjaan. Itulah modal yang harus mereka miliki untuk meraih kesuksesan, dan kebahagiaan.
Sebagai penutup, silahkan Anda simak cuplikan syair karya Kahlil Gibran berikut ini : “ Anakmu bukan milikmu. Mereka lahir lewat engkau, tapi bukan dari engkau. Berilah mereka kasih sayang, namun jangan berikan pemikiranmu. Patut kau berikan rumah bagi raganya, namun tidak bagi jiwanya. Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam mimpi”. (***)
0 komentar:
Posting Komentar