Oleh : SUPANDI, S.Pd, MM.
Penulis Buku "Menyiapkan Kesuksesan Anak Anda" Gramedia Publisher
Rendah hati merupakan sikap yang memandang diri dan orang lain masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Ketika melihat dirinya, maka dia akan merasa bahwa dirinya masih perlu belajar dan belajar. Mereka berkeyakinan bahwa semakin banyak belajar maka disana sini segera ditemukan berbagai kekurangan yang ada dalam dirinya.
Dengan demikian, mereka tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa mereka tidak perlu banyak belajar. Plato, seorang filsuf berkebangsaan Yunani mengatakan bahwa “Kebohongan yang paling buruk adalah membohongi diri sendiri bahwa dirinya tidak perlu belajar.” Pernyataan Plato mengindikasikan adanya begitu luasnya ilmu pengetahuan yang ditebarkan oleh Tuhan ke dunia. Dari sekian banyak ilmu yang telah diturunkan oleh Tuhan baru sebagian kecil saja yang berhasil dikuasai oleh manusia. Manusia harus senantiasa mencari dan terus mencari walupun tidak mungkin semua ilmu dari Tuhan bisa dikuasai oleh manusia. Sudah ada semacam “porsi” tertentu.
Dengan adanya porsi tersebut maka fenomena yang ada dapat kita jumpai seseorang yang unggul di bidang tertentu, tetapi dia lemah di bidang lain. Seorang guru memiliki keunggulan dalam hal didaktik metodik, mahir dalam hal membimbing siswa untuk belajar, tetapi dia kurang di bidang perbengkelan. Seorang entrepreanur mahir dalam bisnis, tetapi dia tidak begitu menguasai bidang kinestetik. Orang tidak mungkin mampu menguasai ke delapan kecerdasan sekaligus, yakni kecerdasan linguistik, kecerdasan matematika, kecerdasan visual/spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan intuisi. Seseorang bisa saja memiliki lebih dari satu kecerdasan tetapi tidak sampai menjangkau ke semua kecerdasan.
Hal inilah yang sering membedakan antara orang yang banyak ilmu dengan orang yang ilmunya pas-pasan. Kesadaran yang demikian yang sering kali mendorong orang yang berilmu untuk bersikap rendah hati. Dalam Bahasa Inggris, rendah hati sama dengan low profile. Sedangkan dalam agama Islam, rendah hati dikenal dengan istilah tawadu’.
Thomas Alfa Eddison mensinyalir adanya tiga kelompok manusia berkaitan dengan keilmuan seseorang. Di antara ketiga kelompok itu adalah: Kelompok orang yang tidak mau berpikir (sebanyak 85 persen), kelompok orang yang merasa bahwa dirinya telah berpikir (sebanyak 10 persen), dan kelompok orang yang mau berpikir (sebanyak 5 persen).
Anda barangkali sudah bisa menduga, termasuk ke dalam kelompok yang mana ketika Anda menjumpai ada orang yang “berjalan dengan kesombongan”? Iya, saya pun sependapat dengan Anda bahwa orang yang sombong sangat mungkin didominasi oleh mereka yang termasuk dalam kategori kelompok orang yang 10 persen, yaitu yang merasa bahwa dirinya sudah belajar, sudah merasa tahu segalanya, orang lain tidak tahu apa-apa, pikirnya.
Hal ini berbeda dengan orang yang berilmu (ilmuwan). Ketika memandang orang lain, maka dengan ilmu yang dia miliki, dia berkeyakinan bahwa orang lain pada hakikatnya memiliki kelebihan, kecerdasan tertentu, maupun potensi diri yang luar biasa. Orang yang berilmu juga memiliki keyakinan bahwa manusia adalah human relation, sehingga menyadari benar bahwa dia tidak bisa hidup sendiri. Dia menyadari betul bahwa pada hakikatnya dalam mendapatkan kesuksesannya dia membutuhkan kehadiran orang lain. Bahkan, tidak hanya ketika hidup saja, tetapi juga ketika mati diapun membutuhkan orang lain untuk mengurus jasadnya. Orang yang berilmu juga tahu bahwa untuk menjadi orang yang baik maka hidupnya harus bermanfaat bagi orang lain. Dari pemahaman yang demikian, saya percaya bahwa Anda akan dapat menemukan banyaknya orang berilmu yang memiliki sikap rendah hati.
Rendah hati tidak akan menurunkan prestise seseorang, tidak akan menurunkan wibawa maupun harga diri seseorang. Saya sangat terkesan dengan salah seorang pejabat di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional Jawa Tengah di Semarang. Dia adalah Kepala LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu pendidikan) Jawa Tengah, Makhali M.M.. Kesan itu saya tangkap saat pembukaan dan penutupan ToT (Training of Trainer) Guru Pemandu MGMP.
Pada acara sambutan peserta ToT, sebagaimana adat orang Timur, maka salah seorang rekan dari peserta ToT akan menyampaikan sambutannya, sebagaimana biasa terlebih dahulu memberikan penghormatan kepada Kepala LPMP. Pada saat memberikan penghormatan itu dengan menganggukkan kepala, apa yang dia lakukan? Ternyata anggukan kepala dari rekan saya tersebut sudah didahului oleh Kepala LPMP dengan mendahului berdiri dan mendahului menganggukkan kepala sembari mempersilakan dia menuju podium. Tak ada sedikit pun tersirat rasa tinggi hati. Tetapi, sebaliknya penuh dengan sikap rendah hati. Terpancar dari aura wajahnya seakan menyiratkan bahwa hanya Tuhan yang berhak untuk sombong. Manusia hanya sosok mahluk yang tingkat kemuliannya masih berupa teka-teki. Di samping itu sikap ngewongke orang lain juga terlihat sangat jelas.
Akhirnya, Anda dipersilahkan untuk komplain atas tulisan ini. Karena, memang tulisan ini tidak memiliki akuntabilitas keilmuan yang tinggi. Tulisan ini hanya merupakan apresiasi saja terhadap sebuah sikap rendah hati dari seorang ilmuan. Ada satu aspek yang tidak disinggung dalam argumentasi ini yaitu aspek “watak bawaan” sehingga minim dengan kebenaran. Fenomena yang terjadi dalam kehidupan ini, tentunya ada saja orang yang berilmu tetapi tinggi hati, ada juga orang biasa tetapi memiliki sikap rendah hati. Demikian pula ada orang yang berilmu tapi rendah hati, ada pula orang biasa yang tinggi hati.
Selasa, 26 Juli 2011
MENGAPA ORANG YANG BERILMU RENDAH HATI?
23.44
Supandi Website
2 comments
2 komentar:
Congrats, Mas. Ya begini yg ditunggu, punya blog sendiri. Sip!!!
Happy Blogging!
Iya mba Fida, trm ksh supportnya.
Posting Komentar